CANDU ITU BERNAMA SINETRON


 

 (Tulisan ini telah dimuat di Koran Pikiran Rakyat tanggal 15 September 2014)

 

Candu lazimnya dikenal sebagai salah satu jenis narkotika. Candu itu sendiri pertama kali dikenal oleh bangsa Sumerian sekitar 5500an tahun yang lalu di sekitar Mesopotamia. Bangsa sumerian menyebutnya dengan sebuatan hul gil, yang artinya “tumbuhan senang”. Tentu penyebutan tumbuhan itu bukan tanpa alasan, karena tumbuhan itu memberikan efek ‘senang’ pada diri pengkonsumsinya. Namun kemudian, benda itu dianggap memberikan efek lain selain ‘efek senang’. Pengkonsumsinya akan memiliki hasrat untuk terus-menerus mengkonsumsinya hingga menjadi “kecanduan”.

Efek kecanduan ternyata tidak hanya disebabakan oleh candu. Adalah sinetron, sebuah genre tayangan televisi yang banyak dicandui oleh banyak orang. Sinetron memberikan efek yang hampir serupa dengan candu, diawali untuk ‘kesenangan’ dan diakhiri dengan ‘kecanduan’. Penonton sinetron yang sudah kecanduan, biasanya sulit untuk menghentikan kebiasannya menonton sebuah sinetron. Hasilnya sebuah sinetron mampu bertahan hingga ribuan episode bersama para pecandunya.

Bagaimana sinetron mencandu?

Tahun 1943, Abraham Maslow memperkenalkan sebuah teori yang menelaah tentang motivasi manusia. Ia menjelaskan bahwa manusia memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya, mulai dari kebutuhan yang paling mendasar hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih kompleks. Lebih dari enam dekade kemudian, seorang Neil Postman mengemukakan konsep NEnt (need for entertainment), yaitu sebuah konsep yang menjelaskan tentang kebutuhan manusia atas hiburan. Postman menjelaskan bahwa manusia membutuhkan hiburan.

Menurut Postman, manusia akan menentukan sendiri apa yang akan menjadi hiburannya. Para calon penonton sinetron tentunya membawa semangat mencari hiburan ketika ia meluangkan waktu, dan merelakan dirinya untuk menonton sinetron, dan membiarkan pikirannya diterpa cerita sinetron. Dengan semangat mencari hiburan, mereka coba mencicipi sebuah sinetron. Pada fase ‘mencicipi’ ini, penonton sinetron akan menentukan apakah ia akan melanjutkan atau tidak.

Pemilihan keputusan apakah ia akan melanjutkan atau tidak, ditentukan oleh genre sinetron itu sendiri. Sebagai sebuah karya sinematografi, sinetron mampu menyajikan realitas ke dalam layar. Dengan mudah dan murah, penonton tinggal duduk manis dan menikmati pertunjukannya. Sinetron membantu penontonya untuk berimajinasi tanpa harus ‘berpikir’. Penonton sinetron akan dibawa ke dalam nuansa khayal realitas palsu cerita sinetron.

Penonton sinetron memahaminya ceritanya tanpa perlu melibatkan daya berfikir dan nalar yang tinggi. Penonton tinggal duduk manis dan menikmati pertunjukan sesuai seleranya. Seseorang pecandu sinetron akan mencandui sinetron yang sesuai dengan dunia imajinasinya masing-masing. Seorang remaja berpotensi mencandui sinetron yang bercerita tentang kisah cinta vampir dan gadis biasa. Seorang istri yang cemas dengan kesetiaan suaminya, berpotensi mencandui sinetron yang berkisah tentang penderitaan seorang istri yang dikhianati. Sementara itu, seorang ibu berpotensi mencandui sinetron yang bercerita tentang kehidupan tukang bubur, bersama keluarga, tetangga dan kerabatnya.

Ketika penonton telah hanyut dalam realitas cerita sinetron, lazimnya ia tengah menikmati kesenangan yang disajikan sinetron. Ia tengah memasuki  tahap berikutnya setelah hanya ‘mencicipi’. Penonton mulai menginginkan kembali menonton episode berikutnya. Efek menagih mulai menjerat, membuat penonton tak bisa lari dari kelanjutan realitas yang terus bergulir dari satu episode ke episode berikutnya. Kontinuitas cerita yang dibutuhkan penonton membuatnya semakin erat mengikat indera dan pikiran mereka pada layar. Semakin ia menikmati realitas cerita yang disajikan dalam sinetron, semakin ia kecanduan sinetron. Ia akan merasa harus terus menerus mengikuti cerita sinetron. Rasa berdosa, atau gelisah berpotensi muncul bila tak sempat menonton satu episodenya.

Modalitas yang mencandukan

Sinetron bercerita tentang kehidupan manusia yang nampak ‘nyata’ hingga fiksi tulen. Mulai dari cerita keluarga, cerita cinta, hingga kisah dunia persilatan di dimensi antah berantah. Cerita-cerita fiksi yang nampak nyata, seperti kisah percintaan, intrik keluarga, atau cerita pertemanan dengan mahkluk astral, cenderung ditampilkan dalam tingkat modalitas yang tinggi. Cerita-cerita itu disajikan dalam konteks dunia yang ‘nampak’ nyata, atau diasosiasikan dengan mitos yang selama ini dianggap nyata. Bukan dunia rekaan yang sengaja dibuat, seperti dunia bawah tanah dalam serial kartun Doraemon.

Dampak derajat modalitas yang tinggi yang disajikan sinetron mungkin takkan seperti ketika Auguste Lumière dan Louis Lumière mempertontonkan film untuk pertama kalinya. Ketika pada suatu hari di tanggal 28 Desember 1895, di sebuah Café de Paris, Lumière bersaudara mempertontonkan film untuk pertama kalinya. Sebuah ‘film dokumenter’ yang menayangkan adegan-adegan para pekerja yang bekerja di sebuah pabrik, seorang bayi yang sedang makan siang, hingga sebuah lokomotif yang semakin mendekat.  Para penonton tercengang, bahkan pada suatu adegan penonton berlari ke bangku, ketika nampak sebuah lokomotif semakin mendekat seakan akan menabrak para penonton. Saat ini penonton sinetron takkan berlari ketika Prabu Kian Santang mengeluarkan aji suket kalanjana, atau bersembunyi ketika Tristan menunjukan taringnya mencari darah manusia. namun modalitas tinggi yang disajikan memudahkan penontonnya  untuk menikmati sinetron. Memfasilitasi penontonya menjadi pecandu akut sinetron.


Leave a Reply