Humor Politik Sebagai Sarana Demokrastisasi Indonesia


(Tulisan ini teleh dimuat pada prosiding Konferensi Nasional Komunikasi Lombok-Indonesia pada tanggal 18-20 November 2014, yang diselenggarakan oleh ISKI)

 

Tahun 1998, telah menjadi simbol kemerdekaan ‘kedua’ bagi rakyat yang hidup dijamannya, selain “1945”. Pada tahun 1998, telah terjadi sebuah perubahan besar dalam tatanan kekuasaan politik Indonesia. Rezim Soeharto yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade dianggap tiran dan menyimpang, akhirnya digantikan oleh orang-orang dalam nuansa yang dianggap lebih ‘baik’.

“Reformasi” digunakan sebagai istilah era baru tersebut. Era yang dianggap mampu membawa kebaikan bagi Indonesia. Di era Reformasi, demokrasi makin dijunjung tinggi. Semua warga negara memiliki kebebasan untuk berpendapat, berbicara, dan mengutarakan pikirannya melalui berbagai media. Kebebasan sebagai sebuah sarana terpenting bagi demokrasi, sempat menjadi bumerang bagi kedamaian Indonesia itu sendiri. Mulai dari kebebasan menyebarkan konten pornografi di media cetak, hingga caci maki yang sempat membiasa dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia, malah meresahkan rakyatnya.

Gegar demokrasi diawal Reformasi yang melanda sebagian rakyat Indonesia, menjadikan ruang publik yang gaduh bahkan terkesan liar. Tabloid-tabloid yang menampilkan perempuan-perempuan berpakaian minim marak dan laku dipasaran. Laman internet yang bermuatan fitnah, hinaan, dan kebencian banyak beredar di jagat maya. Hingga jurnalisme yang kapitalistik dan politis berat sebelah, membuat demokrasi nampak seperti sebuah kekonyolan sistematik. Demokrasi seperti kehilangan kredibilitas dan keunggulannya, yang tertinggal hanyalah sebuah ‘sistem’ yang memfasilitasi kekacauan dan kegalauan masal.

Euforia berfikir, berpendapat, dan berbicara bebas di era reformasi nampak membuat sebagian rakyat ‘mabuk’ dan melupakan jatidiri mereka. Jatidiri orang Indonesia yang berbudaya timur, dan berkomunikasi dalam komunikasi konteks tinggi. Litllejohn & Foss (2009:7) berpendapat bahwa budaya orang-orang timur tidak memandang bahasa sebagai bentuk komunikasi yang utama dalam berkomunikasi. Artinya, mereka tidak hanya memaknai bahasa yang digunakan ketika mengutarakan pendapat atau kritik, namun melibatkan banyak hal ketika memaknai sebuah pesan pendapat atau kritik. Jawaban “sudah” seorang tamu ketika ditawari makan, tidak selalu berarti “sudah” sebenarnya. Namun memiliki potensi makna yang beragam, seperti “…saya ingin, tapi…”, atau “…tawari saya lagi…”.

Mengutarakan pendapat dan kritik melalui humor dalam budaya komunikasi konteks tinggi merupakan sebuah keniscayaan yang potensial. Humor dapat menjadi sarana penyampai pendapat bahkan kritik dengan ‘lembut’. Humor merupakan sebuah pesan yang dapat membungkus pendapat tabu hingga kritik tajam dalam sebuah komunikasi yang ‘ringan’ yang melibatkan tawa dan kesenangan. Humor bahkan mampu membungkus sebuah hinaan dalam pesan yang dapat ‘diterima’ melalui penyangkalan “ini cuma humor”. Self-deprecatory humor[1], yang nampak tidak agresif pun mampu menyampaikan kritik melalui permainan wacana yang digunakan.

Humor politik sebagai salah satu genre humor dapat menjadi sarana kritik penguasa. Tidak hanya terjadi dalam sebuah negara demokrasi, namun juga tercipta di negara non-demokrasi. Salah satunya adalah cerita humor politik dari Uni-Soviet, yang memperbincangkan Gorbachev:

Suatu ketika ada dua orang pria yang tengah antri untuk membeli vodka. Berjam-jam mereka mengantri. Hingga salah satunya kesal, dan meninggalkan antrian, “cukup!, saya sudah muak!. Dimana-mana harus mengantri. Ini semua gara-gara Gorbachev dan Perestroikanya yang bodoh. Saya akan ke Kremlin, dan membunuhnya!”. Beberapa jam kemudian, pria itu kembali sambil tetap kesal dan berkata, “sialan, antrian disana lebih panjang daripada disini” (Zlobin, 1996: 223).

Cerita humor diatas merupakan salah satu cerita humor politik favorit Gorbachev, masa kekuasaanya, yang konon senang mendengarkan aneka cerita humor yang diceritakan bawahannya. Itu menunjukan humor politik tetap dapat ‘hidup’ dalam berbagai kondisi, bahkan dalam suatu kondisi keterbatasan ruang berpendapat dan kritik.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Ralph Mueller (dalam Davies, 2012: 2), menunjukan bahwa tetap ada kelucuan di Parlemen German yang terkenal kaku. Dari hasil notulensi rapat yang dicatat dari tahun 1994 hingga 2006, tercatat ada 7.529 kali peristiwa tertawa. Angka itu memang cukup jauh dari catatan jumlah tepuk tangan yang terjadi, yang terjadi sekitar 240.000 kali. Namun keberadaan peristiwa tertawanya anggota Parlemen Jerman dalam sidang parleman, sebagai bagian dari keberadaan humor, menunjukan bahwa humor dapat menembus batas kekakuan sebuah konteks situasi bahkan budaya.

Dalam praktiknya di Indonesia saat ini, humor politik seringkali dibangun dalam wujud satire, ironi, aggressive humor, sindiran, hingga self-depreciating humor. Wujud-wujud humor politik tersebut terpresentasikan dalam berbagai bentuk, mulai humor dalam percakapan, pertunjukan, hingga dalam bentuk visual. Presentasi humor dalam berbagi bentuk tersebut semakin semarak selepas era reformasi yang membuka keran kebebasan mengutarakan pendapat. Memasuki masa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014, presentasi humor terebut semakin berkembang. Perkembangan tersebut terfasilitasi oleh perkembangan media sosial, perkembangan jaringan internet, dan perkembangan teknologi komunikasi.

Tulisan ini mencoba menelaah perkembangan humor politik di Indonesia memanfaatkan nuansa budaya demokrasi Indonesia. Ketika nuansa budaya demokrasi indonesia seperti pupuk yang menstimulasi budaya mengutarakan pendapat, humor politik menjadi sarana resistensi, kontrol sosial, hingga pendobrak batas ketabuan yang tetap dapat diterima khalayaknya, khayalak yang terbiasa dalam konteks komunikasi konteks tinggi. Untuk itu, tulisan ini bertujaun untuk menelaah bagaimana perkembangan humor politik dalam perkembangan demokrasi Indonesia saat ini.

[1] Humor yang mentertawakan diri sendiri

Humor sebagai representasi realitas yang ditakuti

Sebuah penelitian yang dilaukan oleh Mahadian (2013) tentang realitas Etnis Cina dalam Stand Up Comedy oleh comic[1] Ernest Prakasa, mampu menggambarkan realitas tentang Etnis Cina di Indonesia. Salah satunya adalah tergambarkannya ketidaknyamanan Etnis Cina di Indonesia dalam keminoritasnnya, seperti berikut ini:

“…dalam hati gue berterima kasih sama Gus Dur, rasisme sedikit berkurang. Engga kaya jaman gue kecil kemana mana, “Akew! Akew!”. Ni gue kasih tau sama elo, elo yang ngga tau ya. Orang Cina namanya banyak, ada Akiong, Asiung, ada Aliong. Kenapa Akew doang gitu. Ngga semua juga depannya “A” ada Fey fey, ada Fang fang, ada Cen cen. Kenapa disamaratain semuanya, Akew[2]…”.

Humor dalam pertunjukan stand up comedy tersebut menampilkan sebuah ekspresi pikir salah seorang anggota kelompok minoritas. Dineh Davis (dalam Raskin, 2008: 543), berpendapat bahwa, “humor, is simply a manifestation of a person’s outlook life”. Maka humor tidak hadir begitu saja, humor merupakan representasi pikiran yang dikonstruksi secara sosial. Humor tersebut tidak lahir begitu saja, ia terlahir dari buah pikir dan pengetahuan. Humor tersebut tak akan menghasilkan kelucuan bila tak ada yang memahami konteks peristiwa yang menjadi latar humor tersebut, yaitu kondisi keminoritasn Etnis Cina di Indonesia yang kerap mendapatkan tindakan yang tidak selayaknya.

Konteks peristiwa humor diatas tentu mengingatkan wacana tentang tindak diskriminasi dan pelecehan yang diterima oleh Etnis Cina di masa Orde Baru, yang salah satunya adalah wacana tentang penggunaan istilah “Akew” sebagai sebuah bahasa penghinaan. Konteks peristiwa tersbut merupakan sebuah realita yang dianggap nyata dan “ada” dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut menunjukan bahwa, humor merepresentasikan realitas. Realitas yang dianggap ada dan nyata oleh anggapan dominan sekelompok masyarakat, bukan sekedar peristiwa rekaan, atau hasil imajinasi yang tak mendasar.

Penelitian serupa dilakukan oleh Natasha Paterson (2006) yang meneliti tentang wacana gender dalam humor yang digunakan oleh komedian Jackie Mabley di Amerika. Dimana Jackie Mabley perempuan kulit hitam di Amerika. Dalam komedinya, Jackie Mabley menggunakan konteks peristiwa yang terjadi di keluarga kulit hitam, yang dipersepsikan sebagai wanita yang agresif, dan tidak feminin. Tradisi tersebut membuat kaum pria kulit hitam menjadi lemah, dan tidak memiliki sikap kepemimpinan yang baik. Realitas stereotipe tersebut kemudian dikaitkan dengan Presiden Amerika Bacark Obama yang berasal dari keluarga kulit hitam, dan memiliki istri berkulit hitam pula. Dalam komedinya, Jackie Mabley memandang bahwa Ibu Negara Amerika memiliki potensi untuk menjadi ‘penguasa’, yang menguasai dan mengatur suaminya yang lemah,  walau ia seorang Presiden Amerika dan ‘dunia’. Selain itu, Mabley mengangkat isu tentang nasionalisme kaum kulit hitam. Dengan mengangkat sejarah Malcolm X, Mabley menunjukan bahwa kaum kulit hitam bisa sangat nasionalis, walaupun sering pula menganggap gerakan Malcolm X terlalu radikal dan membahayakan. Humor dalam komedi Jackie Mabley tersebut merupakan representasi dari realitas warga kulit hitam di Amerika.

Sebagai sebuah representasi atas realitas, humor yang melibatkan konteks peristiwa politik, dapat dianggap sebagai ekspresi sosial. Humor menjadi sarana bagi masyarakat mengeskpresikan pikirannya. Itu terjadi ketika sebuah humor politik ‘disetujui’ oleh masyarakat, dan terus bergulir dalam kurun waktu tertentu. Salah satu contoh konkretnya adalah humor politik yang berbicara tentang penjulukan presiden-presiden Indonesia: “Presiden pertama Negarawan, Presiden kedua Bangsawan, presiden ketiga Ilmuwan, presiden keempat Wisatawan…”. Konteks peristiwa humor tersebut merupaakan buah dari bergulirnya wacana Presiden Abdurahman Wahid yang diberitakan sering bepergian, hingga terciptalah humor tersebut. Ketika humor tersebut diterima, dan dianggap sejalan dengan ‘realita’, maka potensi humor tersebut untuk beredar semakin tinggi.

Humor memiliki ‘daya hidup’ yang baik, dimana dapat ‘hidup’ dalam berbagai kondisi negara totalitarian sekalipun. Di era totalitarian Soviet (sekarang Rusia), humor tetap ada dan beredar di dalam kehidupan sosial masyarakatnya (Zlobin, 1996). Masyarakat yang terkekang, tetap dapat menciptakan humor-humornya. Bahkan KGB pun tak kan mampu mencari siapa pencipta humor itu. Pemerintah soviet menganggap humor seperti wabah penyakit yang menggerogoti kekusaan. Bahkan Amerika pernah memenjarakan seorang comic bernama George Calin di tahun 1970 an. Carlin dipenjara akibat pertunjukannya yang diberi judul “Seven Words You Can’t Say In Television”. Pertunjukan stand up comedy tersebut mengangkat tema tentang kata-kata vulgar dan kasar yang dianggap tidak layak ditayangkan di televisi.

Di Jerman, sebuah negara yang dikenal memiliki budaya yang ‘kaku’. Masyarakatnya dianggap tidak suka bercanda atau humor. Namun penelitian yang dilakukan oleh Ralph Mueller menunjukan keberadaan humor dalam kegiatan parlemen Jerman (Davies, 2012). Penelitian yang dilakukan terhadap hasil catatan notulensi antara tahun 1994 hingga 2006, menunjukan adanya ‘tertawa’ sebanyak 7.529 kali. Jumlah itu memang jauh dibandingkan dengan jumlah tepuk tangan yang mencapai 240.000 kali. Keberadaan tertawa, dapat dijaikan indikasi keberadaan humor dalam sidang parlemen Jerman. Hal tersebut dapat menunjukan keberdaan humor dalam sebuah situasi yang tidak ‘lazim’.

Di Indonesia sendiri, humor yang mengandung kritik kepada pemerintah Orde Baru tetap dapat disuarakan walau dalam humor yang tidak agresif. Sebut saja Warkop DKI, yang beranggotakan tokoh Dono, Kasino, dan Indro, yang melakukan kritik dalam film-filmnya di tahun 80-an. Nama lain seperti trio Bagito, yang sering menggunakan humor sebagai kritik sosial dan politik di tahun 90-an. Humor yang mengandung kritik atau satire yang ada di era Orde Baru, memang tidak se-agresif saat memasuki era Reformasi, namun itu cukup menunjukan ketangguhan daya hidup humor politik, dalam bentuk satire atau humor kritik, dalam kondisi yang tidak memberikan fasilitas bagi perkembangan humor politik.

Humor sebagai sarana resistensi

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zimbardo (2014) memaparkan tentang resistensi yang dilakukan terhadap stereotipe negatif tentang muslim di Amerika. Stereotipe tentang Islam di amerika pasca 9/11 yang memburuk menghasilkan islamophobia, sebuah rasa takut terhadap Islam. Melalui film The Muslims Are Coming, humor menjadi sarana kritik budaya untuk perubahan sosial kelompok minoritas di Amerika.

Di era pemerintahan Soviet, humor terutapa satire politik ditakuti, karena dianggap ‘mematikan’ (Zlobin, 1996). Bahkan, terdapat humor tentang kontes humor rahasia, dimana juara pertama mendapat hadiah penjara 25 tahun, juara kedua mendapat hadian penjara 15 tahun, dan untuk pencipta humor tentang Lenin akan dihadiahi eksekusi. Humor tersebut menggambarakan ketakutan pemerintah Soviet. Di tahun 1992, Presiden Boris Yelstin menandatangani peraturan untuk kejahatan “offend the honor of dignity”. Dalam kurun waktu satu tahun, aturan itu sudah menghukum produser program televisi Kukly. Program televisi tersebut menampilkan satire politik menggunakan boneka yang menyerupai pemimpin soviet kala itu. Di Era Presiden Vladimir Putin, humor politik menjadi bagian penting dalam televisi di Rusia (Tagangaeva & Gallen, 2013). Program acara yang melibatkan humor, pertunjukan komedi, parodi, atau lainnya. Humor tetap menjadi sarana kritik terhadap rezim berkuasa di Rusia.

Di Indonesia, humor menjadi sarana kriti sosial dan politik. Humor yang mengandung kritik sosial dan politik dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, mulai dari pertunjukan komedi tradisional, parodi di televisi, hingga humor-humor dalam bentuk visual digital. Trend terakhir adalah kehadiran meme, yang lahir akibat perkembangan perangkat komputer dan internet. Sebuah humor visual yang menyajikan gambar yang disertai tulisan. Menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu, genre humor visual ini sangat marak.

 

Genre humor visual tersebut mampu menyajikan humor yang menghibur., namun tetap tidak meninggalkan esensinya sebagai sarana unjuk rasa dan unjuk pendapat.

Bentuk lainn dari humor visual selain meme, dan telah berkembang lebih dahulu adalah karikatur. Berbeda dengan meme, karikatur merupakan gambar yang dibuat oleh seniman karikatur. Karikatur memiliki rentang eksplorasi yang lebih luas, karena seniman karikatur dapat membuat bentuk apapun, dan tidak terjebak pada foto tokoh yang akan ‘diparodikan’. Setiap surat kabar lazimnya memiliki ‘tokoh’ kartun, yang menjadi tokoh dalam karikatur di korannya, sebut saja Om Pasikom di Kompas, Mang Ohle di Pikiran Rakyat, atau tokoh-tokoh kartun di surat kabar Pos Kota seperti Ali Oncom, Doyok, atau Otoy.

 

Humor visual menyuguhkan ‘rasa’ baru yang dapat menghibur, namun tetap mengandung kritik, yang kaya makna. Meme mampu menghadirkan humor politik yang nakal, menggelitik, namun menghibur. Salah satu contohnya adalah meme yang memuat gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (gambar 3.3). Meme tersebut menyindir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai telah berpura-pura (akting) dalam meloloskan Undang-undang Pilkada.

 

Humor visual tersebut menggambarkan kekecewaan orang-orang yang menghendaki pemilihan kepala daerah langsung. Meme tersebut tidak secara langsung mengandung unsur yang ‘menyerang’. Namun mampu menjadi sarana unjuk kekecewaan kepada penguasa.

Keberadaan humor dalam sebuah kelompok masyarakat, dapat menjadi ‘paramater’ derajat demokrasi. Menurut Davies (2011), dari beberapa studi di berbagai negara komunis sekalipun, humor yang ada di kegiatan parelemen menjadi indeks derajat demokratisasi prosedur parlemen. Itu terjadi di Polandia ketika berada dalam kekuasaan komunis, Jerman, hingga Soviet. Humor menjadi sarana unjuk rasa, yang mampu digunakan dalam kondisi terkekang sekalipun.

Penelitian yang dilakukan oleh Schmidt (1990), memberikan pemahaman tentang humor politik. Pertama, humor politik menjadi indikator kekohesifan masyarakat dalam hubungannya dengan penguasa. Kedua, humor politik dapat menjelaskan persepsi masyarakat terhadap sitausi politik yang terjadi. Ketika, humor politik dapat dijadikan sarna untuk memahami peristiwa politik yang terjadi dalam kurun sejarah tertentu. Penelitian yang dilakukan di Meksiko tersebut, menjelsakan pula tentang keberadan humor politik sebagai bagian dari upaya memahami elitelore (cerita elit).

Humor politik mampu menjadi sarana unjuk rasa dan pendapat, yang dapat dilakukan dalam berbagai derajat demokrasi suatu bangsa. Humor politik yang berisi kritik terhadap penguasa, bahkan tetap ada di negara komunis, totaliter, yang dikuasai penguasa tiran sekalipun. Bila para komedian atau seniman yang mencipta humor tak memiliki kuasa untuk dapat menampilkan humornya, masyarakat dapat menciptakan humor underground, yang menyelusup dalam percakapan sehari-hari. Sehingga intelejen sekalipun tak kan mampu menangkap penciptanya, namun kritik tetap dapat beredar, dan berakumulasi menjadi wacana yang lebih besar. Dengan bentuknya yang beragam seperti satire, ironi, aggressive humor, sindiran, hingga self-depreciating humor, humor mampu menyampaikan kritik yang menghibur.

[1] Sebutan untuk stand up comedian

[2] StandUpNite 3 tanggal 24 Agustus 2011 di Rolling Stones Café, Jakarta

 

Daftar pustaka

Buku

Attardo, Salvatore. (1994). Linguistic Theories of Humor. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co

Gilbert, J.R. (2004). Performing Marginality: Humor, gender, and cultural critique. Detroit: Wayne State University Press Kuypers., J.A.(2009). Rhetorical Criticism. Playmouth UK: Lexington Books

Littlejohn, S., & Foss, K.A. (2009). Teori Komunikasi. Diterjemahkan oleh: Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: PT Salemba Humanika

Raskin, Victor. (2008). The Primer of Humor Reseach. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co

Jurnal dan Sumber lainnya

Davies, Christie. (2012). Studies in Political Humour. Israeli Journal of Humor Research.

Mahadian, A.B. (2013). Representasi Etnis Cina Dalam Stand Up Comedy. Universitas Padjadjaran. Tesis

Patterson, Natasha. (2006). A Womanist Discourse Analysis of The Comedic Discourse of Jackie “Moms” Mabley. University of Flodida. Thesis

Lynch, O.H. (2002). Humorus Communication: Finding a places for humor in communication reseacrh. International Communication Association: jurnal

————–. (2005). Humor At Work: Using humor to study organization as a social process. Texas: Texas A & M University. Dissertation

Schmidt, Samuel. (1990). Elitelore in Politics: Humor versus Mexico Presidents. Journal of Latin American Lore. USA

Sturges, Paul. (2010). Comedy as Freedom of Expression. Loughborough University: Journal of Documentation

Tagangaeva, M., & Gallen, St. (2013). Political Humor on Russian Television. Russian Analytical Digest No 126.

Wilson, N.A. (2011). Divisive Comedy: A critical examination of audience power. Journal of Audience and Reception Studies. Northwest Missouri State University. USA

Zimbardo, Zara. (2014). Cultural Politics of (De) Normalizing Islamophobic Stereotypes. Islamophobia Studies Journal Volume 2.

Zlobin, Nikolai. (1996). Humor as Political Protest. Journal: Demokratizatiya


Leave a Reply