Organisasi menurut pandangan klasik


Sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20, organisasi dibangun layaknya sebuah ‘kerajaan’. Perusahaan dipandang sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan, mereka mengembangkan perdagangan, menyediakan tenaga kerja secara massive, sehingga berkontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi negara. Pada pertengahan abad ke-18, Benjamin Franklin (1706-1790) mempopulerkan pemikirannya tentang pengorganisasian negara (empire) dalam Poor Richard’s Almanac, yang pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan kerja keras, independensi (pengakumulasian dari kekayaan individu, perusahaan, dan level nasional), dan kebaikan dari perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan. Berikut beberapa contoh aksioma dari Poor Richard’s Almanac:

  • Industry need not wish – there are no gains without pains
  • God gives all things to industry
  • God helps them that help themselves
  • Sloth makes all things difficult, but industry all easy
  • Early to bed, early to rise, makes a man healty, wealthy, and wise

(Eisenberg & Goodall, 2010)

Walaupun demikian, Franklin bukan orang pertama yang megemukakan pendapat tentang hal tersebut, ditemukan pula pemikiran sejenis di Jepang dan Cina. Namun pemikiran Franklin tersebut berpengaruh dasar budaya kerja Amerika. Pada periode waktu yang sama, Raja dari Prussia, Frederick the Great (1712-1786) telah mengorganisasikan tentaranya berdasarkan ranking, seragam, peraturan, spesialisasi tugas, standarisasi peralatan, bahasa perintah, hingga instruksi latihan. Ia dianggap sukses dalam menerapkan model pengorganisasian berdasarkan pembagian individu dan penggunaan efisiensi mekanistik. Sementara itu, terdapat nama lain yang juga mengembangkan pemikiran serupa yaitu Adam Smith (1723-1790). Ia dikenal sebagai seorang pemikir dibidang ekonomi dan politik, dengan salah satu karyanya Wealth of Nations (1776) yang membahas tentang pembagian tenaga kerja dalam perusahaan. Selain itu terdapat pula pemikir lain seperti Karl Marx (1818-1883) yang mengemukakan pemikirannya tentang esensi pengorganisasian perusahaan dan masyarakat ‘melampaui’ kelas-kelas.

Sebelum terjadinya revolusi industri sekitar abad 19, setiap pekerjaan dilakukan oleh perorangan atau kelompok kecil di rumah-rumah. Namun setelah terjadinya revolusi industri, dengan diciptakannya mesin-mesin yang mampu menciptakan barang secara masal, munculah pabrik-pabrik dengan skala besar. Pabrik-pabrik tersebut mampu menghasilkan barang kebutuhan lebih banyak dan lebih cepat dalam waktu yang lebih singkat. Munculnya banyak pabrik berimplikasi terhadap kebutuhan tenaga kerja yang sangat banyak. Dengan terkonsentrasinya banyak tenaga kerja dalam sebuah perusahaan (pabrik), diperlukan pemikiran yang lebih ‘modern’ mengenai cara pengorganisasi orang-orang untuk tercapainya tujuan perusahaan, maka lahirlah para pemikir yang berbicara tentang pengorganisasian. Beberapa nama diantaranya adalah Henry Fayol dengan theory of classical management, Max webber dengan theory of bureaucracy,dan Frederick Taylor dengan theory of scientific management


2 responses to “Organisasi menurut pandangan klasik”

    • Pada prinsipnya karena “teknologi”. Menurut beberapa sumber revolusi industri dipicu penemuan mesin uap. Namun kelahiran mesin tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses berbagai penemuan dan pengetahuan lainnya.

Leave a Reply