Activity theory

Teori ini dikembangkan oleh Lev S. Vygotsky, seorang ilmuwan psikologi dari Rusia. Teori ini didasari dari pemikiran marxisme. Pada umumnya manusia membangun aktivitas ideal (simbolisasi) sebelum mengaplikasikannya dalam tindakan (konkret).  Aktivitas simbolisasi merujuk pada perencanaan dalam diri individu, seperti “apa yang akan saya katakan dalam percakapan nanti”; atau dapat pula terjadi diluar diri, seperti seorang gubernur yang sedang menulis naskah untuk pidatonya. Teori ini memandang penting makna kata yang dapat digunakan dalam menganalisis pikiran.

Activation theory of information exposure

Teori ini dikembangkan oleh Lewis Donohew dan Philip Palmgreen sejak tahun 1990-an. Teori ini menjelaskan tentang perbedaan individu dalam perhatiannya terhadap pesan antarpribadi dan massa. Teori ini menganggap bahwa keberhasilan atau kegagalan pesan sebagai sebuah stimuli akan tertahan hingga pendengar/penonton/pembaca tertarik, dimana ketertarikan tersebut didasarkan pada kebutuhan kogntif dan biologis individu tersebut.

Action-implicative discourse analysis (AIDA)

Dikembangkan oleh Karen Tracy dan Robert Craig tahun 1990-an. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia mampu menyusun apa yang akan dikomunikasikan untuk tujuan yang diinginkan. Teori ini lebih fokus pada praktik komunikasi yang terjadi dalam sebuah institusi.

Action assembly theory (AAT)

Dikembangkan oleh John Greene sejak tahun 1980-an. Menjelaskan proses bagaimana manusia menciptakan pesan verbal dan non-verbal. Mengkaji kondisi kesadaran manusia dalam membangun kreativitas yang menghasilkan pikiran dan tindakan. Teori ini megkaji pula hubungan antara pikiran dan tindakan yang dipertunjukan, hubungan antara komponen verbal dan nonverbal, dan bagaimana orang merencanakan serta mengatur apa yang mereka katakan.

Accomodation theory / Communication acomodation theory (CAT)

Dikembangkan sejak 1950-an melalui penelitian-penelitian sosiolinguistik. Teori ini menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana seseorang beradaptasi terhadap komunikasi yang mereka lakukan dalam menghadapi situasi sosial yang berbeda. Teori ini menekankan pada penggunaan bahasa yang digunakan dalam komunikasi, dimana ia akan menyesuaikan derajat formalitas bahasa yang digunakan dalam konteks sosial yang berbeda. Teori ini menjelaskan pula tentang pengaruh norma sosial dalam penggunan bahasa.

Dicourse menurut Theo Van Leeuwen

Leeuwen mendefinisikan discourse (wacana) sebagai “as socially constructed knowledge of some aspect of reality[1]. Wacana adalah sumber untuk merepresentasikan sesuatu. Wacana dapat dianggap sebagai pengetahuan tentang realitas. Dimana baru dapat dipahami ketika aspek realitas tersebut disajikan. Namun kita tidak dapat menentukan makna atas realitas tersebut. Sementara itu kita tidak dapat merepresentasikan apapun tanpanya, yang dapat dilakukan adalah membangun framework untuk membuat ‘rasa’ tentang sesuatu tersebut. Wacana bersifat jamak, artinya akan terdapat banyak macam wacana atas sebuah realita. Sehingga memiliki banyak cara untuk membangun ‘rasa’ sebuah realita. Bukti keberadaan wacana berasal dari teks, atau dari apa yang dikatakan atau tuliskan, dan ekspresikan melalui sumber semiotik lainnya. Lebih spesifik lagi, bukti tersebut datang dari perkataan atau ucapan yang berbeda namun merujuk pada aspek realitas yang sama.

Leeuwen memberikan kunci penting untuk memahami discourse, yaitu: discourses are finite, discourse have history, discourse have social distribution, discourse can be realized in different ways. Untuk memahami wacana, dapat dilakukan  dengan mengetahui ragam wacana atas sebuah realitas, memahami sejarah keberadaan wacana tersebut, dan memahami bagaiamana sebuah wacana digunakan dalam sebuah konteks sosial.

 

 

[1] menggunakan definisi wacana yang dikemukakan oleh Michel Foucault (Leeuwen: 2005: 94)

Semiotika Sosial

Pengertian istilah semiotik berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu semeion, yang artinya “tanda”. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco dalam Sobur, 2001: 95). Semiotika atau ilmu yang mengkaji tentang tanda dibangun berdasarkan asumsi dan konsep yang memungkinkan untuk melakukan analisis sistem simbolik dengan cara yang sistematis (Manning & Swan dalam Denzin & Lincoln, 2009: 617). Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders dianggap sebagai pelopor dalam bidang ini. Mulanya kajian ini memusatkan pada bahasa verbal, yang kemudian mengembangkan pada tanda-tanda lain yang lebih luas, mulai kode morse, etiket, musik, hingga rambu-rambu lalu lintas. Tanda dipandang sebagai sebuah sistem yang memiliki keterkaitan atau hubungan. Hubungan yang terjadipun dapat bermacam-macam seperti hubungan homologis, analogis, bahkan metaforis.

Dalam semiotik, tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan atau menggambarkan sesuatu yang lain, dimana terdiri dari dua materi dasar yaitu ‘ekspresi’ dan ‘konten’. Hubungan antara ekspresi dan konten berjalan dinamis, bergantung pada perspektif interpretant. Oleh karena itu, tanda tidak pernah sepenuhnya lengkap, karena memerlukan interpretan dan konteks. Dalam konteks inilah, semiotik memahami tentang tanda. Sobur (2001: 87) berpendapat bahwa “semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda”. Fungsi tanda dalam analisis sosial sangat penting artinya, karena tandalah yang menghadirkan kekhususan dan mendukung relasi-relasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Dalam tanda ada sesuatu tersembunyi dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Pada segi-segi tertentu, kekayaan makna pada suatu tanda sering kali tereduksi oleh pengetahuan, aturan, dan kode-kode yang dipakai oleh konvensi budaya tertentu.

Perkembangan kajian semiotik memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang dikenal mengembangkan ilmu ini, seperti Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Pierce, Louis Hjelmslev, Roland Barthes, Umberto Eco, Julia Kristeva, Michael Riffaterre, Jacque Derrida, Roman Jakobson, Roland Barthes, Umberto Eco, Julia Kristeva, Michael Riffaterre, dan Theo Van Leeuwen. Dalam perkembangannya, semiotika melahirkan berbagai aliran yang dipengaruhi oleh perbedaan paradigma. Sobur (2001: 100) dalam bukunya mengemukakan sembilan aliran semiotik, yaitu: Semiotik analitik, semiotik deskriptif, semiotik faunal, semiotik kultural, semiotik naratif, semiotik natural, semiotik normatif, semiotik sosial, dan semiotik struktural. Setiap ilmuwan lazimnya mengemukakan teknik, konsep tersendiri, hingga dimensi analisis yang digunakan dalam mengkaji tanda.

Semiotik sosial pertama kali dikembangkan oleh M.A.K Halliday (Leeuwen, 2005:3). Dengan dasar pemikiran strukturalis yang dipengaruhi pemikiran post-strukturalis, Halliday berpendapat bahwa grammar dalam bahasa bukan merupakan sebuah kode, yang tidak semata-mata membangun kalimat yang benar. Tetapi merupakan sebuah peristiwa yang menghasilkan makna. ‘Tanda’ merupakan konsep fundamental dalam semiotik, namun tidak memandang ‘tanda’ sebagai sesuatu yang tetap. Untuk itu, Van Leeuwen menggunakan istilah “sumber semiotik” untuk mengantikan kata “tanda”. ‘Sumber semiotik’, kata yang dianggap lebih tepat mengantikan kata ‘tanda’ dalam semiotik sosial, merupakan sebuah tindakan atau artefak yang digunakan dan tercipta dalam peristiwa komunikasi. Mulai dari yang diciptakan secara physiological, dengan otot (menghasilkan ekspresi wajah, atau gesture), atau teknologi (pensil, kertas, atau komputer). Sumber semiotik tidak terbatas pada perkataan, tulisan, atau gambar, namun hampir semua hal yang memiliki makna secara sosial dan kultural. Demikian ketika memandang stand up comedy sebagai peristiwa komunikasi yang menghasilkan sumber-sumber semiotik, maka untuk memahami makna potensial sumber semiotik tersebut, hendaknya harus memperhatikan konteks budaya, norma, hingga ‘aturan-aturan’ dalam stand up comedy.

Semiotik sosial tidak hanya mengumpulkan dan menginvestigasi sumber semiotik dan bagaimana sumber tersebut digunakan dalam konteks spesifik, namun juga berkontribusi dalam menemukan dan mengembangkan sumber semiotik baru dan penggunaan sumber semiotik tersebut. Secara tidak langsung, peneliti semiotik dapat berkontribusi terhadap perubahan sumber semiotik (Leeuwen, 2004: 3). Analisis semiotik sosial tidak hanya fokus pada ‘teks’ dalam ‘konteks’, namun mengkaji pula bagaimana orang menggunakan sumber semiotik dalam memproduksi artefak komunikasi dan peristiwa komunikasi, serta menginterpretasikannya dalam konteks sosial tertentu. Sosial semiotik menginvestigasi bagaimana sumber-sumber semiotik tersebut terintegrasi dalam sebuah peristiwa atau artefak, serta bagaimana orang-orang menggunakan sumber semiotik tersebut dalam konteks sosial tertentu. Sehingga mampu mengkaji berbagai sumber semiotik yang tercipta dalam pertunjukan stand up comedy, tidak terbatas pada kata-kata yang disampaikan oleh seorang comic, namun juga setting, aksesoris, dan sumber-sumber semiotik lainnya yang berpotensi memiliki makna.

Dalam semiotik sosial terdapat dua isu utama yang menjadi fokus eksplorasi, yaitu: sumber material dari komunikasi, dan penggunaannya dalam lingkungan sosial. Untuk itu, terdapat tiga kegiatan yang harus dilakukan. Pertama, mengumpulkan dokumen dan mengumpulkan secara sistematis daftar sumber semiotik, termasuk sejarahnya. Kedua, menginvestigasi bagaimana sumber semiotik tersebut digunakan dalam peristiwa sejarah yang spesifik, budaya, konteks institusional, dan bagaimana orang berbicara tentangnya dalam konteks tersebut. Ketiga, melakukan penemuan dan pengembangan sumber semiotik baru dan penggunaannya.  Untuk melakukan analisis tersebut, Leeuwen (2004: 91) mengengemukakan empat dimensi analisis semiotika sosial, yaitu: discourse, genre, style, dan modality.