Linguistic Aspect of Verbal Humor in Stand-up Comedy

Penelitian yang dilakukan oleh Fairza Hirji (2009), dari McMaster University Kanada, mengangkat tema tentang komedi yang didasarkan pada rasisme yang dilakukan oleh komedian Russell Peters. Penelitian ini  dilatarbelakangi oleh penggunaan isu rasial dalam komedi. Untuk itu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana batasan wacana rasial dalam komedi. Russell Peters seringkali mengangkat isu rasial dengan menirukan aksen bicara, karikatur, dan memanfaatkan stereotipe masing-masing kelompok ras. Hirji mengemukakan bahwa, penggunaan isu rasisme dapat memperteguh kayakinan rasial, menghina kelompok minoritas, dan memarjinalisasi kelompok minoritas.

Stand-up Comedy Around The World: Americanisation and the role of globalised media

Penelitian yang dilakukan oleh Juan M. Sjöbohn (2008) dari Malmö University Swedia, meneliti tentang perkembangan stand up comedy di Amerika dan Swedia dalam kaitannya dengan Amerikanisasi dan globalisasi media, serta bagaimana comic swedia menerapkan ‘tradisi’ Amerika, melalui stand up comedy di Swedia. Sjöbohn melakukan perbandingan dalam analisis konten comic Bill Hicks dari Amerika dengan Magnus Betnér dari Swedia. Comic dari Amerika, Bill Hick, sering mengangkat tema tentang: kritik terhadap media, feminisme, agama, parenting, hubungan antarpribadi, politik, selebritis, dan kegiatan sosial. Sementara comic dari Swedia, Magnus Betnér, lebih sering mengangkat tema seperti: kebencian terhadap Amerika, kebiasaan merokok, kritik politik, periklanan dan marketing, dunia hiburan, obat-obatan, dan agama.

A Womanist Discourse Analysis of The Comedic Discourse of Jackie “Moms” Mabley

Penelitian yang dilakukan oleh Natasha Patterson (2006) dari University of Florida, meneliti tentang wacana perempuan dalam materi-materi comic Jackie Mabley. Terdapat empat fokus penelitian yaitu: rentang representasi wacana tentang wanita kulit hitam dalam materi comic Jackie Mabley; gerakan nasionalisme kaum kulit hitam di Amerika; fungsi dari pemilihan wacana wanita kulit hitam dalam stand up comedy Jackie Mabley; dan pengaruh pertunjukan stand up comedy Jackie Mabley.

              Pertama, Jackie Mabley banyak merepsentasikan dirinya dalam ‘topeng’ nenek dan ibunya. Mabley sering menceritakan pula tentang sisi seksualitas nenek atau ibunya, walaupun hanya secara eksplisit. Mabley banyak mengangkat tradisi keluarga kulit hitam, dimana kaum wanitanya sering dipersepsikan sebagai wanita yang agresif, dan tidak feminin. Tradisi tersebut membuat kaum pria kulit hitam menjadi lemah, dan tidak memiliki sikap kepemimpinan yang baik. Demikianpula ketika dikaitkan dengan keluarga Presiden yang berkulit hitam. Mabley menggunakan stereotipe wanita kulit hitam yang agresif, dan tidak feminin untuk menggambarkan Ibu Negara. Seorang Ibu Negara yang kini berkulit hitam mengatur suaminya, yang notabene seorang Presiden Amerika, dan ‘dunia’ sedang dipimpin oleh wanita kulit hitam.

              Kedua, Mabley seringkali mengangkat isu tentang nasionalisme kaum kulit hitam. Dengan mengangkat sejarah Malcolm X, Mabley menunjukan bahwa kaum kulit hitam bisa sangat nasionalis, walaupun sering pula menganggap gerakan Malcolm X terlalu radikal dan membahayakan. Disini Mabley tidak hanya mengungkapkan pandangan positif tentnag Malcolm X, namun pandangan negatif tentang perjuangan Malcolm X.

Ketiga, Patterson melihat bahwa bahwa isu-isu yang diangkat dalam stand up comedy Jackie Mabley memiliki fungsi hegemonic dan/atau counterhegemonic. Stand up comedy yang dilakukan Mabley memiliki motif ekonomi, dimana Mabley tentu memiliki tujuan untuk mendapatkan profit dalam kegiatannya. Namun di sisi lain, Mabley memiliki tujuan politis. Dimana Mabley bertujuan untuk mempengaruhi persepsi audiens dan pemerintah untuk memenuhi janjinya dalam persamaan hak kaum kulit hitam. Selain itu, Mabley sering mengkritik kaum kulit hitam yang pasif dan menunggu respon dari para aktivis kulit hitam dalam memperjuangkan hak-hak kaum kulit hitam di Amerika.

Keempat, Patterson menemukan bahwa pertunjukan stand up comedy Jackie Mabley seringkali mengangkat isu pergerakan hak-hak sipil. Disini, Mabley mengutarakan pendapatnya tentang hak asasi manusia. Namun dalam kaitannya dengan Mabley, ia memiliki banyak batasan, dimana banyak hal yang tidak bisa ia katakan hanya karena ia wanita.

Stand Up Comedy: Prescious popular humour for those who literate

Abstract

Stand up comedy is a show genre which presenting a comic who does speech in front of his /her audience. A humour genre which came from the west, but rapidly  flourishing in Indonesia since the mid 2011. Stand up comedy, is now an indispensable part on Indonesia popular culture stigmatized as the “literate comedy” . With characters as Pandji Prgagiwaksono, and Raditya Dika, appear as popular, creative, but remains consience youngsters. Stand up comedy has became Indonesians most wanted, and became part of Indonesia daily society.

This papers focused on examine the potential meaning of stand up comedy, in Indonesia daily society. Based on stand up comedy as semiotic source point of view, social semiotic analitics were used as the method.

The research consists of: viewing stand up comedy as a popular entertainment genre, prescious culture which came from the west; stand up comedy is a form of “literate commedy”, exclusive, with defined rules, but able to become a critical vessel with its aggresive, harassing, and rough language but rest assure since “it’s just a joke”.

Model

Menurut Deutsch (1951) dalam Severin & Tankard, model adalah struktur simbol dan aturan kerja yang diharapkan selaras dengan serangkaian poin yang relevan dalam struktur atau proses yang ada ².

Sedangkan Peter Hartley menyatakan bahwa “A model is quite simply a scaled-down representation of some thing or event”  ³.

 

Aubrey fisher menyatakan bahwa model pada dasarnya adalah analogi yang mengabstrakkan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur, sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model ⁴. Fisher juga menyimpulkan bahwa model merupakan teori yang disederhanakan⁴.

 

‘Sebuah’ peristiwa komunikasi yang terjadi, hampir selalu menjadi peristiwa yang rumit untuk dapat dijelaskan. Kerumitan peristiwa komunikasi yang terjadi, hampir selalu tidak mungkin dapat dijelaskan secara lengkap dan menyeluruh, dengan menyajikan seluruh komponen-komponen atau unsur-unsur yang terlibat, mempengaruhi, atau dipengaruhi dalam peristiwa tersebut dengan menggunakan perangkat simbol. Dalam mengkaji sebuah peristiwa komunikasi, pakar (atau mahasiswa) komunikasi dituntut (atau membutuhkan) untuk dapat menjelaskan kembali dalam sebuah/seperangkat simbol yang lebih sederhana, dimana seperangkat simbol tersebut mampu menjelaskan peristiwa komunikasi yang tengah ditelaah/dikaji. Dengan mengambil hanya komponen-komponen atau unsur-unsur terpenting, pakar (atau mahasiswa) komunikasi dapat menyajikan kembali ‘sebuah’ peristiwa komunikasi yang tengah dikaji kedalam bentuk yang sederhana dan ‘mudah’ dimengerti yang disebut model.

Penggunaan model sebagai alat dalam pengkajian ilmu komunikasi dapat memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang didapat dalam penggunaan model salah satunya adalah memudahkan pakar (atau mahasiswa) komunikasi dalam mengkaji sebuah peristiwa atau fenomena komunikasi yang terjadi, dan ‘menyampaikannya’ kepada orang lain. Namun, penggunaan model yang kurang hati-hati dapat memberikan pemahaman yang berbeda atas sebuah peristiwa komunikasi yang terjadi. Dalam memahami sebuah model, hendaknya diperhatikan esensi, asumsi, bahkan bila perlu kronologis ‘kelahiran’ model tersebut untuk dapat memahami makna yang terkandung sesuai (mendekati) makna yang ‘dimiliki’ pembuat model tersebut.

Model-model komunikasi sering di sajikan dalam bentuk kalimat, serangkaian blok, lingkaran, spiral atau bentuk lainnya untuk diapat ‘mewakili’ komponen-komponen yang terlibat dalam sebuah peristiwa komunikasi. Salah satu contohnya adalah model Westley-MacLean (1957) dalam Saverin & Tankard.⁷

model

“pesan yang ditransmisikan C ke B (X”) merupakan hasil pilihan dari kedua pesan yang diterima atas pilihan A (X’) dan C dari abstraksi X dalam medan sensorinya sendiri (X3C, X4), yang belum tentu merupakan X dalam medan A. Umpan balik tidak anya bergerak dari B ke A (fBA) dan dari B ke C (fBC) tapi juga dari C ke A (fCA). Jelasnya, dalam situasi komunikasi massa, banyak C menerima dari banyak A dan mentransmisikannya pada lebih banyak lagi B, yang bersamaan itu pula  menerima dari C lainnya”.

Bila merujuk pada pengertian model menurut Peter Hartley, sebuah model haruslah sederhana. Memang, ‘sederhana’ dapat dipersepsikan atau dikonstruksikan berbeda, namun kadang kala bila melihat contoh model dari Westley-Malean diatas, masih terlalu rumit untuk dapat dikatakan ‘sederhana’. Berbeda dengan model S ↔ R yang begitu sederhana. Semakin sederhana sebuah model, semakin mudah pula kita memahaminya. Namun semakin sederhana, cenderung semakin banyak komponen yang tidak ‘terwakili’. Terlepas dari dualisme tersebut, model tetaplah ‘model’, yang hanya ‘mewakili’ dari sebuah peristiwa, bukan peristiwa itu sendiri. Adakalanya kita tidak dapat menilai baik atau buruk sebuah model hanya dengan melihat tingkat kesederhanaannya, kita dapat menilai sebuah model berdasarkan fungsi dan manfaatnya.

Bisakah menggabungkan penelitian kualitatif dengan kuantitatif?

Bisa,

Sebuah penelitian dilakukan adalah mencari jawaban yang benar dari sebuah atau beberapa pertanyaan penelitian untuk memahami fenomena. Pendekatan kualitatif dan kuantitatif merupakan cara yang dirumuskan untuk memperoleh kebenaran yang benar. Dari tujuan mendasar dari sebuah penelitian, maka menggabungkan dua pendekatan, pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dalam sebuah penelitian bukanlah hal yang ‘haram’. Denzin & Lincoln (2009) berpendapat “penggunaan metode yang beragam atau triangulasi[1] mencerminkan upaya untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai suatu fenomena yang sedang dikaji”. Istilah triangulasi merupakah sebuah alasan mendasar tentang penggabungan penelitian kualitatif dan kuantitatif.

Creswell (1994) memaparkan bagaimana penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif digabungkan dalam sebuah penelitian.  Creswell mengemukakan tiga model desain gabungan penelitian kualitatif dan kuantitatif.

  1. Pendekatan dua tahap

Peneliti melakukan dua buah penelitian dengan pendekatan yang berbeda (pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif) untuk sebuah masalah atau fenomena yang sama.

  1. Desain dominan – kurang dominan

Peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan sebuah pendekatan dominan, dan menggunakan pendekatan lainnya sebagai pendukung .

  1. Desain metodologi campuran

Peneliti menggabungkan aspek-aspek pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif dalam sebuah penelitian.

[1] Gabungan beragam metode, data-data empiris, sudut pandan dan peneliti/pengamat dalam satu kajian unggal sebaiknya dipaham sebagai strategi yang menambahkan ketaatan, keluasan dan kedalaman ke dalam jenis penyelidikan. Misalnya penggunaan wawancara untuk memperkuat dalam sebuah penelitian survey.

Popperian falsification (Karl R. Popper)

Popper merupakan pemikir Jerman yang berkembang di lingkungan yang mendukung teori verifikasi. Namun ia menolaknya dan mengajukan metode falsifikasi. Falsifikasi adalah pengujian pengetahuan secara asimetris, dimana kebenaran teori tersebut hanya sekedar dugaan, sedangkan perkiraan kesalahan merupakan satu kepastian. Menurutnya, ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan logika induksi semata. Logika induksi adalah logika penarikan kesimpulan umum melalui pngumpulan fakta-fakta konkret. Fakta-fakta konkret yang terkumpul atau dikumpulkan digunakan untuk membenarkan suatu teori. Analogi yang dikemukakan popper, bahwa daripada mengumpulkan sebanyak mungkin angsa berwarna putih (untuk mendukung gagasan bahwa semua angsa pasti berwarna putih), lebih baik mencari satu angsa berwarna hitam untuk memfalsifikasi kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, artinya ‘teori’ angsa putih terbantahkan. Pemikiran Popper banyak dikritik, salah satunya Thomas Kuhn. Kuhn berpendapat bahwa pada dasarnya Popper masih mempercayi kesatuan ilmu, padahal menurut Kuhn ilmu itu plural. Ilmu atau teori muncul dari paradigma tertentu. Paradigma dapat diangap supertori atau grand teori yang menjadi sumber munculnya teori-teori lain (mid-range theory dan applied theory). Popper seperti memandang perkembangan teori sebagai ‘kereta’ yang berjalan dalam ‘rel’ waktu, dimana ada saatnya ia berhenti atau terbantahkan dan digantikan oleh ‘gerbong’ lainnya.

Hypothetico-deductivism (Sir Isac Newton)

Asas deducto-hipotetico verificative dianggap sebagai jalan keluar atas pertentangan antara berfikir induktif (salah satunya Bacon) dan deduktif (salah satunya Descartes). Menurut Herman Soewardi, bahwa pada abad ke-20 banyak pakar yang berpandangan bahwa sebenarnya dalam cara berfikir orang hanya terdapat satu cara berfikir yaitu deduktif, dedangkan induktif hanya merupakan deduktif yang sebaliknya. Sungguhpun demikian, sebuah penelitian dengan asas deducto-hipotetico verifikatif mejadi hakim untuk menentukan salah atau benar suatu teori. Namun hal ini menjadi penting ketika melakukan pemaparan logis yang menghubungkan dua variabel sebab-akibat (misal, “if T then D”). ‘Fallacy of affirming the conclusion’ cenderung terjadi ketika ketidakmampuan seorang ilmuwan memahami suatu hubungan antar variabel yang dijelaskan dalam sebuah teori.

Baconian inductivism (Francis Bacon) Novum Organum (1920)

Metoda induktif utuk menemukan kebenaran, disasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesisi melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut. Penggunaan metoda induktif Bacon mengharuskan pencabutan hal yang hakiki dari hal yng tidak hakiki dan penemuan struktur atau bentuk yang mendasari fenomena yang sedang diteliti, dengan cara: membandingkan contoh-contoh hal yang diteliti; menelaah variasi-varisi yang menyertaiya; dan menyingkirkan contoh-contoh yang negatif (Poespoprojo, 1999). Pemikiran induktif mungkin akan berjalan ‘baik’ jika mendasarkan pada premis yang dituruhkan Tuhan.

The Basic Structure of science

Data merupakan komponen penting bagi sebuah teori maupun ilmu. Data merupakan sekumpulan informasi atas realitas. Demikianpun setiap ilmuwan tidak akan mamapu mendapatkan informasi yang sempurna dan menyeluruh atas realitas yang diamati. Terutama dalam bidang ilmu komunikasi (sosial) yang mengkaji ‘fenomena-fenomena manusia’, dimana objek dan subjek kajian sangat dinamis sehingga setiap data akan menjadi sangat unik. Hal tersebut akan menjadi sangat sulit ketika membangun sebuah teori yang ‘menuntut’ generalisasi. Tentunya pencarian data yang tepat dalam penelitian dalam membangun sebuah teori akan sulit pula. Seorang ilmuwan yang melakukan penelitian komunikasi atau sosial cenderung akan menimbulkan bias. Walaupun ilmuwan tersebut menggunakan metodologi penelitian yang baik, tahap interpretasi data menjadi tahap yang memungkinkan timbulnya bias sangat besar. Akan sangat berbeda jenis kesulitan antara ilmuwan ilmu alam dan ilmu sosial, namun yang terpnting adalah kejujuran dan intergritas ilmuwan untuk mencari kebenaran.

Definisi teori dalam Encyclopedia Of The Scientfic Revolution (Applebaum, 2000) adalah “The conceptual structures in terms of which we understand our world”. Teori membantu kita dalam memahami fenomena tertentu. Walaupun demikian teori bukanlah fenomena tersebut. Dalam membangun sebuah teori, para ilmuwan akan ‘terikat’ oleh paradigma, tradisi, atau perspektif dalam memandang suatu realita. Seperti dalam ilmu komunikasi terdapat berbagai tradisi yang dikemukakan ilmuwan (Littlejohn) dalam pengembangan teori komunikasi (tradisi semiotik, fenomenologis, sibernetika, sosiopsikologis, sosiokultural, kritik, dan retorika), sementara ilmuwan (Fisher) lain mengmukakan perspektif teori komunikasi (mekanistis, psikologis, interaksional, dan pragmatis), dan ilmuwan (Infante, Rancer, & Womack) lainnya mengemukakan perspektif lainnya (covering law, human action, dan sistem). Setiap perspektif atau paradigma atau tradisi memiliki alasan masing-masing dalam memandang realitas. Setiap teori memiliki caranya sendiri untuk menelaah fenomena, mengobservasi, dan memaparkannya. Oleh karena itu kita tidak sepatutnya menghakimi bahwa sebuah teori salah, karena teori hanya usaha untuk menjelaskan suatu fenomena.

Dalam ‘memilih’ teori untuk menjelaskan sautu fenomena, tentunya tidak akan dilakukan oleh teori itu sendiri. Campur tangan ilmuwan atau akademisi, atau orang yang memahami teori tak dapat terhindarkan. Seorang ilmuwan atau akademisi yang akan memilih suatu teori tentunya tidak hanya mendasarkan pada ‘rasa’, namun harus memiliki kecukupan pengetahuan atas teori-teori lainnya. Selain itu tentunya memiliki pengetahuan atas teori yang ia pergunakan, mulai dari asumsi, esensi, hingga ‘runutan’ berkembangnya teori tersebut.