Scolae


photography of library room
Photo by Tamás Mészáros on Pexels.com

‘Sekolah’ berasal dari kata skhole, scola, scolae, atau schola (Latin) yang berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’(Mifflin dalam Topatimasang, 2007). Kegiatan ‘sekolah’ pada jaman dahulu dilakukan di Yunani dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui, dan mereka menyebutnya skhole, schola, scolae, atau schola[1].

Ide pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak secara sistematis mulanya dilakukan oleh seorang Uskup Agung Morivia, Johanes Amos Comenius[2], yang selajutnya dikembangkan lagi oleh Johann Heinrich Pestalozzi. Pestalozzi mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian dikenal ‘mata pelajaran’) yang harus mereka lalui secara bertahap. Kegiatan tersebut menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah-sekolah modern dengan penjejangan kelas dan tingkatan yang kita kenal saat ini. Demikianpun terdapat beberapa pendapat lain yang dianggap sebagai cikal-bakal sistem sekolah modern saat ini. sebelum Socrates dan muridnya Plato mendirikan academia atau luceum di Athena, bangsa Cina dikabarkan telah lebih dahulu memiliki sebuah lembaga serupa dengan ‘sekolah’. Lainnya kaum Brahmin India sudah membangun ‘sekolah-sekolah Veda’.

Jenjang sekolah paling tinggi yang ada di era saat ini adalah jenjang Perguruan Tinggi. Beberapa Perguruan Tinggi atau Universitas ternama di dunia seperti Harvard, Yale, Cambridge, Princeton, MIT, Stanford, dan Barkley menjadi acuan kemapanan sebuah Perguruan tinggi lainnya di seluruh dunia. Nama besar yang dimiliki beberapa Perguruan Tinggi diatas bukan satu-satunya jaminan para mahasiswanya untuk berprestasi. Adalah sebuah Universitas Rockefeller di New York. Universitas ini tidak ‘seterkenal’ universitas yang disebutkan diatas, namun dari Universitas inilah muncul para pemegang hadian Nobel, seperti David Baltimore, penemu enzyme-reverse-transcriptae; Gerald Edelmann, pengurai susunan rumit gamma-glogidin; Theodosius Dobzhansky, seorang pengilmah ilmu rekayasa genetika modern; dan Rene Dubos, yang menganjurkan penggunaan zat antibiotik, serta beberapa nama terkenal lainnya.

Selain perguruan tinggi ternama yang disebut diatas, terdapat beberapa ‘sekolah’ tinggi lain. Terdapat Frankfurt School[3], sebauah paguyuban ilmiah para pakar ilmu-ilmu sosial aliran ‘garda depan’ dari mahzab teori kritis rintisan Max Horkheimer dan Theodor Adorno. ‘Sekolah’ serupa lainnya antara lain sekolah Wina, paguyuban para pakar psikoanalisa rintisan Alfred Adler, juga sekolah Chicago (chicago school), kelompok pembaharu teori ilmu politik di Amerika Serikat, atau sekolah Durkheim, tempat pengembangan ajaran-ajaran dari Emile Durkheim. Demikianpun di Indonesia, terdapat sebuah Sekolah Tinggi Wiraswasta yang didirikan di kawasan Pondok Gede sekitar tahun 1979. Sekolah tinggi tersebut sedari awal telah menegaskan pada para mahasiswanya bahwa mereka tidak akan memperoleh ijazah maupun gelar akademis layaknya sekolah tinggi-sekolah tinggi pada umumnya. Sekolah ini memiliki tujuan utama untuk mandiri dan berkarya, namun tiga tahun kemudian (tahun 1981) sekolah ini ‘bubar’. Walaupun didasari atas tujuan ideal, namun pada kenyataannya Sekolah Tinggi Wiraswasta harus kalah bersaing dengan sekolah tinggi-sekolah tinggi lain yang hanya menjual gelar dan ijazah.

Nah, bagimana dengan pilihan sekolahmu? Universitas Telkom mungkin sangat layak untuk dipertimbangkan untuk sekolahmu… 

[1] Keempatnya memiliki arti sama: ‘waktu luang yang digunakan secara khusu untuk belajar (leisure devote to learning) – (dalam The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, vol 11, Houghton Mifflin, Boston, Mass, 199)

[2] atau dikenal juga sebaga Jan Amos Komensky

[3] Sebutan dari sebuah lambaga yang secara resminya adalah Institute for Social Reseach yang didirikan tahun 1923 di Frakfurt, Jerman Barat. Beberapa anggota yang dikenal antaralain Jurgen Habermas, Herbert Marcuse, Walter Benjamin.


Leave a Reply