Semiotika Sosial


Pengertian istilah semiotik berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu semeion, yang artinya “tanda”. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco dalam Sobur, 2001: 95). Semiotika atau ilmu yang mengkaji tentang tanda dibangun berdasarkan asumsi dan konsep yang memungkinkan untuk melakukan analisis sistem simbolik dengan cara yang sistematis (Manning & Swan dalam Denzin & Lincoln, 2009: 617). Ferdinand De Saussure dan Charles Sanders dianggap sebagai pelopor dalam bidang ini. Mulanya kajian ini memusatkan pada bahasa verbal, yang kemudian mengembangkan pada tanda-tanda lain yang lebih luas, mulai kode morse, etiket, musik, hingga rambu-rambu lalu lintas. Tanda dipandang sebagai sebuah sistem yang memiliki keterkaitan atau hubungan. Hubungan yang terjadipun dapat bermacam-macam seperti hubungan homologis, analogis, bahkan metaforis.

Dalam semiotik, tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan atau menggambarkan sesuatu yang lain, dimana terdiri dari dua materi dasar yaitu ‘ekspresi’ dan ‘konten’. Hubungan antara ekspresi dan konten berjalan dinamis, bergantung pada perspektif interpretant. Oleh karena itu, tanda tidak pernah sepenuhnya lengkap, karena memerlukan interpretan dan konteks. Dalam konteks inilah, semiotik memahami tentang tanda. Sobur (2001: 87) berpendapat bahwa “semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda”. Fungsi tanda dalam analisis sosial sangat penting artinya, karena tandalah yang menghadirkan kekhususan dan mendukung relasi-relasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Dalam tanda ada sesuatu tersembunyi dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Pada segi-segi tertentu, kekayaan makna pada suatu tanda sering kali tereduksi oleh pengetahuan, aturan, dan kode-kode yang dipakai oleh konvensi budaya tertentu.

Perkembangan kajian semiotik memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang dikenal mengembangkan ilmu ini, seperti Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Pierce, Louis Hjelmslev, Roland Barthes, Umberto Eco, Julia Kristeva, Michael Riffaterre, Jacque Derrida, Roman Jakobson, Roland Barthes, Umberto Eco, Julia Kristeva, Michael Riffaterre, dan Theo Van Leeuwen. Dalam perkembangannya, semiotika melahirkan berbagai aliran yang dipengaruhi oleh perbedaan paradigma. Sobur (2001: 100) dalam bukunya mengemukakan sembilan aliran semiotik, yaitu: Semiotik analitik, semiotik deskriptif, semiotik faunal, semiotik kultural, semiotik naratif, semiotik natural, semiotik normatif, semiotik sosial, dan semiotik struktural. Setiap ilmuwan lazimnya mengemukakan teknik, konsep tersendiri, hingga dimensi analisis yang digunakan dalam mengkaji tanda.

Semiotik sosial pertama kali dikembangkan oleh M.A.K Halliday (Leeuwen, 2005:3). Dengan dasar pemikiran strukturalis yang dipengaruhi pemikiran post-strukturalis, Halliday berpendapat bahwa grammar dalam bahasa bukan merupakan sebuah kode, yang tidak semata-mata membangun kalimat yang benar. Tetapi merupakan sebuah peristiwa yang menghasilkan makna. ‘Tanda’ merupakan konsep fundamental dalam semiotik, namun tidak memandang ‘tanda’ sebagai sesuatu yang tetap. Untuk itu, Van Leeuwen menggunakan istilah “sumber semiotik” untuk mengantikan kata “tanda”. ‘Sumber semiotik’, kata yang dianggap lebih tepat mengantikan kata ‘tanda’ dalam semiotik sosial, merupakan sebuah tindakan atau artefak yang digunakan dan tercipta dalam peristiwa komunikasi. Mulai dari yang diciptakan secara physiological, dengan otot (menghasilkan ekspresi wajah, atau gesture), atau teknologi (pensil, kertas, atau komputer). Sumber semiotik tidak terbatas pada perkataan, tulisan, atau gambar, namun hampir semua hal yang memiliki makna secara sosial dan kultural. Demikian ketika memandang stand up comedy sebagai peristiwa komunikasi yang menghasilkan sumber-sumber semiotik, maka untuk memahami makna potensial sumber semiotik tersebut, hendaknya harus memperhatikan konteks budaya, norma, hingga ‘aturan-aturan’ dalam stand up comedy.

Semiotik sosial tidak hanya mengumpulkan dan menginvestigasi sumber semiotik dan bagaimana sumber tersebut digunakan dalam konteks spesifik, namun juga berkontribusi dalam menemukan dan mengembangkan sumber semiotik baru dan penggunaan sumber semiotik tersebut. Secara tidak langsung, peneliti semiotik dapat berkontribusi terhadap perubahan sumber semiotik (Leeuwen, 2004: 3). Analisis semiotik sosial tidak hanya fokus pada ‘teks’ dalam ‘konteks’, namun mengkaji pula bagaimana orang menggunakan sumber semiotik dalam memproduksi artefak komunikasi dan peristiwa komunikasi, serta menginterpretasikannya dalam konteks sosial tertentu. Sosial semiotik menginvestigasi bagaimana sumber-sumber semiotik tersebut terintegrasi dalam sebuah peristiwa atau artefak, serta bagaimana orang-orang menggunakan sumber semiotik tersebut dalam konteks sosial tertentu. Sehingga mampu mengkaji berbagai sumber semiotik yang tercipta dalam pertunjukan stand up comedy, tidak terbatas pada kata-kata yang disampaikan oleh seorang comic, namun juga setting, aksesoris, dan sumber-sumber semiotik lainnya yang berpotensi memiliki makna.

Dalam semiotik sosial terdapat dua isu utama yang menjadi fokus eksplorasi, yaitu: sumber material dari komunikasi, dan penggunaannya dalam lingkungan sosial. Untuk itu, terdapat tiga kegiatan yang harus dilakukan. Pertama, mengumpulkan dokumen dan mengumpulkan secara sistematis daftar sumber semiotik, termasuk sejarahnya. Kedua, menginvestigasi bagaimana sumber semiotik tersebut digunakan dalam peristiwa sejarah yang spesifik, budaya, konteks institusional, dan bagaimana orang berbicara tentangnya dalam konteks tersebut. Ketiga, melakukan penemuan dan pengembangan sumber semiotik baru dan penggunaannya.  Untuk melakukan analisis tersebut, Leeuwen (2004: 91) mengengemukakan empat dimensi analisis semiotika sosial, yaitu: discourse, genre, style, dan modality.


Leave a Reply