Teori ini dikembangkan oleh Lev S. Vygotsky, seorang ilmuwan psikologi dari Rusia. Teori ini didasari dari pemikiran marxisme. Pada umumnya manusia membangun aktivitas ideal (simbolisasi) sebelum mengaplikasikannya dalam tindakan (konkret). Aktivitas simbolisasi merujuk pada perencanaan dalam diri individu, seperti “apa yang akan saya katakan dalam percakapan nanti”; atau dapat pula terjadi diluar diri, seperti seorang gubernur yang sedang menulis naskah untuk pidatonya. Teori ini memandang penting makna kata yang dapat digunakan dalam menganalisis pikiran.
Category: Berteori
Activation theory of information exposure
Teori ini dikembangkan oleh Lewis Donohew dan Philip Palmgreen sejak tahun 1990-an. Teori ini menjelaskan tentang perbedaan individu dalam perhatiannya terhadap pesan antarpribadi dan massa. Teori ini menganggap bahwa keberhasilan atau kegagalan pesan sebagai sebuah stimuli akan tertahan hingga pendengar/penonton/pembaca tertarik, dimana ketertarikan tersebut didasarkan pada kebutuhan kogntif dan biologis individu tersebut.
Action-implicative discourse analysis (AIDA)
Dikembangkan oleh Karen Tracy dan Robert Craig tahun 1990-an. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia mampu menyusun apa yang akan dikomunikasikan untuk tujuan yang diinginkan. Teori ini lebih fokus pada praktik komunikasi yang terjadi dalam sebuah institusi.
Action assembly theory (AAT)
Dikembangkan oleh John Greene sejak tahun 1980-an. Menjelaskan proses bagaimana manusia menciptakan pesan verbal dan non-verbal. Mengkaji kondisi kesadaran manusia dalam membangun kreativitas yang menghasilkan pikiran dan tindakan. Teori ini megkaji pula hubungan antara pikiran dan tindakan yang dipertunjukan, hubungan antara komponen verbal dan nonverbal, dan bagaimana orang merencanakan serta mengatur apa yang mereka katakan.
Accomodation theory / Communication acomodation theory (CAT)
Dikembangkan sejak 1950-an melalui penelitian-penelitian sosiolinguistik. Teori ini menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana seseorang beradaptasi terhadap komunikasi yang mereka lakukan dalam menghadapi situasi sosial yang berbeda. Teori ini menekankan pada penggunaan bahasa yang digunakan dalam komunikasi, dimana ia akan menyesuaikan derajat formalitas bahasa yang digunakan dalam konteks sosial yang berbeda. Teori ini menjelaskan pula tentang pengaruh norma sosial dalam penggunan bahasa.
Spiral Of Silence
Spiral of silence theory di kenal juga dengan teori spiral kesunyian, dan sering juga disebut juga spiral kebisuan. Teori ini dikembangkan oleh Elisabeth Noelle Neumann (1973,1980). Pada beberapa sumber Neumann di sebutkan sebagai seorang sosiolog, peneliti politik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Neumann adalah seorang jurnalis Nazi Jerman, dimana tulisan-tulisannya mendukung rezim Hitler dan anti yahudi. Teori spiral kesunyian dianggapnya sebagai buah karyan Neumann yang pemikirannya dipengaruhi oleh lingkungan Nazi (Saverin & Tankard, 2001). Namun para ilmuwan lain lebih memilih untuk memandang teori spiral kesunyian ini sebagai sebuah teori yang hendaknya dipandang atau dinilai dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Teori ini mendasarkan asumsinya pada pernyataan bahwa pendapat pribadi bergantung pada apa yang dipikirkan atau diharapkan orang lain, atau apa yang orang rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain. Orang pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi sosial, atau pengucilan atau keterasingan dalam komunitasnya dalam kaitannya mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Dalam hal ini terdapat 2 premis yang mendasarinya; pertama, bahwa orang tahu pendapat mana yang diterima dan pendapat mana yang tidak diterima. Manusia dianggap memiliki indera semi statistik (quasi-statistical sense) yang digunakan untuk menentukan opini dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau kehilangan kekuatan (Saverin & Tankard, 2001). Kedua, adalah bahwa orang akan menyesuaikan pernyataan opini mereka dengan persepsi ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak selalu harus membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempel stiker di belakang mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat menerima pendapat kita (Littlejohn, 1996).
Dalam menghadapi sebuah isu yang dianggap kontroversial, orang akan membentuk kesan tentang distribusi opini. Mereka mencoba menentukan apakah sikapnya terhadap isu tersebut termasuk kedalam kelompok mayoritas atau tidak, apakah opini publik sejalan dengan mereka atau tidak. Apabila menurut mereka opini publik ternyata tidak sejalan dengan mereka, atau mereka masuk kedalam kelompok (yang memiliki sikap) minoritas, maka mereka akan cenderung diam dalam menghadapi isu tersebut. Semakin mereka diam, semakin sudut pandang tertentu tidak terwakili, dan mereka semakin diam. Spiral kesunyian timbul karena adanya ketakutan akan pengucilan atau keterasingan. Neumann mengatakan “mengikuti arus memang relatif menyenangkan, tapi itupun bila mungkin, karena anda tidak bersedia menerima apa yang tampak sebagai pendapat yang diterima umum, paling tidak anda dapat berdiam diri, supaya orang lain dapat menerima anda” (Littlejohn, 1996).
Dalam hal penentuan opini publik, media masa menjadi bagian yang penting dan kuat walaupun para individu seringkali menyangkal hal ini. Tiga karakteristik komunikasi masa, yaitu cumulation, ubiquity, dan consonance, bergabung untuk menghasilkan dampak yang sangat kuat pada opini publik. Cumulation mengacu pada pembesaran tema-tema atau pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubiquity mengacu pada kehadiran media masa yang tersebar luas. Consonance mengacu pada gambaran tunggal dari sebuah kejadian atau isu yang dapat berkembang dan seringkali digunakan bersama oleh surat kabar, majalah, televisi, dan media lain yang berbeda-beda. Dampak harmoni adalah untuk mengatasi ekspos selektif, karena orang tidak dapat memilih pesan lain, dan untuk menyajikan kesan bahwa sebagian besar orang melihat isu dengan cara yang disajikan media.
Walaupun opini publik pada hakikatnya adalah pandangan serta pemahaman pribadi terhadap sebuah isu, namun mereka tak dapat membedakan dan menyangkal pengaruh media terhadap pandangan mereka terhadap isu tersebut. Setiap orang atau individu biasanya ‘tidak berdaya’ di hadapan media. Ada dua alasan yang memprekuat ketidakberdayaan individu dihadapan media; pertama, sulitnya mendapatkan publisitas bagi suatu maksud atau sudut pandang; kedua, dikambinghitamkan oleh media, dalam hal ini Neumann menyebutnya pillory function(fungsi pasungan) dari media. Media mempublikasikan opini mana yang menonjol dan mana yang tidak. Pada akhirnya seseorang akan sulit membedakan mana pemahaman yang diperoleh dari media atau berasal dari saluran-saluran lainnya.
Dalam hal menentukan distribusi opini publik, menurut Neumann, media masa memiliki 3 cara. Pertama, media masa membentuk kesan tentang opini yang dominan. Kedua, media masa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat. Ketiga, media masa membentuk kesan tentang opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa menjadi tersisih (Saverin & Tankard, 2001).
Dalam hal ‘keberanian’ seseorang untuk menyatakan pendapat, tentunya ada faktor-faktor lain yang membedakan. Seseorang yang umurnya lebih muda cenderung lebih ekspresif dibandingkan seseorang yang lebih tua. Kaum pria pada umumnya lebih bersedia untuk mengemukakan pendapatnya dibandingkan wanita. Orang yang berpendidikan lebih tinggi, lebih banyak berbicara dibandingkan yang berpendidikan rendah. Dalam Littlejohn (1995), terdapat pula beberapa pengecualian dalam teori ini. Mereka adalah kelompok-kelompok atau individu-individu yang tidak takut dikucilkan dan bersedia mengemukakan opini mereka dengan tanpa memperdulikan apapun akibatnya, suatu karakteristik dari para inovator, para pembuat perubahan, dan kaum berfikiran maju.
Memang, teori lingkaran kesunyian menggambarkan fenomena yang melibatkan baik saluran komunikasi antarpribadi maupun komunikasi masa. Media mempublikasikan opini publik, kemudian memperjelas opini mana yang menonjol. Selanjutnya, individu-individu menyatakan opini mereka (atau tidak, bergantung kepada sudut pandang yang menonjol). Dan selanjutnya, media kemudian melibatkan diri kedalam opini yang diekspresikan tersebut, dan lingkaran itu terus berlanjut. Pada beberapa fenomena, teori lingkaran kesunyian dapat pula menggambarkan bagaimana sebuah ancaman-ancaman kritik dari orang lain merupakan suatu kekuatan yang ampuh dalam membungkam seseorang.
Terdapat beberapa kritik mengenai teori ini. Pada penelitiannya, Larosa (1991) menunjukan bahwa dihadapan opini publik, orang tidak benar-benar selemah yang dinyatakan Neumann. Larosa melakukan sebuah survey dimana dia menguji apakah keterbukaan politik dipengaruhi tidak hanya oleh persepsi iklim opini seperti yang dinyatakan olah Neumann, tetapi juga oleh variabel-variabel lain. Variabel-variabel lain tersebut antara lain usia, pendidikan, penghasilan, minat dalam politik, tingkat persepsi atas kemampuan diri (self eficacy), relevansi pribadi dengan isi, penggunaan media berita oleh seseorang, dan perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatnya. Hasil analisis regresi menunjukan keterbukaan dipengaruhi oleh rintangan variabel demografi, tingkat persepsi atas kemampuan diri, perhatian pada informasi politik dalam media berita, dan perasaan yakin seseorang dalam posisinya, tetapi tidak dipengaruhi oleh relevansi pribadi pada isu atau penggunaan media berita secara umum.
Rimmer dan Howard (1990) dalam penelitiannya mereka tidak menemukan hubungan antara penggunaan media dan kemampuan untuk memperkirakan dengan akurat pendapat mayoritas berkenaan suatu isu. Namun Salwen, Lin, dan Matera (1994), dalam penelitannya, mereka menemukan bahwa kecenderungan umum untuk berbicara lebih berhubungan dengan persepsi opini nasional dan persepsi liputan media nasional daripada dengan opini lokal atau liputan media lokal pada suatu isu tersebut.
Saverin, J.W., & Tankard, J.W.Jr. (2005). Teori Komunikasi: Sejarah, metode, dan terapan di dalam media masa.Jakarta:Kencana Prenanda media Group
Stephen W. Littlejohn. (1996). Theories of Human Communication. New Jersey: Wadsworth Puublication
Rohim, S. (2009). Teori Komunikasi: Perspektif, ragam, & Aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Social Cognitive Theory
Social Cognitive Theory dikembangkan oleh Albert Bandura. Albert Bandura adalah seorang Profesor Psikologi dari Stanford University. Ia lahir tanggal 4 Desember 1925 di Mundare, di sebelah utara kota Alberta, Kanada. Ia memperoleh gelar B.A (1949) dari University of British Columbia, gelar M.A (1951) dan gelar Ph.D (1952) dari University of Iowa, dan sejak 1953 bekerja di Stanford University. Selain menjabat Instructor to Professor of Psychology di Stanford University, ia juga aktif dalam berbagai perkumpulan ilmuwan lainnya seperti jabatan President of American Psychological Association, Honorary President Canadian Psychological Association, Committee on International Affairs, Society for Research in Child Development, dan jabatan lainnya. Ia juga memperoleh berbagai penghargaan prestigious di bidang keilmuan seperti Lifetime Achievement Award Association for the Advancement of Behavior Therapy (2001), Lifetime Achievement Award Western Psychological Association (2003), Gold Medal Award for Distinguished Lifetime Contribution to Psychological Science American Psychological Foundation (2006), dan berbagai penghargaan lainnya. Bandura telah menerbitkan lebih 300 lebih buku dan jurnal sejak tahun 1959 (buku pertamanya Adolescent aggression yang disusun bersama Richard Walter).
Albert Bandura merupakan seorang ilmuwan psikologi yang ‘dibesarkan’ di lingkungan learning theory dengan tradisi behaviorism. Bandura memang bukan orang pertama yang mencetuskan ide ‘belajar sosial’ ini. Terdapat ilmuwan lainnya seperti Neil E. Miller dan John Dollard (1941) yang lebih dahulu mengemukakan social learning theory. Social cognitive thory ini merupakan pengembangan dari teori belajar (learning theory). Perbedaan social cognitive theory dengan teori belajar Miller & Dollard adalah bahwa seseorang akan banyak belajar perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguatan (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Seseorang dapat meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkan atas model tersebut (disebut observational learning). Social cognitive theory ini dianggap gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, yang memandang perilaku manusia tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus, malainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interkasi antara lingkungan dengan skema kognitif itu sendiri. Bandura berpendapat bahwa terdapat hubungan timbal balik antara individu (person), lingkungan (environment), dan perilaku individu (behavior), yang dikenal dengan (triadic) reciprocal determinism (atau triadic reciprocal model of causality).
Esensi teori ini adalah bahwa manusia belajar terhadap model melalui proses observasi dan imitasi yang kemudian berguna dalam proses berperilaku atau bertindak. Manusia menggunakan kemampuannya untuk berfikir, simbolizing, dan anticipating untuk bereaksi (outcome reaction). Teori ini mendasarkan pada asumsi-asumsi:
1. memandang manusia secara intrinsik, bukan sebagai baik atau buruk, tetapi sebagai hasil dari pengalaman yang memiliki potensi untuk segala jenis perilaku
2. manusia mampu untuk mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya
3. manusia mampu mendapatkan perilaku baru
4. manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi oleh orang lain
dalam menjelaskan teori ini, Bandura mengemukakan empat elemen penting yaitu: observational learning (modeling), self-regulation, self-efficacy, dan reciprocal determinism.
Observational learning (pembelajaran hasil pengamatan) atau modeling
Menurut Bandura, bahwa seseorang lebih banyak belajar tanpa ada peneguhan (reinforcement) yang ‘nyata’. Dalam penelitianya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang ‘dipelajari’ tersebut, dan model yang diamati juga tidak mendapat peneguhan (reinforcement) dari tingah lakunya. Belajar melalui observasi lebih efisien dibandingkan dengan belajar melalui pengamalaman langsung. Melalui observasi seseorang dapat memperoleh respon yang tidak terhinggai banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan dan penguatan.
Istilah modeling bukan hanya merujuk pada peniruan, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. Terdapat beberapa macam modeling: modeling tingkah laku baru, modeling mengubah tingkah laku lama, modeling simbolik, dan modeling kondisioning (conditioning).
Modeling tingkah laku baru : Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkah laku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkah laku model ditransformasikan menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditransformasikan menjadi simbol verbal atau non verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti.
Modeling mengubah tingkah laku lama : terdapat dua dampak modeling terhadap tingkah laku lama. Pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkah laku model itu mendapatakan ganjaran atau hukuman.
Modeling Simbolik: Dewasa ini sebagian besar tingkah laku berbentuk simbolik. Film dan televisi menyajikan contoh tingkah laku yang tidak terhitung yang mungkin mempengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku.
Modeling Kondisioning: Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi vicarious classical conditioning. Modelilng semacam ini banyak dipakai untuk mempelajari respon emosional.
Terdapat tahapan yang dilalui seseorang dalam melakukan observational learning, yaitu attention processes, retention processes, motor reproduction processes, dan motivational processes.
1. Attention processes (proses-proses perhatian)
Permulaan proses ini ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Perilaku-perilaku yang sesungguhnya dipelajari dari pengamatan terhadap perilaku-perilaku tersebut, sedangkan sikap-sikap, nilai-nilai, pertimbangan-pertimbangan moral, dan persepsi-persepsi realitas sosial, dipelajari melalui modelling abstrak. Menurut Bandura, perhatian terhadap suatu peristiwa ditentukan oleh karakteristik-karakteristik dari peristiwa tersebut (atau rangsangan pemodelan) dan melalui karakteristik-karakteristik dari si pengamat. Kemampuan seseorang untuk mengolah informasi, yang sampai pada suatu titik tertentu dikaitkan dengan umur dan intelijensi, menentukan bagaimana sebaiknya dia dapat belajar dari pengalaman-pengalaman yang teramati. Himpunan persepsi, yang ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan, moods (suasana hati), nilai-nilai, dan pengalaman-pengalaman sebelumnya, mempengaruhi ciri-ciri yang bagaimana dipelajari dari pengamatan tersebut. Perhatian juga ditentukan oleh penguatan masa lampau. Jika seseorang sebelumnya telah diperkuat atau diganjar karena memperhatikan suatu peristiwa atau kelas peristiwa-peristiwa, maka dia mungkin akan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang serupa di masa depan. Ini menerangkan mengapa pola-pola menonton televisi, kalau sudah terbentuk, sulit untuk dirubah.
2. Retention processes (proses-proses retensi/penyimpanan)
Tahap yang kedua, kita harus mampu menyimpan (mengingat) apa yang harus diperhatikan. Ini merupakan awal di mana perumpamaan dan bahasa berasal, yaitu ketika kita menyimpan apa yang kita lihat pada yang dilakukan model dalam bentuk penggambaran mental atau deskripsi verbal. Ketika benar-benar disimpan, kemudian kita dapat ‘membawa’ kesan atau deskripsi itu, kita dapat menirunya dengan tingkah laku kita sendiri. Banyak perilaku yang kita pelajari tidak atau tak bisa dilaksanakan dengan segera setelah pengamatan, karena kekurangan kesempatan atau karena alasan-alasan praktis lainnya. Demikianlah, teori belajar sosial terutama sekali berkenaan dengan delayed modeling – yakni, kinerja peristiwa yang teramati bila modelnya tak ada lagi. Delayed modeling tak dapat terjadi jika kita tidak ingat perbuatan yang teramati. Retensi perbuatan difasilitasi dengan menggambarkan pola-pola respons dalam bentuk simbolis. Perbuatan tersebut haruslah digambarkan dalam pikiran kita sehingga kita dapat mendapat kembali representasi bila kesempatan untuk melaksanakan perbuatan itu datang. Menurut Bandura, kita menggambarkan pola-pola respons (perbuatan atau peristiwa yang dimodelkan) dalam dua sistem – imaginal dan verbal. Riset telah menunjukkan bahwa belajar observasional itu paling akurat bila kita pertamakali secara kognitif mengorganisir (menggunakan simbol-simbol imaginal dan verbal) dan secara mental melatih lagi perilaku yang telah dicontohkan
3. Motor reproduction processes (proses-proses reproduksi motorik)
Setelah memperoleh kode simbolik, dilakukannya tingkah laku, tingkah laku yang diperoleh itu bergantung pada reproduksi motorik dan motivasi seseorang. Reproduksi motorik ialah memilih dan menyusun respons-respons pada taraf kognitif, diikuti dengan tindak perbuatan. Menurut Bandura, seseorang berpikir sebelum dia berbuat. Berpikir disini berarti mengorganisir respons-respons yang telah dipelajari sehingga perilaku yang sesungguhnya dapat dilaksanakan. Organisasi dan inisiasi kognitif dari perilaku bergantung pada ketersediaan keterampilan-keterampilan tertentu pada individu tersebut. Ini meliputi baik keterampilan kognitif maupun keterampilan motorik. Sangatlah jarang kita sanggup untuk secara akurat mereproduksi perilaku-perilaku pada beberapa upaya pertama. Reproduksi yang akurat lazimnya merupakan produk dari coba-coba (trial and error). Oleh sebab itu, umpan balik menjadi penting karena memungkinkan kita untuk melakukan pembetulan terhadap kekurangan-kekurangan antara perbuatan yang teramati dengan pemodelan kita terhadapnya. Hal penting lainnya dari reproduksi yaitu kemampuan kita untuk meniru akan bertambah baik dengan latihan pada hal-hal menyangkut tingkah laku. Tak hanya itu, kemampuan kita akan bertambah baik ketika kita membayangkan penampilan diri kita.
4. Motivational processes
Kita tidak membuat setiap sesuatu hal yang kita pelajari. kemungkinan bahwa suatu perilaku tertentu akan dilaksanakan tidak bergantung hanya pada kesempatan atau pada proses-proses reproduksi motorik. Motivasi untuk melaksanakan perbuatan tersebut juga penting. Motivasi bergantung pada penguatan. Menurut Bandura, ada tiga jenis penguatan yang dapat memotivasi kita untuk bertindak, yakni:
penguatan eksternal: penguatan eksternal adalah ganjaran-ganjaran yang didapat oleh pelaku karena melaksanakan perilaku tersebut. Ganjaran-ganjaran ini merupakan ganjaran eksternal, yang berarti bahwa mereka ada diluar pelaku tersebut. Contoh-contoh tentang ganjaran-ganjaran eksternal biasa adalah persetujuan sosial, uang, hak-hak istimewa, dan penghindaran hukuman. Pengharapan atau dugaan tentang akibat-akibat karena melaksanakan suatu perbuatan akan mempengaruhi pembuatan-pembuatan keputusan di masa depan.
penguatan vicarious (seolah mengalami sendiri): penguatan vicarious (seolah mengalami sendiri) berakibat bila kita mengamati orang lain yang dikuatkan untuk melaksanakan perilaku-perilaku tertentu. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa model-model yang diganjar lebih mungkin akan ditiru ketimbang model-model yang tidak diganjar.
penguatan diri sendiri: penguatan diri sendiri juga menentukan pembuatan perilaku-perilaku yang dipelajari. Kita sanggup membangkitkan penguatan-penguatan dalam diri kita sendiri untuk melaksanakan perilaku-perilaku tertentu.
Terdapat faktor-faktor yang Mempengaruhi proses observational learning, yaitu:
a. Karakteristik Model
Peranan utama model tingkah laku adalah memindahkan informasi kepada pengamat. Sebagai stimulus, model tingkah laku dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
Model hidup, yang termasuk kategori ini adalah anggota keluarga, handai taulan, teman sekerja dan sebagainya dengan siapa seseorang mempunyai hubungan langsung. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang memperoleh informasi dari hubungan sosial ini.
Model simbolik, model simbolik adalah gambaran tingkah laku dalam pikiran. Dalam kehidupan saat in, media massa merupakan sumber model-model tingkah laku.
Deskripsi verbal, deskripsi verbal adalah model yang bukan berupa tingkah laku, tetapi berujud instruksi-instruksi, misalkan serangkaian instruksi untuk merakit peralatan.
b. Karakteristik observer
Berhubungan dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh observer. Hal ini akan menentukan seberapa cepat dan mudah proses belajar itu berlangsung.
c. Konsekuensi dari tingkah laku yang ditiru
Konsekuensi tingkah laku juga merupakan unsur yang penting dalam teori belajar sosial, yang menyangkut tiga macam reinforcement, yaitu :
Direct reinforcement, yaitu tipe konsekuensi yang menyatakan bahwa suatu peristiwa dapat menguatkan tingkah laku, baik menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Vicarious reinforcement, yaitu konsekuensi yang berkaitan dengan tingkah laku orang lain yang diamati, orang yang diamati diberi atau meningkatnya perilaku orang yang mengamatinya. Vicarious reinforcement, juga berfungsi membangkitkan respons-respons yang bersifat emosional. yang nantinya akan membangkitkan rasa puas, bangga, agung dan sebagainya
Self-reinforcement, merupakan peeguhan yang harus diusahakan sendiri oleh seseorang. Tiga unsur dalam self reinforcement, yaitu : standar tingkah laku buatan pribadi, kajian-kajian yang memberikan reinforcement dibawah pengendalian sendiri, dan seseorang sebagai pelaku reinforcement sendiri
Self-regulation (regulasi diri)
Self regulation adalah kemampuan individu untuk mengatur perilakunya sendiri dengan internal standard dan penilaian untuk dirinya. Konsep ini menjelaskan mengapa manusia bisa mempertahankan perilakunya walaupun tidak adanya ganjaran yang berasal dari lingkungan eksternal. Konsep ini tidak dapat berjalan tanpa adanya internal standards seseorang. Internal standards adalah pemikiran yang berasal dari pengaruh modelling sebelumnya dan juga berbagai reinforcement yang lalu. Dengan adanya pemaknaan terhadap fenomena tertentu yang menurutnya baik atau bernilai, maka nilai-nilai tersebut menjadi patokan nilai internal individu yang bersangkutan. Semakin tinggi internal standard seseorang, semakin besar harapannya untuk mencapai nilai tersebut dan semakin besar pula kemungkinan individu tersebut mengalami gangguan-gangguan
Terdapt 3 langkah dalam melakukan self regulation yaitu:
a. self-observation (observasi diri)
Kita melihat diri kita sendiri, tingkah laku kita dan menjaga etiket itu.
b. judgment (penilaian)
Kita membandingkan apa yang kita lihat dengan sebuah standar. Sebagai contoh, kita dapat membayangkan penampilan kita dengan standar tradasional, seperti ‘aturan tata cara’ atau kita dapat menciptakan aturan yang lebih mengikat, seperti “saya akan membaca buku seminggu sekali”. Atau kiat dapat bersaing dengan orang lain atau dengan diri kita sendiri.
c. self-response (respon diri)
Jika kita mengerjakan sesuatu dengan baik, dalam memperbandingan dengan sebuah standar, kita memberikan diri kita sendiri seubuah penghargaan atau apresiasi sebagai respon diri. Sementara jika kita mengerjakan sesuatu yang buruk, kita memberikan hukuman untuk diri kita sendiri sebgai respon diri. Respon diri berkaitan dengan kejadian nyata (mendorong pada tindakan langsung) dan lebih tersembunyi (merasa malu atau bangga). (Dalam hal ini, terdapat konsep penting dalam psikologi yang dikenal dengan konsep diri dan self-esteem yang dapat menjelaskan konsep ini lebih lengkap). Untuk seorang yang telah dewasa, ia akan memiliki atau menemukan standar hidup sendiri yang memiliki self-praise dan self-reward sehingga akan memiliki sebuah self-concept yang baik (self-esteem yang tinggi). Begitupun sebaliknya, kalau kita gagal menemukan standar hidup kita sendiri dan sering menghukum diri sendiri, kita akan memiliki self-concept yang buruk (self-esteem rendah).
Dalam pandangangan para behavioris pada umumnya, memandang (reinforcement) penguatan sebagai sesuatu yang efektif, sementara (punishment) hukuman banyak menimbulkan masalah atau dampak buruk. Tiga dampak buruk dari self-punishment yang berlebihan menurut Bandura, yaitu:
1. Kompensasi: kompleks yang superior, contohnya khayalan tentang kemewahan,
2. Ketidak-aktifan: apatis, depresi, dan kebosanan,
3. pelarian (escape): narkoba, alkohol, fantasi televisi, atau mungkin bunuh diri.
Self-efficacy (efikasi diri)
Self efficacy merupakan persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Self efficacy juga merupakan perasaan optimis mengenai diri kita yang berkemampuan dan efektif. Secara singkat, self efficacy adalah sejauh mana kita mampu mencapai sesuatu. Self efficacy tumbuh dari keberhasilan-keberhasilan yang pernah dilakukan. Terdapat dua komponen dalam self efficacy yaitu:
1. Efficacy expectations : kepercayaan bahwa ia bisa melakukannya atau tidak.
2. Outcome expectations : perkiraan individu bahwa suatu outcome tertentu akan muncul dan pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan
Self efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Setiap tingkah laku, bisa tingkah laku dalam bekerja, akademis, rekreasi, atua sosial dipengaruhi oleh self efficacy. Keyakinan terhadap self-efficacy mempengaruhi tindakan yang dipilih, usaha yang diberikan untuk aktivitas tertentu, kegigihan mengatasi hambatan & kegagalan, dan kemampuan beradaptasi setelah mengalami kegagalan
Reciprocal-determinism atau triadic reciprocal model of causality
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan/mempengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Reciprocal determinism adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai saling-determinis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial.
Dalam menganalisis perilaku seseorang, ada tiga komponen yang harus ditelaah yaitu individu itu sendiri (person), lingkungan (environment), serta perilaku si inidividu tersebut (behavior). Ketiga hal tersebut dikenal dengan istilah Triadic Reciprocal Causation. Individu akan memunculkan satu bentuk perilaku yang sama meskipun lingkungannya serupa, namun individu akan bertindak setelah ada proses kognisi atau penilaian terhadap lingkungan sebagai stimulus yang akan ditindaklanjuti.
Triadic Reciprocal Model of Causality
Hubungan antara tiga faktor tersebut adalah reciprocal determinism, atau diterminisme timbal balik. Istilah determinisme disini tidak berarti bahwa individu itu ditentukan oleh ‘sebab’ yang sudah ada sebelumnya, tetapi bahwa akibat-akibat yang timbul disebabkan oleh peristiwa yang terjadi. Hubungan tiga arah antara fakor tersebut menegaskan bahwa proses kognitif dan faktor pribadi lainnya mempengaruhi. Seseorang memperoleh kesan-kesan simbolik dari tingkah laku. Kesan-kesan simbolik yang diperoleh seseorang disimpan dalam bentuk kode, fungsinya adalah memberikan petunjuk dan bimbingan dalam bartingkah laku di waktu waktu yang akan datang. Kode-kode tingkah laku yang diperoleh dari pengamatan itu adalah kode-kode simbolik yang dinamakan sistem representasional. Sistem ini ada dua macam, yaitu : visual dan verbal. Yang termasuk didalam sistem visual adalah gambar-gambar yang amat jelas dari stimuli fisik yang sudah tidak ada seperti aktivitas -aktivitas, tempat-tempat dan benda-benda. Sedangkan yang termasuk didalam sistem verbal ialah peristiwa-peristiwa (seperti prosedur menyusun kalimat), simbol-simbol bahasa, angka-angka, notasi musik dan sebagainya
Daftar Pustaka:
Miller, Katherine. (2001). Communication Theories. New York. McGraw Hill
Rakhmat, Jalaludin. (2009). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Saverin, W.J. & Tankard, W.T,Jr. (2008). Teori Komunikasi: sejarah, metode, dan terapan di dalam media massa. Terj. Sugeng Hariyanto. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Venus, Antar. (2009). Manajemen Kampanye. Bandung: Simbiosa Rekatama Media