Kritik “Lip Service”

(Artikel ini telah dipublikasikan di kolom Opini koran Pikiran Rakyat tanggal 14 Juli 2021)

Tanggal 26 Juni lalu akun Instagram @bemui_official mengunggah sebuah konten kritik yang membuat gaduh media sosial dan media massa di Indonesia. Kegaduhan itu diamplifikasi melalui respon para pendukung Presiden Jokowi (hingga beberapa tokoh menggelar forum debat terbuka), dan diskusi di media massa. Saking gaduhnya sampai-sampai Presiden Jokowi membuat video khusus yang berisi tanggapan atas kegaduhan yang terjadi.

Konten yang diunggah oleh akun Instagram @bemui_official yang diberi judul  “Jokowi: The King of Lip Service”, sesungguhnya konten kritik biasa saja. Tampilan visualnya menggunakan gaya populer, dengan mengartikulasikan konten-konten digital yang umum. Isinyapun kritik yang sering disampaikan oleh banyak tokoh dan lawan politik Presiden Jokowi. Mulai dari soal tindak represi peserta demo, soal revisi UU ITE, pelemahan KPK, hingga UU Cipta Kerja. Namun, yang dianggap tidak biasa adalah kritik tersebut disampaikan oleh “akun resmi” Badan Eksekutif Mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di Indonesia. Yang dibuat dalam bentuk poster digital yang tidak formal, populer, dan terlihat tidak serius. Hingga muncul narasi bahwa konten-konten itu melecehkan dan merendahkan Presiden Jokowi.

Kritik di Negara Demokrasi

Indonesia sejatinya adalah negera demokrasi yang masih relatif muda, yang baru berdemokrasi 23 tahun. Yang masih belajar berdemokrasi dengan tertatatih-tatih ditengah gempuran budaya global, hoaks, dan radikalisme. Walaupun demikian, Indonesia pernah dianggap sebagai negara demokrasi yang lebih baik ketimbang negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya. Namun beberapa peneliti asing yang mempelajari demokrasi Indonesia, pada beberapa artikel ilmiahnya menyebut bahwa memang saat ini Indonesia sedang mengalami penurunan demokrasi (Aspinall et al., 2020; Power, 2018). Menurut David Bourchier, penurunan kualitas demokrasi itu dipicu oleh politik agama dan polarisasi yang terjadi sejak pemilihan gubernur Jakarta 2017 dan Pemilu Presiden 2019 yang ‘panas’. 

Sebagai sebuah negara demokrasi, Negara wajib melindungi hak berpikir dan mengekspresikan pikiran para warganya. Dalam konteks demokrasi di Indonesia, terdapat batasan-batasan yang diatur oleh Undang-undang dan norma umum yang disepakati masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, respon Presiden Jokowi terhadap kritik di akun @bemui_official, melalui video tanggapannya, cukup melegakan. Dengan menyampaikan bahwa hal tersebut hanyalah bentuk ekspresi mahasiswa, dan tidak perlu dihalang-halangi. Tanggapan Presiden Jokowi ini dapat dianggap sebagai angin segar demokrasi Indonesia saat ini. Dimana, dimuka umum, Presiden melindungi kebebasan berekspresi warganya. Walaupun secara implisit Presiden Jokowi sepertinya hendak menyampaikan bahwa kritik itu tidak sesuai dengan tata krama dan budaya sopan santun. Namun kenapa kritik ‘biasa’ itu bisa dianggap melanggar tata krama dan budaya sopan santun?

Kritik Populer Jaman Now

Mungkin belum lupa dari ingatan kita, saat terjadi demonstrasi pengesahan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), RUU Cipta Kerja, dan RKUHP beberap waktu lalu, banyak demonstran membawa poster tuntutan yang berisi kalimat-kalima lucu? Ada yang menulis “gapapa make-up ku luntur, asal bukan keadilan yang luntur”, “Biarlah cintaku yang kandas, asalkan jangan keadilan yang kau tindas” atau “daripada RKUHP yang disahkan, mending hubungan kita aja”, dan masih masih banyak lagi kalimat lucu yang ditulis dalam poster tuntutan para mahasiswa.

Kalimat-kalimat lucu itu adalah bahasa populer remaja jaman now yang sering dipakai saat berinteraksi di media sosial dan internet. Bahasa populer yang digunakan juga tidak terbatas pada teks verbal, namun juga penggunaan elemen visual populer lainnya yang lazim disertakan dalam sebuah meme atau poster digital. Bahasa populer itu merupakan produk budaya digital, yang diciptakan oleh remaja yang terkoneksi internet, melalui tindak imitasi dan replikasi. Jenis bahasa itu merefleksikan cara berfikir remaja jaman now yang bebas dan terbuka. Simbol, kalimat, dan bahasa itu tidak lahir begitu saja, ia tercipta atas dasar kesepakatan anggota komunitasnya. Melalui proses yang panjang namun cepat, merambat melalui jaringan internet dan media sosial.

Simbol, kalimat, dan bahasa yang nampak ‘tidak serius’ itu sejatinya tetap memiliki potensi ide dan gagasan yang serius para pembuat dan penyebarnya. Pembuat dan penyebar konten-konten itu harus memiliki pengetahuan tertentu untuk dapat memahaminya. Sebagai contoh, saat seorang menulis “KKTBSYS”, ia harus punya pengetahuan tentang Orde Baru, dan Presiden Soeharto. Tulisan “KKTBSYS” yang merupakan singkatan dari “kenapa kamu tanya begitu siapa yang suruh?”, tak akan cukup dimengerti jika tidak memiliki pengetahuan lain yang menyertainya. Orang yang menginterpretasi setidaknya harus tahu bagaimana kalimat itu menjadi kalimat yang sangat menakutkan saat diucapkan oleh Presiden Soeharto saat beliau berkuasa. Sehingga kalimat-kalimat sepele, tidak serius, dan lelucon itu memiliki makna yang mendalam dan merefleksikan pengetahuan, walau disampaikan dalam genre yang informal yang tidak sopan. 

Protes Digital yang Kreatif

Protes digital yang diunggah akun Instagram @bemui_official menggunakan konten populer itu mungkin dianggap tidak sopan dan melanggar tata krama bagi sebagian kelompok orang. Bentuk-bentuk protes semacam itu mungkin akan makin banyak dipakai masyarakat digital kontemporer, dan terus berevolusi. Evolusi yang terjadi hingga tercapai keseimbangan, dimana kelompok-kelompok bisa saling memahami, atau terbiasa dengan bentuk protes itu. Namun, hal yang paling penting dilakukan adalah menjaga kebebasan berfikir dan berekspresi masyarakat dalam beragam bentuk. Karena digitalisasi dan internet memfasilitasi penggunanya menciptakan hal-hal baru yang kadang tak terduga, dan muncul dari akar rumput. Kreativitas konten dan bahasa digital masih terus berevolusi, memfasilitasi beragam ide, gagasan, dan kreativitas remaja jaman now. Represi terhadap ide, gagasan, dan kreativitas tak akan terbendung lagi. Karena ia akan terus menyelusup dalam jaringan internet, dan dapat diam-diam menyebar.

Referensi

Aspinall, E., Fossati, D., Muhtadi, B., & Warburton, E. (2020). Elites, masses, and democratic decline in Indonesia. Democratization, 27(4), 505–526. https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1680971

Bourchier, D. M. (2019). Two Decades of Ideological Contestation in Indonesia : From Democratic Cosmopolitanism to Religious Nationalism Two Decades of Ideological Contestation in Indonesia : From Democratic Cosmopolitanism to Religious Nationalism. Journal of Contemporary Asia, 49(5), 1–21. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1590620

Power, T. P. (2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338. https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918

Menyoal Meme Joker

(Artikel ini telah dipublikasikan pada Koran Pikiran Rakyat pada tanggal 14 November 2019)

Meme Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang dimodifikasi sehingga menyerupai tokoh Joker, yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, berawal dari sebuah foto. Foto seorang wanita yang berdiri disamping poster film Joker, sambil memegang kertas bertuliskan “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Foto dan kata-kata itu populer, hingga viral di internet sejak awal Oktober 2019. Mulanya foto itu tidak berkonotasi negatif, mengejek, ataupun menghina. Foto itu justru dapat dimaknai sebagai bentuk apresiasi terhadap film dan tokoh Joker, yang kemudian direplikasi dan dimodifikasi menjadi meme yang beragam. Hingga salah satunnya menjadi meme Gubernur Jakarte Anies Baswedan yang menyerupai Joker.

Apa itu Meme?

Seorang peneliti bernama Limor Shifman menjelaskan bahwa meme adalah konten digital yang umum dan populer, yang dibuat dan disebarkan oleh banyak orang melalui tindak imitasi dan replikasi. Meme biasanya disirkulasikan, dan disebarkan oleh banyak orang, hingga membuat beberapa meme menjadi viral. Viralitas sebuah meme seringkali membuat kita tidak tahu, siapa yang pertamakali membuatnya, atau siapa yang membuat meme yang kita sebarkan. Namun yang dapat kita pelajari dari sebuah meme yang viral adalah sikap dan pandangan yang dimiliki masyarakat, atau sekelompok orang tentang isu yang diperbincangkan.

Sehingga, memepelajari meme dapat digunakan untuk mempelajari tentang sikap-sikap dan pandangan masyarakat tentang isu yang berkembang. Hal tersebut membuat meme menjadi bentuk pesan yang bermanfaat di negara demokratis maupun negera non-demokratis. Karena meme bukanlah produk individu. Meme adalah produk kolektif masyarakat. Sebuah meme tidak akan tercipta tanpa ada pengetahuan kolektif masyarakat. Misalnya meme Joker tidak akan dibuat, disebarakan, hingga viral jika masyarakat tidak mengetahui tokoh Joker, film Joker, dan cerita Joker dalam film. Sehingga memahami sebuah meme, adalah memahami isu dan sikap tentang isu yang diperbincangkan masyarakat.

Apakah meme berbahaya?

Menurut studi yang dilakukan oleh Wafa Abu Hatab, menunjukan bahwa meme berperan penting dalam revolusi di Tunisa, dan berkaitan erat kebangkitan dunia arab (Arab Spring). Namun bagaimana bisa sebuah meme berperan dalam dinamika politik sebuah bangsa? Padahal, lazimnya meme disampaikan dalam konteks lelucon dan humor. Hingga pesan-pesan yang disampaikan hanyalah isu-isu yang tidak serius dan sepele?

Studi yang dilakukan oleh Heidi Huntington dari Colorado State Univeristy, menjelaskang tentang efek yang ditumbulkan oleh meme. Meme yang diterima dan dimaknai oleh orang yang sejalan dengan sikap politiknya, akan memperkuat keyakinan dan menghibur. Namun meme yang diterima dan dimaknai oleh orang yang memiliki sikap politik berlawanan akan menimbulkan kebencian. Walaupun meme tersebut disampaikan dalam bentuk lelucon dan humor sekalipun. Meme tidak memiliki sikap persuasif yang kuat, namun mampu menjadi stimuli dalam memperkuat dan memperteguh sikap politik tertetntu.

Dalam perannya sebagai alat untuk menstimuli sikap politik (dan kebencian), kita dapat mempelajarinya dari hasil studi yang dilakukan oleh Ranira Rampazzo Gambarato dan Fabiana Komesi dari Jonkoping University Swedia. Mereka mempelajari tentang bagaimana meme berperan dalam dinamika politik di Brazil, yang berujung pada pemberhentian presiden Dilma Rousseff. Di Brazil, meme berjalan beriringan dengan media masa konvensional saling melengkapi dan memperkuat isu yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai contoh adalah peristiwa debat sengit antara politisi Arteria Dahlan dengan tokoh nasional Emil Salim di sebuah TV nasional. Peristiwa tersebut banyak diperbincangkan di media massa dan menjadi meme yang berisi imitasi dan modifikasi perbincangan kedua tokoh tersebut. Dan kini, Tokoh Anies Baswedan yang diimitasi dan dimodifikasi menjadi seperti tokoh Joker, lalu disebarkan melalui media sosial. (Bahkan kini, isunya disebarkan lagi di media massa).

Meme Anies Baswedan yang menyerupai tokoh Fiksi Joker berpotensi memperkuat kebencian terhadap tokoh politik. Dalam konteks ini meme mulanya hanya berfungsi sebagai respon terhadap sebuah isu, namun kemudian menjadi pematik isu lain. Sehingga isu yang melibatkan tokoh Anies Baswedan semakin membesar dengan sendirinya. Meme dan media masa konvensional, berjalan beriringan dan bekerjasama membesarkan skala perbincangan isu tersebut di masyarakat.

Meme Joker yang menimpa Anis Baswedan

Untuk dapat memahami meme Joker yang menimpa Anis Baswedan, kita dapat memperhatikan tiga unsur yang terkandung didalamnya. Pertama adalah penggunaan unsur gambar atau bentuk yang dilibatkan didalamnya. Dimana didalamnya terdapat unsur tokoh fiksi Joker (dengan “make up” badut khas Joker), foto Anied Baswedan, dan kata-kata. Kedua, konten atau pesan yang terkandung didalamnya. Ketiga, potensi sikap yang terkandung didalamnya. Dengan memperhatikan ketiga unsur tersebut baru kita dapat memahami dan memaknai makna dan maksud meme tersebut, apakah meme tersebut mengandung unsur penghinaan, pelecehan, atau hanya lelucon ringan.

Meme Joker yang menimpa Anies Baswedan termasuk meme yang berpotensi menghina dan mengejek, dengan asumsi bahwa Joker diasosiasikan sebagai ‘penjahat’. Walaupun tidak dapat serta-merta menganggap orang yang membuat dan menyebarkan menuduh Anis Baswedan sebagai penjahat. Karena jika direlasikan dengan tokoh Joker dalam film, konteks Joker dalam filmnya, bukan seorang penjahat yang dibenci. Atau penjahat yang memiliki derajat kejahatan mutlak. Namun kejahatan atau sikap dan perilaku jahat yang dimiliki Joker merupakan kejahatan yang ‘manusiawi’, akibat tekanan sosial. Namun membaca Meme Joker-Anies tidak dapat selalu direlasikan dengan karekter tokoh Joker dalam film. Kita perlu mempertimbangkan konteks Joker dalam budaya populer masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun, dalam konteks budaya populer di Indonesia, tokoh Joker cenderung dipertentangkan dengan tokoh Batman yang pahlawan.

Meme tersebut mengandung pesan dalam bentuk humor politik. Dimana humor politik dianggap sebagai tradisi tebesar amerika (menurut William Fry). Tradisi yang memungkinkan masyarakat mengkritik dan bahkan mencemooh politisi dan presiden. Jika Indonesia hendak mengadopsi tradisi demokrasi yang serupa dengan Amerika, maka masyarakat harus belajar, dan membiasakan diri dengan meme politik sekasar apapun. Karena kebebasan berpendapat harus dijunjung. Apapun isinya maupun bentuknya, baik itu sanjungan maupun hinaan.

Namun jika kita hendak membangun “demokrasi” ala Indonesia, maka orang-orang harus belajar membuat meme yang ‘sopan’, dan santun. Yang sesuai dengan budaya Indonesia. Karena meme adalah produk globalisasi, yang tidak hanya menyebarkan cara berpendapat, namun juga menyebarkan ideologi dan etika menyampaikan pendapat yang perlu kita sesuaikan. Karena meme telah menjadi bahasa baru di era digital yang niscaya kita hindari.

Pesimisme MEA Dalam Kartun

(Tulisan ini telah dipresentasikan pada Conference on Communication and New Media Studies 2015 di kampus Universitas Multimedia Nusantara – Tanggerang, dan dipublikasikan dalam prosiding dengan ISBN: 978-602-95532-9-1).

 

ABSTRAK

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi Indonesia. Banyak yang menganggap MEA sebagai jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. Pemerintahpun mewacanakan kebaikan MEA melalui berbagai media, agar rakyat Indonesia bersiap menghadapinya. Pun demikian, berbagai kalangan masyarakat mulai menggeliat bersiap ‘menghadapi’ MEA. Namun tampaknya sebagian rakyat Indonesia nampak pesimis menghadapi MEA. Salah satunya terepresentasikan dalam kartun pada koran Pikiran Rakyat.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis representasi MEA dalam kartun di koran Pikiran Rakyat yang terbit pada tanggal 5 Maret 2015. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode analisis semiotika sosial Theo Van Leeuwen. Metode analsis semiotika sosial Theo Van Leeuwen menelaah tanda dalam kartun tentang MEA melalui empat dimensi analisisnya, yaitu: discourse, genre, style, modality.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, adanya potensi makna tanda pesimisme dalam kartun tentang MEA dalam koran pikiran rakyat. Pesimisme, sebagai sebuah pandangan filosofis yang di utarakan oleh Schopenhauer, yang salah satunya pemikirannya memandang alam semesta ini ada adalah untuk menyengsarakan manusia. Dimana keberadaan MEA sebagai sebuah fenomena yang dihadapi manusia ada untuk menyengsarakan. MEA sebagai sebuah realitas yang akan dihadapi masyarakat hanyalah sebagian dari keburukan, penderitaan, dan kemalangan yang dihadapi oleh manusia.

 

Pendahuluan

Berkembangnya wacana dominan “globalisasi”, membawa manusia untuk terlibat dalam tatanan kehidupan yang terintegrasi. Salah satunya adalah tatanan ekonomi yang integral seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Hatta Rajasa (dalam Darwis, 2014: v), dalam kapasitasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, memandang MEA 2015 sebagai sebuah keniscayaan dalam pembangunan peradaban manusia masa kini. Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah menjadi keharusan, kemudian gencar ‘di promosikan’, dan ‘terpromosikan’.

Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi sebuah pengetahuan yang dikonstruksi secara sosial, dan disepakati oleh masyarakat, sebagai jalan menuju kebaikan. Ia terepresentasikan dalam banyak artefak komunikasi, dan terlibat dalam berbagai peristiwa komunikasi. Banyak tulisan dalam bentuk artikel, jurnal, hingga buku yang menulis tentang kebaikan MEA. Pidato para tokoh bangsa pun tak kalah seringnya berbicara tentang kebaikan MEA. Demikianpun bentuk pesan lainnya, seperti kartun yang mampu merepresentasikan MEA dalam berbagai versinya.

Ketika sebuah kartun merepresentasikan sesuatu, ia memiliki potensi makna yang tidak tunggal. Setiap orang yang mempersepsi setiap tandanya, dapat memaknainya dengan lebih ‘kaya’, karena ia memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan, bahkan menyembunyikan pesan. Demikianpun sebuah kartun yang ditampilkan pada surat kabar Pikiran Rakyat edisi 5 Maret 2015, yang menampilkan sebuah sumber semiotika tentang MEA. Pada kartun tersebut ditampilkan sumber-sumber semiotika yang memperbincangkan tentang MEA. Dimana di dalamnya terkandung potensi pengetahuan yang terkonstruksi secara sosoal oleh masyarakat.

Oleh karena itu, maka dilakukan sebuah analisis semiotika sosial, pada kartun tentang MEA pada surat kabar Pikiran Rakyat edisi 5 Maret 2015. Analisis tersebut bertujuan untuk memahami potensi makna dari sumber semiotika yang terepresentasikan pada kartun, tentang MEA.

Semiotika Sosial Theo Van Leeuwen

Semiotika sosial mulanya dikembangkan oleh M.A.K Halliday (Leeuwen, 2005: 3). Berdasarkan cara pandanggnya terhadap tanda, semiotika sosial dianggap selaras dengan pemikiran kaum post-strukturalis. Halliday memandang grammar dalam bahasa bukan merupakan sebuah kode, yang tidak semata-mata membangun kalimat yang benar, tetapi merupakan sebuah peristiwa yang menghasilkan makna. Sebagai konsep fundamental, tanda atau sumber semiotik bukan sesuatu yang tetap.

Menggunakan istilah “sumber semiotik”, yang merujuk pada “tanda”, Theo Van Leeuwen turut mengembangkan metode analisis semiotika sosial. Selain dipengaruhi oleh pemikiran Halliday, pemikiran Leewen banyak dipengaruhi oleh Barthes, Fairclough, hingga Faucault. Menurutnya, sumber semiotik merupakan sebuah tindakan atau artefak yang tercipta dalam berbagai peristiwa komunikasi. Tindakan atau artefak yang tercipta secara physiological, dengan otot (menghasilkan ekspresi wajah, atau gesture), atau teknologi (pensil, kertas, atau komputer). Sumber semiotik tidak terbatas pada perkataan, tulisan atau gambar, namun hampir semua hal yang memiliki makna secara sosial dan kultural.

Dalam semiotik sosial terdapat dua isu utama yang menjadi fokus eksplorasi, yaitu: sumber material dari komunikasi, dan penggunaannya dalam lingkungan sosial. Untuk itu, terdapat tiga kegiatan yang harus dilakukan. Pertama, mengumpulkan dokumen dan mengumpulkan secara sistematis daftar sumber semiotik, termasuk sejarahnya. Kedua, menginvestigasi bagaimana sumber semiotik tersebut digunakan dalam peristiwa sejarah yang spesifik, budaya, konteks institusional, dan bagaimana orang berbicara tentangnya dalam konteks tersebut. Ketiga, melakukan penemuan dan pengembangan sumber semiotik baru dan penggunaannya.  Untuk melakukan analisis tersebut, Leeuwen (2004: 91) mengengemukakan empat dimensi analisis semiotika sosial, yaitu: discourse, genre, style, dan modality.

Leeuwen mendefinisikan discourse (wacana) sebagai “as socially constructed knowledge of some aspect of reality” (Leeuwen: 2005: 94). Wacana adalah sumber untuk merepresentasikan sesuatu. Wacana dapat dianggap sebagai pengetahuan tentang realitas. Dimana baru dapat dipahami ketika aspek realitas tersebut disajikan. Namun kita tidak dapat menentukan makna atas realitas tersebut. Sementara itu kita tidak dapat merepresentasikan apapun tanpanya, yang dapat dilakukan adalah membangun framework untuk membuat ‘rasa’ tentang sesuatu tersebut.

Genre merujuk pada jenis teks yang digunakan dalam struktur peristiwa komunikasi. Dimensi ini membantu peneliti untuk mengekplorasi bagaimana sumber-sumber semiotik digunakan dalam peristiwa komunikasi yang dilakukan. Dimensi ini, membantu peneliti untuk memahami bagaimana sumber semiotik digunakan dalam ‘jenis komunikasi’ tertentu, dalam mencapai tujuannya.

Style merujuk pada tata cara dokumen semiotik’ diciptakan, atau peristiwa semiotik terjadi, dimana hal tersebut dapat berlawanan dengan wacana yang ada. Diantaranya adalah individual style dan social style. Style itu sendiri berasal dari bahasa yunani ‘stilus’, yang berarti ‘pena’. Diasumsikan bahwa setiap orang memiliki tulisan tangan yang berbeda-beda. Indivudual style mengekspresikan perasaan, sikap, personaliti seseorang.

Modality atau modalitas merujuk pada sumber semiotik untuk mengekspresikan seberapa benar atau seberapa nyata sebuah representasi dilakukan melalui fakta dan imajinasi yang ditampilkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modalitas dapat diartikan sebagai “makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, dan sebagainya yang dinyatakan dalam kalimat”. Modalitas merupakan pendekatan semiotik sosial untuk mempertanyakan kebenaran. Modalitas merepresentasikan atau memperbandingkan antara fakta dengan fiksi, realita dengan fantasi, nyata dengan buatan, otentik dengan palsu.

Pesimisme

Pesimisme merupakan sebuah pandangan filosofis dari seorang Arthur Schopenhauer. Schopenhauer hidup antara tahun 1788-1860. Pemikrannya banyak dipengaruhi oleh Immanuel Kant, dan G.W.F. Hegel. Namun banyak yang memandang pula bahwa pemikirannya mirip seperti ajaran Budhha dan Hindu. Pemikirannya tertuang dalam beberapa buku, salah satunya berjudul The World as Will and Idea, yang dianggap sebagai karya utamanya (Rusell, 2007: 982).

Salah satu pemikirannya tentang manusia adalah, bahwa bahagia itu tidak mungkin. Karena bahagia itu adalah ilusi, dan orang-orang yang mengejar kebahagiaan akan berakhir frustrasi. Schopenhauer berbicara pula tentang kehendak yang membuat orang menderita. Sehingga selama hasrat terus tumbuh, maka penderitaan takkan terhindarkan. Mempunyai keinginan adalah menyakitkan. Walaupun kehendak berasal dari ‘kebutuhan’, namun semua pengalaman berkebutuhan adalah menyakitkan.

Schopenhauer menadang bahwa memuaskan segala kehendak adalah tidak mungkin. Bahkan ia mengatakan “all lif is suffering”. Namun yang menarik adalah bahwa, bukan memuasakn hasrat yang tidak mungkin, namun memuasakan itu akan membuat kita mencapati “empty longing”, yang mana itulah penderitaan.

Selain itu Schopnehauer memandang bahwa kehendak itu tak punya tujuan. Demikianpun dengan keinginan yang juga tak punya tujuan (aimless). Ia berpendapat: “In fact, the absence of all aim, of all limits, belongs to the essential nature of the will-in-itself, which is an endless striving” (Samuel, 2008: 6). Namun ia pun berpendapat bahwa kita dapat memiliki keinginan, dimana itu adalah kehendak untuk berkehendak.

Pandangan-pandang itu dianggap sebagi bagian dari pesimisme menurut Schopenhauer. Dimana akan digunakan sebagai titik tolak dalam pemahaman sumber-sumber semiotic dalam kartun tentang MEA pada surat kabar Pikiran Rakyat edisi 5 Maret 2015.

 

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan strategi analisis semiotika sosial Theo Van Leeuwen. Metode penelitian semiotik sosial yang dikemukakan oleh Theo Van Leeuwen, yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan berlandaskan pada paradigma pemikiran post-strukturalis (Daniel Chandler, 2007: 217). Penelitian ini akan menganalisis sumber-sumber semiotika yang merepresentasikan tentang MEA 2015, pada sebuah kartun pada surat kabar Pikiran Rakyat pada edisi 5 Maret 2015 (Gambar 3.1).

 

 1

Gambar 3. 1

Unit Analisis: “Menjelang MEA 2015: Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”

 

Mendasarkan pada pendapat Umberto Eco (Denzin & Lincoln, 2009: 618), bahwa dalam semiotik, sebuah tanda dapat diuji validitas atau kebenarannya hanya dengan tanda lain. Dimana dalam pengujiannya tersebut, tidak ada batasan definitif atau akhir. Oleh karena itu, maka peneliti akan berusaha memahami sumber semiotik dengan berdasarkan sumber semiotik lainnya dengan dukungan berbagai refernsi (multiple reference) yang dianggap kredibel.

Hasil

Penelitian ini menganalisis enam sumber semiotik, yaitu: “Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”, “Pemerintah Indonesia Segera Mengambil TIndakan”, “Menjaga Lapangan Pekerjaan Di Negeri Sendiri”, “Menciptakan Lapangan Pekerjaan”, Raut Wajah Menderita, dan Kelas Pekerja Yang Berhasrat.

“Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”

Pada sumber semiotik ini, ditampilkan sebuah ‘judul’: “Menjelang MEA 2015: Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia” (Gambar 4.1).

2

Gambar 4. 1

“Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”

 

‘Judul’ ditampilkan dalam dua  bentuk huruf dan ukuran, dimana ukuran huruf “Menjelang MEA 2015” ditulis lebih kecil dibandingkan “Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”. Perbedaan jenis dan ukuran memiliki potensi makna perbedaan prioritas informasi yang hendak disampaikan. Tulisan “pekerja 3 Negara Serbu Indonesia” lebih ditonjolkan ketimbang tulisan “Menjelang MEA 2015”.

Penonjolan informasi tentang pekerja dari tiga negara menyerbu Indonesia, diteguhkan oleh tulisan berupa “data” tentang negara-negara yang pekerjanya menyerbu Indonesia, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Peneguhan tersebut ditampilkan dalam tingkat modalitas yang cenderung tinggi melalui presentasi angka-angka. Dimana penunjukan angka dalam sebuah penyampaian argumentasi cenderung ‘terpercaya’, mengandung nilai objektivitas, dan bersifat universal.

Dalam sumber semiotika “Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”, melibatkan wacana tentang kondisi kedatangan (“Serbu”) para pekerja dari negara Malaysia, Thailand, dan Filipina yang dianggap “banyak”. Wacana tersebut ditempatkan dalam konteks perjalanan waktu dari tahun 2012 hingga tahun 2014, dan menuju 2015 atau ketika dimulainya arus bebas tenaga kerja terampil. Wacana tersebut mulai menarik ketika dilibatkan dalam perbincangan tentang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, yang diperbandingkan dengan kualitas SDM dari negara lain. Dimana kualitas SDM Indonesia dianggap lebih rendah bila dibandingkan dengan kualitas SDM “negara lain”.

“Pemerintah Indonesia Segera Mengambil Tindakan”

Pada sumber semiotik ini ditampilkan sebuah tulisan “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan” (Gambar 4.2). Tulisan tersebut dipresentasikan sebagai sebuah callout dari tokoh (Mang Ohle) kartun tersebut.

3

Gambar 4. 2

“Pemerintah Indonesia Segera Mengambil Tindakan”

 

Penempatan tulisan “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan” sebagai sebuah callout dari seorang tokoh memiliki potensi bahwa wacana tersebut merupakan idea dari ‘seseorang’ yang terlibat dalam kondisi “Menjelang MEA 2015”.

Dalam sumber semiotik “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan”, melibatkan wacana tentang harapan rakyat agar Pemerintah Indonesia dapat mengambil tindakan terkait potensi tersisihkannya para pekerja dalam negeri. Wacana tersebut merepresentasikan ketidak-kuasaan pekerja Indonesia dalam menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan pekerja Indonesia. Wacana tersebut merepresentasikan kelemahan pekerja Indonesia yang lemah, dan berharap “dikuasai” Pemerintah Indonesia melalui “mengambil tindakan”.

 

“Menjaga Lapangan Pekerjaan Di Negeri Sendiri”

Pada sumber semiotik ini ditampilkan tulisan “ Menjaga lapangan pekerjaan di negeri sendiri” (Gambar 4.3).

4

Gambar 4. 3

“Menjaga Lapangan Pekerjaan”

 

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan”, sebagai sebuah callout tokoh kartun tersebut, dimana tokoh kartun tersebut berharap Pemerintah Indonesia menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan untuk pekerja Indonesia di Indonesia.

Dalam sumber semiotika “Menjaga Lapangan Pekerjaan Di Negeri Sendiri”, melibatkan wacana tentang ‘kepemilikan’ negara oleh warga negaranya, khususnya ‘kepemilikan’ lapangan pekerjaan suatu negara oleh para pekerja di negara tersebut. Ide tentang kepemilikan ‘materi’ (pekerjaan dalam sebuah negara), tetap dipandang penting walaupun berada dalam upaya pembebasan dari kepemilikan ‘materi’ itu sendiri. Sehingga potensi makna yang terpresentasikan adalah upaya ‘negosiasi’ terhadap kondisi yang akan dihadapi, melalui upaya merajuk pada “yang punya potensi kuasa”.

 

“Menciptakan Lapangan Pekerjaan”

Pada sumber semiotik ini ditampilkan sebuah tulisan “Menciptakan lapangan pekerjaan” (Gambar 4.4).

5

Gambar 4. 4

“Menciptakan lapangan Pekerjaan”

 

Tulisan tersebut dipresentasikan sebagai sebuah callout dari tokoh (Mang Ohle) kartun tersebut, dan kelanjutan dari tulisan “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan”, dan “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan”.

Dalam sumber semiotik “Menciptakan Lapangan Pekerjaan”, melibatkan wacana penciptaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah. Dalam konteks kartun tersebut, penciptaan lapangan pekerjaan memiliki potensi makna bahwa, pekerja yang tidak memiliki kuasa atas dirinya untuk menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri, berharap pada “yang punya kuasa” untuk memenuhi kebutuhannya. Dimana lapangan pekerjaan tersebut merupakan upaya memenuhi ‘kebutuhan’ (yang melahirkan hasrat) untuk hidup.

 

Kelas Pekerja Yang Berkehendak

Pada sumber semiotik ini (Gambar 4.6) ditampilkan beberapa kerumunan orang, yang berpotensi dimaknai sebagai para pekerja dari berbagai ‘kelompok’. Dalam konteks kartun tersebut, kelompok-kelompok tersebut memiliki potensi makna para pekerja dari berbagai negara.

 7

Gambar 4.6

Kelas Pekerja Yang Berkehendak

 

Dalam sumber semiotik “Kelas Pekerja Yang Berkehendak” tersebut merepresentasikan kelompok kelas pekerja yang memiliki kebutuhan, hasrat, dan kehendak. Mereka menjadi pekerja dalam berbagai profesi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana kebutuhan tersebut menimbulkan keinginan, dan kehendak untuk memiliki “kehendak”. Hal itu dipresentasikan melalui gesture mengangkat tangan. Dimana tindakan mengangkat tangan dalam konteks kartun tersebut, memiliki potensi makna “memiliki kehendak” (setidaknya untuk bertindak) untuk memiliki semangat bekerja.

 

Raut Wajah Menderita

Sumber semiotika yang ditampilkan Gambar 4.5, menampilkan gambar dua tokoh yaitu Mang Ohle dan Bi Ohle. Keduanya tokoh tersebut ditampilkan dalam mimik muka murung, dengan gambar ujung bibir menekuk kebawah, atau berbentuk “U” terbalik. Keduanya seakan tengah berpandangan penuh kehampaan (yang sedih), di tengah kondisi yang menyengsarakan, menderita, dan pesimis. Yaitu sebuah kondisi “Menjelang MEA 2015”.

6

Gambar 4. 5

Raut Wajah Menderita

 

Tokoh Mang Ohle dan Bi Ohle yang ditampilkan dalam kartun tersebut, jauh dari kesan lucu yang lazim ditampilkan toko kartun di surat kabar, seperti tokoh Doyok di Pos Kota, Panji Koming di surat kabar Kompas,  atau I Brewok di surat kabar Bali Post. Mang Ohle, sebagai maskot dari surat kabar Pikiran Rakyat, lebih sering tampil sebagai “bapak-bapak” yang sabar, bijak, namun tetap kritis. Mang Ohle sejak semula memang lebih sering tampil pesimis dan pasrah (Ajidarma, 2012 : 130). Mang Ohle nampak sebagai individu yang berkeinginan, namun menderita karena tak terpenuhi.

 

Diskusi

Menurut Karl Mark & Frederick Engels (2013: 11), yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah bahwa, manusia memiliki kesadaran, agama, dan banyak hal lainnya yang manusia sukai. Manusia menciptakan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Mulanya manusia memproduksi alat-alat untuk hidup (subsistance), sebagai hasil dari interaksinya dengan alam. Namun kemudian, ketika proses produksi pemenuhan kebutuhan tersebut meningkat, bersama dengan meningkatnya populasi, proses produksi tidak hanya berurusan dengan proses produksi. Namun juga berurusan dengan hubungan antar individu, kelompok, dan bangsa.

Ketika hubungan antar bangsa terjalin, sebagai konsekuensi pemenuhan kebutuhan manusia, dimana suatu bangsa tak mampu memenuhi suatu kebutuhannya sendiri, terjadi pembagian “peran kerja-produksi” suatu bangsa. Pemisahan bangsa berdasarkan “peran kerja-produksi” tersebut menempatkan suatu bangsa dalam kategori tertentu. Ada bangsa yang nampak seperti kota, yang penuh dengan kecanggihan, teknologi, dan industri. Adapula bangsa yang nampak seperti desa, yang tenang, tradisional, dan bertani. Pembagian “peran kerja-produksi” tersebut tidak hanya memacu setiap bangsa untuk memperebutkan penguasaan dan kepemilikan modal mereka, namun sekaligus mengikat bangsa-bangsa dalam hubungan “berkebutuhan”. Individu-individu dari setiap bangsa ‘menyerbu’ bangsa lain, seperti yang direpresentasikan dalam sumber semiotik “Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”.Kondisi tersebut meniadakan kebebasan, dan menenggelamkannya dalam hubungan “membutuhkan-dibutuhkan”.

Sekitar tahun 1776, Adam Smith mengemukakan pemikirannya tentang hakikat dan sebab kekayaan suatu bangsa, bahwa kekayaan suatu bangsa akan tumbuh melalui pembagian kerja dan pasar yang bebas (Dahler, 2011: 197). Pemikiran tersebut banyak diamini oleh banyak orang pada zamannya, bahkan hingga kini (sebagian pemikirannya). Kondisi kebebasan dalam pemenuhan kebutuhan, dan keinginan melalui pertukaran, perdagangan, dan ekonomi.

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 merupakan sebuah kehendak, yang dipandang sebagai sebuah keniscayaan dalam pembangunan peradaban (Darwis, 2014 :v). Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan keniscayaan, yang diciptakan dari kehendak untuk meng-ada-kan keniscayaan itu sendiri. Dimana kehendak itu sendiri tercipta sebagai konsekuensi keberadaan individu-individu tak-bebas dalam suatu bangsa ‘yang berkehendak’, yang terepresentasikan dalam sumber semiotik “Kelas Pekerja Yang Berkehendak”.

Demikianpun ada semangat “kebebasan” (terbatas) dalam MEA, namun nampak jauh dari kebebasan itu sendiri. Kebebasan MEA sepintas nampak diilhami semangat anarkisme, yaitu sebuah kondisi tidak adanya pemimpin, dan tidak adanya pemerintahan (Seehan, 2007: 23). Pandangan itu nampaknya tak sejalan dengan pandangan Mang Ohle (sumber semiotika “Pemerintah Indonesia Segera Mengambil Tindakan”), yang masih berharap adanya pemimpin dan pemerintahan. Melalui kondisi MEA yang membiarkan arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus modal yang lebih bebas, dan arus bebas tenaga kerja terampil. Namun, kebebasan itu adalah sebuah upaya pemenuhan kehendak.

Dalam pandangan pesimimisme, menurut Schopenhauer (dalam Russell, 2007: 984):

“kehendak kosmik itu jahat; kehendak, bersama-sama, adalah jahat, atau dalam hal apa pun merupakan sumber segala penderitaan kita yang tanpa akhir”.

Memiliki kehendak merupakan sebuah penderitaan yang dialami manusia. Dimana kehendak bisa timbul dari sebuah keinginan, atau kebutuhan. Sehingga semua pengalaman “membutuhkan” akan menyakitkan. Terlebih, ketika ada kehendak untuk memuasakan segala kehendak, adalah tidak mungkin. Karena upaya memuaskan segala kehendak akan membuat diri kita mencapai empty longing, atau penderitaan, atau boredom. Kondisi itu terpresentasikan pada sumber semiotik “Raut Wajah Menderita”.  Karena pada dasarnya kehendak itu tidak punya tujuan (aimless).

 

Simpulan

Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat dipandang sebagai sebuah keniscayaan pembangunan peradaban, dalam upayanya memenuhi kebutuhan dan kehendak manusia. Namun demikian, upaya pemenuhan kebutuhan dan kehendak hanyalah berujung pada penderitaan yang menyakitkan. Karena pada dasarnya upaya pemenuhan kebutuhan dan kehendak manusia tidak punya tujuan. Dan itu semua terpresentasikan dalam sebuah kartun, yang melibatkan peristiwa pemaknaan dan kesepakatan atas makna sumber semiotik yang terpresentasikan.

 

Daftar Pustaka

Chandler, Daniel. (2007). Semiotics: The basic. New York: Routledge

 

Darwis, Yuliandre. (2014). Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Prospek Pengusaha Muda Indonesia Berjaya di Pasar ASEAN. Jakarta: Prenadamedia Group

 

Dähler, Franz. (2011). Teori Evolusi: Asal dan tujuan manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

 

Denzin, N.K., & Lincoln, Y.S. (2009). Hanbook of Qualitative Reseach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Leeuwen, Theo Van. (2004). Introducing Social Semiotic. New York: Routledge

 

Marx, Karl., & Engels, Frederick. (2013). Ideologi Jerman: Jilid I Feurbach. Terj. oleh Nasikhul Mutamanna. Yogyakarta: Pustaka Nusantara

 

Russel, Bertrand. (2007). Sejarah Filsafat Barat: dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Samuel, Adrian. (2008). An Introduction to Schopenhauer’s Metaphysics. Richmond Journal of Philosophy

 

Schopenhauer, A. (1969). The World as Will & Representation. Trans. E.F.J. Payne.

New York: Dover

 

Seehan, Seán. M. (2007). Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri

Scolae

photography of library room
Photo by Tamás Mészáros on Pexels.com

‘Sekolah’ berasal dari kata skhole, scola, scolae, atau schola (Latin) yang berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’(Mifflin dalam Topatimasang, 2007). Kegiatan ‘sekolah’ pada jaman dahulu dilakukan di Yunani dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui, dan mereka menyebutnya skhole, schola, scolae, atau schola[1].

Ide pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak secara sistematis mulanya dilakukan oleh seorang Uskup Agung Morivia, Johanes Amos Comenius[2], yang selajutnya dikembangkan lagi oleh Johann Heinrich Pestalozzi. Pestalozzi mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian dikenal ‘mata pelajaran’) yang harus mereka lalui secara bertahap. Kegiatan tersebut menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah-sekolah modern dengan penjejangan kelas dan tingkatan yang kita kenal saat ini. Demikianpun terdapat beberapa pendapat lain yang dianggap sebagai cikal-bakal sistem sekolah modern saat ini. sebelum Socrates dan muridnya Plato mendirikan academia atau luceum di Athena, bangsa Cina dikabarkan telah lebih dahulu memiliki sebuah lembaga serupa dengan ‘sekolah’. Lainnya kaum Brahmin India sudah membangun ‘sekolah-sekolah Veda’.

Jenjang sekolah paling tinggi yang ada di era saat ini adalah jenjang Perguruan Tinggi. Beberapa Perguruan Tinggi atau Universitas ternama di dunia seperti Harvard, Yale, Cambridge, Princeton, MIT, Stanford, dan Barkley menjadi acuan kemapanan sebuah Perguruan tinggi lainnya di seluruh dunia. Nama besar yang dimiliki beberapa Perguruan Tinggi diatas bukan satu-satunya jaminan para mahasiswanya untuk berprestasi. Adalah sebuah Universitas Rockefeller di New York. Universitas ini tidak ‘seterkenal’ universitas yang disebutkan diatas, namun dari Universitas inilah muncul para pemegang hadian Nobel, seperti David Baltimore, penemu enzyme-reverse-transcriptae; Gerald Edelmann, pengurai susunan rumit gamma-glogidin; Theodosius Dobzhansky, seorang pengilmah ilmu rekayasa genetika modern; dan Rene Dubos, yang menganjurkan penggunaan zat antibiotik, serta beberapa nama terkenal lainnya.

Selain perguruan tinggi ternama yang disebut diatas, terdapat beberapa ‘sekolah’ tinggi lain. Terdapat Frankfurt School[3], sebauah paguyuban ilmiah para pakar ilmu-ilmu sosial aliran ‘garda depan’ dari mahzab teori kritis rintisan Max Horkheimer dan Theodor Adorno. ‘Sekolah’ serupa lainnya antara lain sekolah Wina, paguyuban para pakar psikoanalisa rintisan Alfred Adler, juga sekolah Chicago (chicago school), kelompok pembaharu teori ilmu politik di Amerika Serikat, atau sekolah Durkheim, tempat pengembangan ajaran-ajaran dari Emile Durkheim. Demikianpun di Indonesia, terdapat sebuah Sekolah Tinggi Wiraswasta yang didirikan di kawasan Pondok Gede sekitar tahun 1979. Sekolah tinggi tersebut sedari awal telah menegaskan pada para mahasiswanya bahwa mereka tidak akan memperoleh ijazah maupun gelar akademis layaknya sekolah tinggi-sekolah tinggi pada umumnya. Sekolah ini memiliki tujuan utama untuk mandiri dan berkarya, namun tiga tahun kemudian (tahun 1981) sekolah ini ‘bubar’. Walaupun didasari atas tujuan ideal, namun pada kenyataannya Sekolah Tinggi Wiraswasta harus kalah bersaing dengan sekolah tinggi-sekolah tinggi lain yang hanya menjual gelar dan ijazah.

Nah, bagimana dengan pilihan sekolahmu? Universitas Telkom mungkin sangat layak untuk dipertimbangkan untuk sekolahmu… 

[1] Keempatnya memiliki arti sama: ‘waktu luang yang digunakan secara khusu untuk belajar (leisure devote to learning) – (dalam The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, vol 11, Houghton Mifflin, Boston, Mass, 199)

[2] atau dikenal juga sebaga Jan Amos Komensky

[3] Sebutan dari sebuah lambaga yang secara resminya adalah Institute for Social Reseach yang didirikan tahun 1923 di Frakfurt, Jerman Barat. Beberapa anggota yang dikenal antaralain Jurgen Habermas, Herbert Marcuse, Walter Benjamin.

Freud

 

Sigmund Freud lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia (yang kemudian menjadi bagian dari Kerjaan Austro-Hungaria). Pada tahun 1960, keluarganya pindah ke Wina. Ketika Freud lahir, ayahnya yang bernama Jakob telah berumur 40 tahun, sementara ibunya masih berusia 20 tahun. Ibunya yang bernama Amelie merupakah istri kedua dari Jakob. Freud merupakan anak pertama dari delapan anak Amelie. Freud menjadi anak kesayangan ibunya karena kecerdasannya. Ia bahkan memiliki kamar sendiri ditengah saudara-saudaranya yang berjubel. Begitupun ketika Freud merasa terganggu oleh piano adik perempuannya, dengan segera ibunya menyingkirkan piano tersebut. Keluarga Freud merupkan keturunan yahudi, namun mereka tidak menganut agama yahudi. Mayoritas penduduk Wina kala itu menganut katolik roma. Ditengah pergerakan anti-semit, Jakob tidak dapat memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya. Jakob yang hanya pedagang wol tidak mampu memberikan dukungan finansial yang memadai untuk membiayai pendidikan Freud muda. Ditengah kesulitan finansial keluarganya, Freud memuja dua tokoh yaitu Oliver Cromwell, yang anti kemapanan, dan Hannibal, pemimpin Carthago.

Ambisi awal Freud adalah mempelajari hukum, namun ketika ia memasuki Universitas Wina pada tahun 1873, ia justru mempelajari ilmu kedokteran. Dalam mempelajari ilmu kedokteran, Freud banyak melakukan riset pada hewan, terutama pada belut. Freud banyak meneliti tentang tentang organ kelamin belut yang kala itu belum diketahui karena kerumitannya. Dalam tahap ini, Freud sangat dipengaruhi oleh pemikiran dosennya yang bernama Ernst Brucke yang sangat fanatik terhadap pendekatan mekanistik. Hal tersebut dianggap sangat mempengaruhi pemikiran Freud untuk seorang determinis yang fanatik. Theodor Meynert, salah seoran tutor Freud, memberikan saran pada Freud untuk mengambil spesialisasi neurologi dan neuropatologi. Freud menerima saran tersebut hingga berhasil mendapatkan gelar dokter dalam ilmu kedokteran pada tahun 1881. Keinginannya untuk bertahan dalam bidang penelitian harus ia tunda karena alasan finansial, maka Freud bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Wina selama 3 tahun.

Tahun 1885, Freud diangkat sebagai pengajar dalam bidang neuropatologi di Universtas Wina. Pada tahun itu pula, Freud tinggal beberapa bulan di Paris untuk belajar kepada seorang neurolog terkenal bernama Jean Martin Charcot. Kala itu, Charcot sedang melakukan eksperimen terhadap penggunaan hipnosis untuk penderita histeria (kelainan syaraf yang memiliki berbagai simptom). Pengalaman ini sangat berharga karena memunculkan ideanya bahwa “pikiran memberikan pengaruh pada simptom fisik”. Hingga pada tahun 1886, Freud memulai praktek pribadinya sebagai neuropatolog dan memulai karyanyadala kasus-kasus histeria. Pada tahun 1891, Freud meneribitkan buku pertamanya yang diberi judul On Aphasia[1]. Pada mulanya karya-karya Freud terpusat pada pandangan terhadap penyebab dan perawatan neurosis, namun perlahan-lahan ia meluaskan teorinya dan semakin tertarik pada berkembangnya jiwa (psyche)[2]. Pemikiran Freud dianggap menjembatani kesenjangan yang terdapat diantara ilmu eksakta nerologi dengan psikologi.

Histeria dan Hipnosis

Terdapat beberapa pemikiran mengenai histeria pada masa itu, yaitu

  • Simtomnya sangat bervariasi, mencakup hilangnya ingatan, halusinasi, tak bisa bicara, tidur sambil berjalan, lumpuh, mengantuk, dan hilangna pengnderaan.
  • Diduga hanya perempuan yang menderita histeria[3].
  • Penyakit ini tak dapat dijelaskan oleh para dokter, karena tidak sesuai dengan anatomi sistem syarat. Misalnya sebuah lengan yang lumpuh hingga ke bahu, meskipun syarafnya tak berhenti hingga disitu saja.

 

Dari pemikiran tersebut, membuat Freud sampai pada dua ide baru yang sangat penting yaitu:

  • Agar bisa memahami histeria, penting melihat kehidupan psikis pasien, bukan hanya syarafnya.
  • Proses mental tak sadar bisa mempengaruhi perilaku. Meskipun perilaku seorang pasien bisa dipengaruhi oleh hipnosis, namun seringkali ia tiak ingat lagi tentang apa yang terjadi ketika dihipnosis.

Pada tahun 1886, Freud memberikan ceramah mengenai histeria pada laki-laki di depan Vienna Society of Physician. Namun pandangan baru tentang histeria pada laki-laki[4] dan dukungannya terhadap ide Charcot mendapat tentangan bahkan cemoohan. Pada tahun 1890-an, Freud bekerja sama dengan koleganya yang bernama Josef Breur dalam menangani kasus ‘Anna O’. Anna[5] adalah seorang perempuan muda berusia 21 tahun yang menderita berbagai macam simptom yang membingungkan. Ia menderita masalah batuk-batuk, masalah bicara, kelumpuhan tangan dan leher, juga halusinasi. Breuer menggunakan metoda yang kemudian dikenal sebagai metoda katersis, yaitu dengan menggunakan hipnosis untuk mendapatkan informasi yang medalam mengenai masalah Anna. Pada tahun 1895, Freud dan Breuer mempublikasikan buku Studies in Hysteria. Buku ini menampilkan gagasan baru yang dianggap radikal pada zamannya:

  • Proses mental yang negatif bisa secara langsung mempengaruhi fisi dan mengarah pada suatu keadaan sakit. Kenangan traumatik apa pun yang menyakitkan, menakutkan, atau memalukan pun dalam berbagai cara bisa memberikan akibat serupa.
  • Ingatan negatif tetap aktif di dalam pikiran tak sadar dan dapat mengubah perilaku kita. Kita tak bisa memperlakukan ingatan ini dengan ketat kalau kita tak mengingatnya, yakni dengan mengembalikan ke dalam pikiran sadar.
  • Pembuangan ingatan tak menyenangan ke dalam ketidaksadaran menuntut suatu proses aktif yang berjalan di suatu tangkat tak sadar. Freud menyebut proses ini represi (penekanan). Freud menyatakan bahwa proses penekanan ini sebagai mekanisme pertahanan diri yang pertama, dan gagasan inilah yang merupakan salah satu fondasi dari pemikiran psikoanalisis.
  • Energi emosional yang ditekan, atau afeksi, diubah menjadi simtom histeris. Hal ini bisa dihapus secara permanen dengan abreaksi, ketika trauma aslinya telah dialami kembali dan berlangsung secara rinci.
  • Suatu simptom seringkali mengalami overdeterminasi sehingga hal ini menjadi benar-benar disebabkan oleh beberapa kejadian terpisah. Hal ini membuat terapinya makin sulit.
  • Simptom seringkali terbukti simbolis, misalnya rasa sakit yang ada di jantung ketika seorang sedang mengalami patah hati.

Dalam perjalanannya, Breuer dan Freud hingga pada titik ketidaksepahaman[6]. Hingga akhirnnya keduanya berpisah dan berjalan masing-masing. Freud meninggalkan metoda hipnosisnya dan menggembangkan pressure technique (teknik menekan). Melalui metoda ini, pasien dibuat santai di sebuah ranjang dan analis menekan dahi pasien sambil menyatakan bahwa sekarang kenangan bisa diingat kembali. Melalui metoda ini, Freud menemukan pertentangan dimana satu bagian terdapat keinginan melepaskan emosi yang terhambat, sedangkan bagian lain menganggap bahwa pembebasan itu tiak bisa diteima dan menolak untuk memperimbangkannya. Pertentangan ini mengarah pada suatu proses yang disebut Freud sebagai resistensi. Pemikiran ini membawa Freud pada pemikiran ketidaksadaran (unconscious).

Awal Psikoanalisis

Pada mulanya, Freud berpendapat bahwa simptom neurotik selalu disebabkan oleh peristiwa yang traumatik, namun studi lain menemukan bahwa hal tersebut juga dapat disebabkan olah nafsu seks yang ditekan. Ia memandang bahwa jiwa manusia secara konstan berusaha untuk mencapai keadaan yang damai. Berbagai studi kemudian menyimpulkan bahwa kepuasan seksual merupakan kunci bagi kebahagiaan dan keseimbangan emosional. Gagasan ini menjadi pusat dari teori psikoanalisis.

Dalam mengembangkan teori ini, Freud mulanya menggunakan pressure technique (teknik menekan), namun Freud melihat beberapa kelemahan. Freud kemudian melakukan modifikasi hingga menemukan metoda baru yang dikenal teknik asosiasi bebas. Disini pasien diupayakan santai di ranjang hingga merasa benar-benar bebas untuk menyuarakan pemikiran apapun yang melintas dipikirannya. Dengan demikian, peran analis berubah (yang tadinya menekan) menjadi hanya berfungsi mengarahkan pasien.

Dari 1894 hingga 1900, Freud mengembangkan banyak teori yang sekarang dikenal sebagai sebuah aliran psikonalasis. Freud dengan seksama menguji mekanisme ketidaksadaran (unconscious), seperti represi dan resistensi yang mendasari simpton neurotik. Frued juga tertarik pada transferensi, yaitu kata yang merujuk untuk melukiskan perasaan emosional yang dikembangkan pasien terhadap analisinya. Hal ini bisa mencakup emosi positif atau negatif[7]. Hingga pada tahun 1896 Freud mencanangkan istilah psikoanalisis, dimana teori-teori yang dikembangkannya meliputi analisis mimpi, terpelesetnya ucapan, dan seksualitas masa kanak-kanak.

Tafsir Mimpi

Freud sangat tertarik terhadap mimpi dan menegaskan pentingnya hal ini dalam psikoanalisis. Sesungguhnya analisis mimpi dan asosiasi bebas menjadi dua metode terapeutik utama di dalam psikoanalisis. Mimpi menjadi pusat dari psikoanalisis karena beberapa alasan antaralain:

  • Mimpi terjadi di tengah tidur, ketika pikiran sadar melepaskan cengkramannya dan membuatnya ‘tanpa kekangan’. Freud memandang mimpi sebagai evidensi dari kerja pikiran tak sadar dan membuktikan keberadaannya. Ia merujuk mimpi sebagai ‘jalan besar’ untuk mengerti lebih dalam mengenai ketidaksadaran.
  • Freud menyimpulkan bahwa metoda menekan dan hipnosis terlalu ‘otoriter’. Ia mendapatkan kenyataan bahwa orang tak dapat dipaksa untuk mengerti tentang apa yang sedang berlangsung di dalam alam ketidaksadaran mereka. Hanya dengan metoda analisis mimpi dan asosiasi bebas barulah simbolisme yang terlibat di dalam gejala neurotik itu benar-benar bisa dimengerti.
  • Mimpi seringkali menyangkut masalah-masalah seksual yang berasal dari masa kanak-kanak dini. Masalah ini hanya bsa diselesaikan melalui analisis mimpi dan asosiasi bebas
  • Freud memandang semua mimpi sebagai ekspresi dari pemenuhan harapan. Dengan mengeksplorasi nafsu tersembunyi yang disimbolisasikan dalam mimpi barulah dimungkinkan untuk memulai mengurai masalahnya.

Freud percaya bahwa banyak diantara isi-isi mimpi yang tersamar di balik simbol-simbol. Simbol-simbol Freudian di dalam mimpi telah menjadi salah satu aspek yang paling dikenal dari pemikiran psikoanalisis. Freud percaya bahwa simbol yang seringkali memiliki lebih dari satu arti dan penafsiran yang tepat hanya mungkin dihasilkan dari menganalisis mimpinya untuk memahami simbol-simbol, ia menggunakan kombinasi dari dua metode yaitu mengekplorasi asosiasi dari si pemimpi sendiri, dan menggunakan pengetahuan analis mengetahui simbol-simbol mimpi untuk mengisi kesenjangannya. Ide Freud sendiri tentang arti simbol-simbol tesebut sungguh seksual misalnya ia menyarankan penafsiran sebagai berikut:

  • Tongkat, pisau, payung dan objek berbatan lainnya mewakili penis.
  • Kotak, lemari, oven, laci, dan barang-barang penyimpanan lainnya mewakili rahim
  • Gerakan naik-turun tangga, papan jungkat-jungkit, dan sebagainya mewakili senggama
  • Bermain dengan anak kecil mewakili masturbasi.

Namun, Freud sendiri memperingatkan bahwa tidak selalu gampang atau lagsung menemukan penafsiran yang tepat terhadap simbol mimpi.

Mengekplorasi Pikiran Tak Sadar

Pada perkembangannya Freud semakin tertarik terhadap ekplorasi psikoanalitik yang semakin luas untuk mecoba menemukan cara beroperasinya pikiran manusia yang ‘normal’. Langkah ini penting karena berarti bahwa psikoanalisis tidak hanya terbatas pada psikologi ‘abnormal’. Freud semakin meyakini bahwa pikiran tak sadar memainkan peran besar dalam menentukan perilaku seseorang. Freud mengemukakan dua keadaan pikiran dalam kesadaran, yaitu pikiran sadar (conscious) dan pikiran tak sadar (unconscious).

Pikiran sadar ialah bagian dari pikiran yang menginsafi pemikiran dan tindakannya. Disinilah terjadinya semua proses pemikiran yang disadari dan merupakan sumber bagi gagasan-gagasan dan pengertian. Pikiran sadar menyangkut pemikiran logis, realitas, dan perilaku beradab. Pikiran tak sadar merupkan bagian pikiran yang direpresi dan menjadi tempat untuk meletakan apapun yang tak memenuhi persyaratan, sesuatu yang ak boleh kita cermati. Informasi di dalam pikiran tak sadar ini tidak mudah diakses. Banyak peristiwa di masa lalu yang terdapat di sini juga. Beberapa diantarnya hanya bisa diingat dalam keadaan hipnosis.

Dalam perkembangannya Freud juga mengemukakan adanya tingkat kesadaran ketiga, yaitu prasadar (pre-unconscious) yang menjadi tempat disimpannya informasi yang tak disadari tapi dengan mudah diingat ketika dibutuhkan. Bila dianalogikan jiwa sebagai sebuah rumah, pikiran sadar adalah ruang keluarga, sedangkan pikiran prasadar adalah filing cabinet yang menjadi tempat penyimpanan informasi yang siap digunakan sebagai rujukan. Sementara pikiran tak sadar adalah gudang bawah tanah, dimana perlu tangga untuk mencapainya.

Teori Seksual

Teori tentang seksualitas dan perkembangan seksual merupakan hal yang penting di dalam psikoanisis sejak tahap awalnya. Freud menulis buu yang berjudul Three Essays on Sexuality pada tahuun 1905. Dalam bukunya ia menjelaskan tentang sulitnya menentukan secara persis apa yang dimaksud oleh kata seksual. Pandangan Freud terhadap seks membuat kegemparan, dimana pada jamannya berbicara seks adalah merupakan hal yang tabu apalagi Freud mempelajarinya secara ilmiah. Berikut beberapa pandangan Freud tentang seksualitas:

  • Orang-orang homoseksual seringkali hanya tertarik secara seksual kepada orang yang sejenis kelamin dengannya. Mereka bahkan mungkin menganggap lawan jnisnya menjijikan. Freud menyebut kelompok orang ini sebagai ‘invert’. Bagi mereka, seksualitas hanyalah menyangkut proses reproduktif
  • Bagi orang lainnya, dorongan seksual tak mempedulikan alat kelamin atau penggunanya yng normal. Mereka mungkin saja terangsang oleh bagian tubuh yang tak semestinya, objek yang tk bergerak, dan sebagainya. Karena itu, Freud mengatakn bahwa kata ‘seksual’ dan ‘genital’ memunyai arti yang berbeda. Freud menyebut kelompok ini sebagai ‘pervert’.
  • Riset psikoanalisis menunjukan betapa masalah neurotik dan preversi seringkali disebabkan oleh pengalaman seksual masa kanak-kanak dini. Karena anak-anak tidak diperbolehkan memiliki kehidupan seks, akibatnya timbul kemarahan tertentu.

Berikut beberapa istilah yang digunakan dalam studinya mengenai seksualitas:

  • Inversi

Inversi merupakn kata yang digunakan Freud untuk homoseksualitas. Freud mengenali berbagai macam perilaku di dalam kategori ini:

  • Ada orang yang secara khusus hanya tertarik kepada orang yang sejenis kelamin dengannya
  • Ada pula yang tertarik terhadap kedua jenis seks
  • Ada lagi yang menjadi tertarik kepada sesama jenis ketika munul kebutuhan untuk itu, misalnya di penjara
  • Seks oral dan anal

Seks oral dan anal dianggap sebagai perversi oleh Freud. Ia mengatakan bahwa rasa jijik membuat kebanyakan orang tidak terlibat dalam kedua perversi ini. Inilah salah satu mekanismerepresif alamiah yang membuat orang berkembang kearah seksalita ‘normal’. Namun represi ini bisa menjadi begitu kerasnya seingga alat kelamin lawan jenis menjadi menjijikan secara total. Freud menemukan bahwa reaksi macam ini umumnya terdapat pada penderita histeria.

  • Fetisisme

Fetisisme terjadi ketika objek seksual yang normal digantikan oleh suatu objek yang memiliki kaitan dengan objek normal. Objek fetis biasnya tidak bersifat seksual. Misalnya, mungkin berupa bagian lain dari tubuh seperti rambut atau kaki, atau bisa juga berupa objek tak bergerak seperti pakaian dalam. Freud berpendapat bahwa fetisisme pada umumnya terjadi sebagai akibat dari pengalaman seksual di masa kanak-kanak dini, serta pikiran simbolis yang menhubungkan fetis dengan dorongan seksual.

  • Memandang dan menyentuh

Freud menganggap bahwa perangsangan visual dan rabaan di antara mitra seksual sebagai sesuatu yang ‘normal’ sepenuhnya. Hal ini hanya akan mengandung perversi kalau:

  • Terbatas hanya pada genital
  • Menyangkut hal-hal yang menjijikan, misalnya dalam voyeurisme (kebiasaan mengintip) atau pada orang yang senang sekali memperlihatkan fungsi ekskresi
  • Secara total menanggalkan tujuan seksual yang normal
  • Sadisme dan masokisme

Sadisme berarti nafsu utuk menimbulkan kesakitan pada objek seksual. Maskisme adalah nafsu untuk menerima rasa sakit dari objek seksual. Freud mengatakan bahwa akar dari kedua perversi gampang dideteksi. Ada nafsu untuk menyingkirkan resistensi dan mendominasi mitra seksualnya. Dalam sadisme, dorongan ini tak bisa dikendalikan lagi. Sedangkan masokhisme tampaknya agak bergeser dari tujuan seksual yang normal. Freud melihat masokhisme barangkali disebabkan terutama karena rasa bersalah dan takut. Ia menganggap sebagai kepanjangan dari sadisme yang ditunjukan kepada diri sendiri.

Perkembangan masa kanak-kanak

Freud mengembangkan gagasannya mengenai seksualitas kanak-kanak dalam rangka mencoba dan menjelaskan bagaimana orang berkembang menjadi mahkluk sosial. Freud berpandangan bahwa perkembangan psikoseksual[8] merupakan pusat dari segala macam perkembangan sosial dan emosional. Freud membaginya dalam beberapa tahap perkembangan seksualitas kanak-kanak, yaitu:

  • Tahap Oral

Tahap pertama perkembangan dan dimulainya sejak anak dilahirkan hingga sekitar usia satu tahun. Bayi mengemut banyak bagan tubuh, terutama jempol. Hal ini merupakan kelanjutan dari mengemut putting susu ibunya. Emutan itu bersifat ritmis dan seringkali juga disertai dengan gesekan. Freud berpendapat bahwa hal ini akan mengarah pada masturbasi. Kegiatan ini sangat mengasyikan dan nyaman serta seringkali mengantar bayi tidur nyenyak.

  • Tahap Anal

Tahap ini berlangsung antara umur satu hingga tiga tahun dan bersamaan denga fase anak belajar mengendalikan kandung kemih dan isi perutnya. Fase anal ini adalah saat dimulainya pembiasaan sosial yang sebenarnya.

  • Tahap Phallic

Tahap ini berlangsung antara umur tiga hingga lima tahun. Genital menjadi zona erogen dan anak mulai melakukan masturbasi. Zona genital anak sering dirangsang dengan mencuci, gesekan, buang air kecil dan sebagainya. Dengan segera anak belajar untuk merangsangnya sendiri, dengna gesekan tangan atau dengan merapatkan paha. Pada tahap ini, Freud juga mengemukakan gagasan yang dikenal dengan oedipus kompleks. Oedipus kompleks adalah nafsu anak untuk secara seksual memiliki orang tuanya yang berlawanan jenis dengannya, serta mengabaikan orang tua yang sejenis kelamin dengannya.

  • Tahap Latensi

Pada tahap ini, perasaan dari tahap oedipal akhirnya ditekan dan dorongan seksual mereda hingga tibanya masa pubertas. Keingintahuan tentang seks, permainan seksual, dan masturbasi-pun semakin meningkat.

  • Tahap Genital

Tahap terakhir dalam perkembangan adalah tahap genital yang berlangsung sejak pubertas hingga seterusnya. Pada tahap ini terjadi pembaharuan terhadap minat seksual dan objek yang baru pun ditemukan untuk pelampiasan dorongan seksnya.

Id, Ego, dan Super-ego

Pada tahun 1923 Freud mengajukan model dinamis pikiran yang baru. Hal ini melibatkan tiga bagian utama yaitu id, ego, dan super-ego. Semua ini bukanlah bagian dari otak. Dengan model ini Freud mencoba untuk menjelaskan pertarungan yang nyata diantara berbagai tataran kesadaran

  • Id

Id berasal dari kata latin yang berarti ‘itu’ (dia untuk benda). Id merupakan bagian ketidaksadaran yang primitif di dalam pikiran yang terlahir bersama kita. Ini merupakan wilayah yang gelap dan tak bisa diakses, tinggal bersama nafsu naluriah, dan satu-satunya realitas adalah kebutuhannya sendiri yang egois.

  • Ego

Ego berasal dari kata latin yang berarti ‘aku’, ego merupakan bagian dari pikiran yang bereaksi terhadap kenyataan eksternal dan yang dianggap oleh seseorang sebagai ‘diri’. Ego merupakan tempat berasalnya kesadaran, biarpun tak semua fungsinya dibawa keluar dengan sadar. Ego memberi tahu kepada kita tentang yang ‘nyata’. Ego merupakan ‘pemersatu’ atau ‘pembuat akal sehat’. Ego bersifat praktis dan rasional, serta terlibat dalam pengambilan keputusan. Kecemasan lahir dari ego. Hal ini dipandang sebagai suatu mekanisme untuk memperingatkan kita mengenai adanya kelemahan dalam pertahanan ego. Keseluruhan sistem mekanisme pertahanan[9] dari ketidaksadaran melindungi ego. Ego dipandang agak lemah dibandingkan dengan id, tetapi lebih teratur dan lebih logis, sehingga egolah yang biasanya mengurusi hal-hal yang menyangkut kelemahan.

  • Super-ego

Super-ego berkembang setelah oedipus kompleks terselesaikan. Super-ego memberi kita rasa yang berhubungan dengan benar dan salah, bangga dan bersalah. Super-ego sering membuat kita bertindak dengan cara-cara yang bisa diterima di dalam masyarakat bukannya mengikuti mau kita sendiri sebagai individu. Misalnya mungkin orang akan merasa bersalah karena telah melakukan hubungan seks diluar nikah. Super-ego menggabungkan ajaran dari masa lalu dan tradisi. Super-ego memantau perilaku, memutuskan apa yang bisa diterima dan mengendalikan tabu. Super-ego bersibat ‘ngebos’, dengan selalu mewajibkan kesempurnaan ego. Cara kerja super-ego merupakan kebalikan dari cara kerja id.

[1]Aphasia adalah kelaina syaraf yang membuat pasien tak mampu mengenali kata atau mengucapkannya.

[2] Setidaknya perkembangan pemikiran dapat dibagi dalam 4 tahap yaitu:

1886-1894: studi menyangkut penyebab dan perawatan neurosis, menangani pasien-pasien neurotik. Pada mulanya Freud berkonsentrasi pada penggunaan hipnosis, tapi kemudian ia mengembangkan bentuk terapi lainnya yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi psikoanalisis

1894-1900: Freud menggunakan sebagian besar waktunya untuk bekerja sendiri melakukan banyak analisis terhadap diri sendiri dan mengembangkan ide bahwa neurosis punya asal-usul yang bersifat seksual. Pada akhir periode ini, ia menghasilkan 2 buku yang sangat penting yaitu The Interpretation of Dream dan Psychopatholoby of Everyday Life

1900-1914: Freud mulai merumuskan teori baru tentang asal-usul neurosis, yang akhirnya menjadi suatu sistem yang menyeluruh menyangkut gagasan tentang cara berkembangnya jiwa sejak dilahirkan hingga mati. Psikologi yang dikembangkannya pada masa ini sering disebut psikologi id.

1914-meninggal: Perang Dunia I membuat Freud menyimak perilaku orang dengan cara baru. Ia menyadari betapa agresi, sepertinya halnya dorongan seksual, bisa menjadi faktor yang penting di dalam perilaku. Karena itu, ia pun mulai mengembangkan teori-teori mengenai kepribadian secara menyeluruh dan cara-cara yang digunakan orang dalam berhubungan dengan orang lain. Ini dikenal sebagai psikologi ego.

[3] Histeria itu sendiri berasal dari istilah Yunani hustera, yag berarti rahim.

[4] Hal tersebut dianggap melanggar kesetaraan gender menurut ukuran zamannya.

[5] Nama sebenarnya adalah Bertha Pappenheim, yang kemudian menikah dengan Breuer.

[6] Sekitar tahun 1894

[7] Hal ini dipengaruhi oleh pengalamannya ketika bekerjasama dengan Breuer yang akhirnya menikah dengan pasiennya Anna.

[8] Berkaitan dengan aspek mental dari seks, seperti khayalan seksual.

[9] Mekanisme pertahanan merupakan cara yang tak disadari untuk melindungi ego dari pengaruh-pengaruh yang tak

 

 

 

Humor Politik Sebagai Sarana Demokrastisasi Indonesia

(Tulisan ini teleh dimuat pada prosiding Konferensi Nasional Komunikasi Lombok-Indonesia pada tanggal 18-20 November 2014, yang diselenggarakan oleh ISKI)

 

Tahun 1998, telah menjadi simbol kemerdekaan ‘kedua’ bagi rakyat yang hidup dijamannya, selain “1945”. Pada tahun 1998, telah terjadi sebuah perubahan besar dalam tatanan kekuasaan politik Indonesia. Rezim Soeharto yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade dianggap tiran dan menyimpang, akhirnya digantikan oleh orang-orang dalam nuansa yang dianggap lebih ‘baik’.

“Reformasi” digunakan sebagai istilah era baru tersebut. Era yang dianggap mampu membawa kebaikan bagi Indonesia. Di era Reformasi, demokrasi makin dijunjung tinggi. Semua warga negara memiliki kebebasan untuk berpendapat, berbicara, dan mengutarakan pikirannya melalui berbagai media. Kebebasan sebagai sebuah sarana terpenting bagi demokrasi, sempat menjadi bumerang bagi kedamaian Indonesia itu sendiri. Mulai dari kebebasan menyebarkan konten pornografi di media cetak, hingga caci maki yang sempat membiasa dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia, malah meresahkan rakyatnya.

Gegar demokrasi diawal Reformasi yang melanda sebagian rakyat Indonesia, menjadikan ruang publik yang gaduh bahkan terkesan liar. Tabloid-tabloid yang menampilkan perempuan-perempuan berpakaian minim marak dan laku dipasaran. Laman internet yang bermuatan fitnah, hinaan, dan kebencian banyak beredar di jagat maya. Hingga jurnalisme yang kapitalistik dan politis berat sebelah, membuat demokrasi nampak seperti sebuah kekonyolan sistematik. Demokrasi seperti kehilangan kredibilitas dan keunggulannya, yang tertinggal hanyalah sebuah ‘sistem’ yang memfasilitasi kekacauan dan kegalauan masal.

Euforia berfikir, berpendapat, dan berbicara bebas di era reformasi nampak membuat sebagian rakyat ‘mabuk’ dan melupakan jatidiri mereka. Jatidiri orang Indonesia yang berbudaya timur, dan berkomunikasi dalam komunikasi konteks tinggi. Litllejohn & Foss (2009:7) berpendapat bahwa budaya orang-orang timur tidak memandang bahasa sebagai bentuk komunikasi yang utama dalam berkomunikasi. Artinya, mereka tidak hanya memaknai bahasa yang digunakan ketika mengutarakan pendapat atau kritik, namun melibatkan banyak hal ketika memaknai sebuah pesan pendapat atau kritik. Jawaban “sudah” seorang tamu ketika ditawari makan, tidak selalu berarti “sudah” sebenarnya. Namun memiliki potensi makna yang beragam, seperti “…saya ingin, tapi…”, atau “…tawari saya lagi…”.

Mengutarakan pendapat dan kritik melalui humor dalam budaya komunikasi konteks tinggi merupakan sebuah keniscayaan yang potensial. Humor dapat menjadi sarana penyampai pendapat bahkan kritik dengan ‘lembut’. Humor merupakan sebuah pesan yang dapat membungkus pendapat tabu hingga kritik tajam dalam sebuah komunikasi yang ‘ringan’ yang melibatkan tawa dan kesenangan. Humor bahkan mampu membungkus sebuah hinaan dalam pesan yang dapat ‘diterima’ melalui penyangkalan “ini cuma humor”. Self-deprecatory humor[1], yang nampak tidak agresif pun mampu menyampaikan kritik melalui permainan wacana yang digunakan.

Humor politik sebagai salah satu genre humor dapat menjadi sarana kritik penguasa. Tidak hanya terjadi dalam sebuah negara demokrasi, namun juga tercipta di negara non-demokrasi. Salah satunya adalah cerita humor politik dari Uni-Soviet, yang memperbincangkan Gorbachev:

Suatu ketika ada dua orang pria yang tengah antri untuk membeli vodka. Berjam-jam mereka mengantri. Hingga salah satunya kesal, dan meninggalkan antrian, “cukup!, saya sudah muak!. Dimana-mana harus mengantri. Ini semua gara-gara Gorbachev dan Perestroikanya yang bodoh. Saya akan ke Kremlin, dan membunuhnya!”. Beberapa jam kemudian, pria itu kembali sambil tetap kesal dan berkata, “sialan, antrian disana lebih panjang daripada disini” (Zlobin, 1996: 223).

Cerita humor diatas merupakan salah satu cerita humor politik favorit Gorbachev, masa kekuasaanya, yang konon senang mendengarkan aneka cerita humor yang diceritakan bawahannya. Itu menunjukan humor politik tetap dapat ‘hidup’ dalam berbagai kondisi, bahkan dalam suatu kondisi keterbatasan ruang berpendapat dan kritik.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Ralph Mueller (dalam Davies, 2012: 2), menunjukan bahwa tetap ada kelucuan di Parlemen German yang terkenal kaku. Dari hasil notulensi rapat yang dicatat dari tahun 1994 hingga 2006, tercatat ada 7.529 kali peristiwa tertawa. Angka itu memang cukup jauh dari catatan jumlah tepuk tangan yang terjadi, yang terjadi sekitar 240.000 kali. Namun keberadaan peristiwa tertawanya anggota Parlemen Jerman dalam sidang parleman, sebagai bagian dari keberadaan humor, menunjukan bahwa humor dapat menembus batas kekakuan sebuah konteks situasi bahkan budaya.

Dalam praktiknya di Indonesia saat ini, humor politik seringkali dibangun dalam wujud satire, ironi, aggressive humor, sindiran, hingga self-depreciating humor. Wujud-wujud humor politik tersebut terpresentasikan dalam berbagai bentuk, mulai humor dalam percakapan, pertunjukan, hingga dalam bentuk visual. Presentasi humor dalam berbagi bentuk tersebut semakin semarak selepas era reformasi yang membuka keran kebebasan mengutarakan pendapat. Memasuki masa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014, presentasi humor terebut semakin berkembang. Perkembangan tersebut terfasilitasi oleh perkembangan media sosial, perkembangan jaringan internet, dan perkembangan teknologi komunikasi.

Tulisan ini mencoba menelaah perkembangan humor politik di Indonesia memanfaatkan nuansa budaya demokrasi Indonesia. Ketika nuansa budaya demokrasi indonesia seperti pupuk yang menstimulasi budaya mengutarakan pendapat, humor politik menjadi sarana resistensi, kontrol sosial, hingga pendobrak batas ketabuan yang tetap dapat diterima khalayaknya, khayalak yang terbiasa dalam konteks komunikasi konteks tinggi. Untuk itu, tulisan ini bertujaun untuk menelaah bagaimana perkembangan humor politik dalam perkembangan demokrasi Indonesia saat ini.

[1] Humor yang mentertawakan diri sendiri

Humor sebagai representasi realitas yang ditakuti

Sebuah penelitian yang dilaukan oleh Mahadian (2013) tentang realitas Etnis Cina dalam Stand Up Comedy oleh comic[1] Ernest Prakasa, mampu menggambarkan realitas tentang Etnis Cina di Indonesia. Salah satunya adalah tergambarkannya ketidaknyamanan Etnis Cina di Indonesia dalam keminoritasnnya, seperti berikut ini:

“…dalam hati gue berterima kasih sama Gus Dur, rasisme sedikit berkurang. Engga kaya jaman gue kecil kemana mana, “Akew! Akew!”. Ni gue kasih tau sama elo, elo yang ngga tau ya. Orang Cina namanya banyak, ada Akiong, Asiung, ada Aliong. Kenapa Akew doang gitu. Ngga semua juga depannya “A” ada Fey fey, ada Fang fang, ada Cen cen. Kenapa disamaratain semuanya, Akew[2]…”.

Humor dalam pertunjukan stand up comedy tersebut menampilkan sebuah ekspresi pikir salah seorang anggota kelompok minoritas. Dineh Davis (dalam Raskin, 2008: 543), berpendapat bahwa, “humor, is simply a manifestation of a person’s outlook life”. Maka humor tidak hadir begitu saja, humor merupakan representasi pikiran yang dikonstruksi secara sosial. Humor tersebut tidak lahir begitu saja, ia terlahir dari buah pikir dan pengetahuan. Humor tersebut tak akan menghasilkan kelucuan bila tak ada yang memahami konteks peristiwa yang menjadi latar humor tersebut, yaitu kondisi keminoritasn Etnis Cina di Indonesia yang kerap mendapatkan tindakan yang tidak selayaknya.

Konteks peristiwa humor diatas tentu mengingatkan wacana tentang tindak diskriminasi dan pelecehan yang diterima oleh Etnis Cina di masa Orde Baru, yang salah satunya adalah wacana tentang penggunaan istilah “Akew” sebagai sebuah bahasa penghinaan. Konteks peristiwa tersbut merupakan sebuah realita yang dianggap nyata dan “ada” dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut menunjukan bahwa, humor merepresentasikan realitas. Realitas yang dianggap ada dan nyata oleh anggapan dominan sekelompok masyarakat, bukan sekedar peristiwa rekaan, atau hasil imajinasi yang tak mendasar.

Penelitian serupa dilakukan oleh Natasha Paterson (2006) yang meneliti tentang wacana gender dalam humor yang digunakan oleh komedian Jackie Mabley di Amerika. Dimana Jackie Mabley perempuan kulit hitam di Amerika. Dalam komedinya, Jackie Mabley menggunakan konteks peristiwa yang terjadi di keluarga kulit hitam, yang dipersepsikan sebagai wanita yang agresif, dan tidak feminin. Tradisi tersebut membuat kaum pria kulit hitam menjadi lemah, dan tidak memiliki sikap kepemimpinan yang baik. Realitas stereotipe tersebut kemudian dikaitkan dengan Presiden Amerika Bacark Obama yang berasal dari keluarga kulit hitam, dan memiliki istri berkulit hitam pula. Dalam komedinya, Jackie Mabley memandang bahwa Ibu Negara Amerika memiliki potensi untuk menjadi ‘penguasa’, yang menguasai dan mengatur suaminya yang lemah,  walau ia seorang Presiden Amerika dan ‘dunia’. Selain itu, Mabley mengangkat isu tentang nasionalisme kaum kulit hitam. Dengan mengangkat sejarah Malcolm X, Mabley menunjukan bahwa kaum kulit hitam bisa sangat nasionalis, walaupun sering pula menganggap gerakan Malcolm X terlalu radikal dan membahayakan. Humor dalam komedi Jackie Mabley tersebut merupakan representasi dari realitas warga kulit hitam di Amerika.

Sebagai sebuah representasi atas realitas, humor yang melibatkan konteks peristiwa politik, dapat dianggap sebagai ekspresi sosial. Humor menjadi sarana bagi masyarakat mengeskpresikan pikirannya. Itu terjadi ketika sebuah humor politik ‘disetujui’ oleh masyarakat, dan terus bergulir dalam kurun waktu tertentu. Salah satu contoh konkretnya adalah humor politik yang berbicara tentang penjulukan presiden-presiden Indonesia: “Presiden pertama Negarawan, Presiden kedua Bangsawan, presiden ketiga Ilmuwan, presiden keempat Wisatawan…”. Konteks peristiwa humor tersebut merupaakan buah dari bergulirnya wacana Presiden Abdurahman Wahid yang diberitakan sering bepergian, hingga terciptalah humor tersebut. Ketika humor tersebut diterima, dan dianggap sejalan dengan ‘realita’, maka potensi humor tersebut untuk beredar semakin tinggi.

Humor memiliki ‘daya hidup’ yang baik, dimana dapat ‘hidup’ dalam berbagai kondisi negara totalitarian sekalipun. Di era totalitarian Soviet (sekarang Rusia), humor tetap ada dan beredar di dalam kehidupan sosial masyarakatnya (Zlobin, 1996). Masyarakat yang terkekang, tetap dapat menciptakan humor-humornya. Bahkan KGB pun tak kan mampu mencari siapa pencipta humor itu. Pemerintah soviet menganggap humor seperti wabah penyakit yang menggerogoti kekusaan. Bahkan Amerika pernah memenjarakan seorang comic bernama George Calin di tahun 1970 an. Carlin dipenjara akibat pertunjukannya yang diberi judul “Seven Words You Can’t Say In Television”. Pertunjukan stand up comedy tersebut mengangkat tema tentang kata-kata vulgar dan kasar yang dianggap tidak layak ditayangkan di televisi.

Di Jerman, sebuah negara yang dikenal memiliki budaya yang ‘kaku’. Masyarakatnya dianggap tidak suka bercanda atau humor. Namun penelitian yang dilakukan oleh Ralph Mueller menunjukan keberadaan humor dalam kegiatan parlemen Jerman (Davies, 2012). Penelitian yang dilakukan terhadap hasil catatan notulensi antara tahun 1994 hingga 2006, menunjukan adanya ‘tertawa’ sebanyak 7.529 kali. Jumlah itu memang jauh dibandingkan dengan jumlah tepuk tangan yang mencapai 240.000 kali. Keberadaan tertawa, dapat dijaikan indikasi keberadaan humor dalam sidang parlemen Jerman. Hal tersebut dapat menunjukan keberdaan humor dalam sebuah situasi yang tidak ‘lazim’.

Di Indonesia sendiri, humor yang mengandung kritik kepada pemerintah Orde Baru tetap dapat disuarakan walau dalam humor yang tidak agresif. Sebut saja Warkop DKI, yang beranggotakan tokoh Dono, Kasino, dan Indro, yang melakukan kritik dalam film-filmnya di tahun 80-an. Nama lain seperti trio Bagito, yang sering menggunakan humor sebagai kritik sosial dan politik di tahun 90-an. Humor yang mengandung kritik atau satire yang ada di era Orde Baru, memang tidak se-agresif saat memasuki era Reformasi, namun itu cukup menunjukan ketangguhan daya hidup humor politik, dalam bentuk satire atau humor kritik, dalam kondisi yang tidak memberikan fasilitas bagi perkembangan humor politik.

Humor sebagai sarana resistensi

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zimbardo (2014) memaparkan tentang resistensi yang dilakukan terhadap stereotipe negatif tentang muslim di Amerika. Stereotipe tentang Islam di amerika pasca 9/11 yang memburuk menghasilkan islamophobia, sebuah rasa takut terhadap Islam. Melalui film The Muslims Are Coming, humor menjadi sarana kritik budaya untuk perubahan sosial kelompok minoritas di Amerika.

Di era pemerintahan Soviet, humor terutapa satire politik ditakuti, karena dianggap ‘mematikan’ (Zlobin, 1996). Bahkan, terdapat humor tentang kontes humor rahasia, dimana juara pertama mendapat hadiah penjara 25 tahun, juara kedua mendapat hadian penjara 15 tahun, dan untuk pencipta humor tentang Lenin akan dihadiahi eksekusi. Humor tersebut menggambarakan ketakutan pemerintah Soviet. Di tahun 1992, Presiden Boris Yelstin menandatangani peraturan untuk kejahatan “offend the honor of dignity”. Dalam kurun waktu satu tahun, aturan itu sudah menghukum produser program televisi Kukly. Program televisi tersebut menampilkan satire politik menggunakan boneka yang menyerupai pemimpin soviet kala itu. Di Era Presiden Vladimir Putin, humor politik menjadi bagian penting dalam televisi di Rusia (Tagangaeva & Gallen, 2013). Program acara yang melibatkan humor, pertunjukan komedi, parodi, atau lainnya. Humor tetap menjadi sarana kritik terhadap rezim berkuasa di Rusia.

Di Indonesia, humor menjadi sarana kriti sosial dan politik. Humor yang mengandung kritik sosial dan politik dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, mulai dari pertunjukan komedi tradisional, parodi di televisi, hingga humor-humor dalam bentuk visual digital. Trend terakhir adalah kehadiran meme, yang lahir akibat perkembangan perangkat komputer dan internet. Sebuah humor visual yang menyajikan gambar yang disertai tulisan. Menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu, genre humor visual ini sangat marak.

 

Genre humor visual tersebut mampu menyajikan humor yang menghibur., namun tetap tidak meninggalkan esensinya sebagai sarana unjuk rasa dan unjuk pendapat.

Bentuk lainn dari humor visual selain meme, dan telah berkembang lebih dahulu adalah karikatur. Berbeda dengan meme, karikatur merupakan gambar yang dibuat oleh seniman karikatur. Karikatur memiliki rentang eksplorasi yang lebih luas, karena seniman karikatur dapat membuat bentuk apapun, dan tidak terjebak pada foto tokoh yang akan ‘diparodikan’. Setiap surat kabar lazimnya memiliki ‘tokoh’ kartun, yang menjadi tokoh dalam karikatur di korannya, sebut saja Om Pasikom di Kompas, Mang Ohle di Pikiran Rakyat, atau tokoh-tokoh kartun di surat kabar Pos Kota seperti Ali Oncom, Doyok, atau Otoy.

 

Humor visual menyuguhkan ‘rasa’ baru yang dapat menghibur, namun tetap mengandung kritik, yang kaya makna. Meme mampu menghadirkan humor politik yang nakal, menggelitik, namun menghibur. Salah satu contohnya adalah meme yang memuat gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (gambar 3.3). Meme tersebut menyindir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai telah berpura-pura (akting) dalam meloloskan Undang-undang Pilkada.

 

Humor visual tersebut menggambarkan kekecewaan orang-orang yang menghendaki pemilihan kepala daerah langsung. Meme tersebut tidak secara langsung mengandung unsur yang ‘menyerang’. Namun mampu menjadi sarana unjuk kekecewaan kepada penguasa.

Keberadaan humor dalam sebuah kelompok masyarakat, dapat menjadi ‘paramater’ derajat demokrasi. Menurut Davies (2011), dari beberapa studi di berbagai negara komunis sekalipun, humor yang ada di kegiatan parelemen menjadi indeks derajat demokratisasi prosedur parlemen. Itu terjadi di Polandia ketika berada dalam kekuasaan komunis, Jerman, hingga Soviet. Humor menjadi sarana unjuk rasa, yang mampu digunakan dalam kondisi terkekang sekalipun.

Penelitian yang dilakukan oleh Schmidt (1990), memberikan pemahaman tentang humor politik. Pertama, humor politik menjadi indikator kekohesifan masyarakat dalam hubungannya dengan penguasa. Kedua, humor politik dapat menjelaskan persepsi masyarakat terhadap sitausi politik yang terjadi. Ketika, humor politik dapat dijadikan sarna untuk memahami peristiwa politik yang terjadi dalam kurun sejarah tertentu. Penelitian yang dilakukan di Meksiko tersebut, menjelsakan pula tentang keberadan humor politik sebagai bagian dari upaya memahami elitelore (cerita elit).

Humor politik mampu menjadi sarana unjuk rasa dan pendapat, yang dapat dilakukan dalam berbagai derajat demokrasi suatu bangsa. Humor politik yang berisi kritik terhadap penguasa, bahkan tetap ada di negara komunis, totaliter, yang dikuasai penguasa tiran sekalipun. Bila para komedian atau seniman yang mencipta humor tak memiliki kuasa untuk dapat menampilkan humornya, masyarakat dapat menciptakan humor underground, yang menyelusup dalam percakapan sehari-hari. Sehingga intelejen sekalipun tak kan mampu menangkap penciptanya, namun kritik tetap dapat beredar, dan berakumulasi menjadi wacana yang lebih besar. Dengan bentuknya yang beragam seperti satire, ironi, aggressive humor, sindiran, hingga self-depreciating humor, humor mampu menyampaikan kritik yang menghibur.

[1] Sebutan untuk stand up comedian

[2] StandUpNite 3 tanggal 24 Agustus 2011 di Rolling Stones Café, Jakarta

 

Daftar pustaka

Buku

Attardo, Salvatore. (1994). Linguistic Theories of Humor. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co

Gilbert, J.R. (2004). Performing Marginality: Humor, gender, and cultural critique. Detroit: Wayne State University Press Kuypers., J.A.(2009). Rhetorical Criticism. Playmouth UK: Lexington Books

Littlejohn, S., & Foss, K.A. (2009). Teori Komunikasi. Diterjemahkan oleh: Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: PT Salemba Humanika

Raskin, Victor. (2008). The Primer of Humor Reseach. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co

Jurnal dan Sumber lainnya

Davies, Christie. (2012). Studies in Political Humour. Israeli Journal of Humor Research.

Mahadian, A.B. (2013). Representasi Etnis Cina Dalam Stand Up Comedy. Universitas Padjadjaran. Tesis

Patterson, Natasha. (2006). A Womanist Discourse Analysis of The Comedic Discourse of Jackie “Moms” Mabley. University of Flodida. Thesis

Lynch, O.H. (2002). Humorus Communication: Finding a places for humor in communication reseacrh. International Communication Association: jurnal

————–. (2005). Humor At Work: Using humor to study organization as a social process. Texas: Texas A & M University. Dissertation

Schmidt, Samuel. (1990). Elitelore in Politics: Humor versus Mexico Presidents. Journal of Latin American Lore. USA

Sturges, Paul. (2010). Comedy as Freedom of Expression. Loughborough University: Journal of Documentation

Tagangaeva, M., & Gallen, St. (2013). Political Humor on Russian Television. Russian Analytical Digest No 126.

Wilson, N.A. (2011). Divisive Comedy: A critical examination of audience power. Journal of Audience and Reception Studies. Northwest Missouri State University. USA

Zimbardo, Zara. (2014). Cultural Politics of (De) Normalizing Islamophobic Stereotypes. Islamophobia Studies Journal Volume 2.

Zlobin, Nikolai. (1996). Humor as Political Protest. Journal: Demokratizatiya

Humor = Komunikasi?

(Tulisan ini merupakan bahan bacaan untuk diskusi Liski (Lingkar Studi Komunikasi) bulan April 2015 di Prodi Ilmu Komunikasi FKB Tel-U)

 

Hampir dua pekan lalu, Tessy (Kabul Basuki) seorang komedian terkenal, ditangkap polisi karena kedapatan mengonsumsi sabu-sabu, dan kemudian dikabarkan berupaya bunuh diri. Sementara itu, beberapa bulan lalu, tepatnya  tanggal 11 Agustus 2014, seorang komedian Amerika bernama Robin William didapati mati bunuh diri karena depresi. Nampak seperti sebuah ironi, orang-orang yang terlibat dalam kegembiraan, dan tertawa, berada dalam kondisi yang ‘sebaliknya’. Bahkan ada sebuah quotes dari Jean Reno, seorang aktor prancis: “most comedians are the saddest people”, yang kemudian menjadi cukup terkenal sebagai sebuah ‘anggapan umum’. Majalah Times bahkan memberi judul artikelnya dengan “Why the funniest people are sometimes the saddest”, yang memberitakan kematian Robin Williams. Benarkah kegembiraan, dan tertawa ada sebagai ‘tumbal’ dari kesedihan dan kemalangan?.

Manusia ‘menganut’ beragam cara pandang dalam memandang tertawa. Dalam ajaran Islam, seorang muslim dilarangan tertawa berlebih, karena dianggap mematikan hati, merendahkan martabat, mengikuti langkah setan, dan melupakan akhirat. Dalam ajaran Kristen, tertawa dianggap sebagai ekspresi permusuhan[1]. Gelak tawa dianggap sebagai sesuatu yang ‘rendah’, ketika seseorang tertawa maka ia akan celaka, karena ia akan berduka cita dan menangis. Kedua ajaran agama tersebut memandang gelak tawa sebagai sesuatu yang (cenderung) ‘tidak baik’, dekat dengan kemuraman, kelam, dan gelap. Berbeda dengan ajaran Buddha, yang mengenal ‘konsep’ “Buddha tertawa”, dimana kegembiraan, tawa, dan pencerahannya mengangkat segala derita, sakit dan ketidaktahuan duniawi. Tertawa nampak lebih ‘ceria’, riang, dan bermanfaat. Dalam mitologi Yunani, orang-orang bahkan menyembah dewa Gelo, yang karenanyalah orang-orang dapat tertawa.

Manusia tertawa karna berbagai hal, digelitik, menang “judi bola”, menyaksikan teman diguyur saat ultah, melihat meme (mimicry) Syahrini, mendengar cerita lucu, mengingat ‘kebodohan diri’, atau mungkin karena ‘gila’. Attardo, memandang tertawa adalah sebuah manifestasi kondisi psikologis yang kompleks, ketika mental seseorang mengidentifikasi humor[2].

‘Mendefinisikan’ humor

Di abad pertengahan, humor atau humorous tidak memiliki arti seperti saat ini. Kala itu, humorous adalah sebuah istilah dalam fisiologi, yang berarti cairan dalam tubuh. Cairan tubuh yang berwujud empedu kuning, empedu hitam, dan darah. Ketiga cairan tubuh (humorous) tersebut menjadi penyeimbang emosi manusia. Ketika ketiga cairan tubuh tersebut tidak seimbang, maka emosi manusia tidak stabil[3]. Dua buah buku Ben Jonshon di tahun 1598 yang berjudul “Every Man in His Humor”, dan “Every Man Out of His Humor”, bertutur tentang orang-orang eccentric (sinting; nyentrik; aneh). Dimana orang-orang itu hidup dalam ‘ketidak seimbangan’, dan membuat orang-orang normal mentertawakannya. Dari idea atas situasi tersebutlah, yang menjadikan makna humor seperti yang dimaknai orang-orang masa kini, situasi ketika orang-orang mentertawakan peristiwa absurd, konyol, dan dilebih-lebihkan yang dilakukan “orang eccentric”.

Menelusur humor di era “filsafat kuno”, ditemukan beberapa pendapat tentang ‘Humor’. Plato berpendapat bahwa ‘humor’ adalah “a mixed feeling of the soul”. Sementara itu, Aristoteles  mengatkan bahwa ‘komedi adalah “an imitation of men worse than the average; which is a species of the ugly[4]. ‘Humor’ dimaknai sebagai sebuah keburukan, karena mengandung “kecacatan” atau “keburukan” yang ditertawakan. Bahkah Aristotle menambahkan bahwa satiris atau penulis komedi sebagai “a kind of evil speakers”. Berikut adalah beberapa ‘definisi’ lainnya sebagai bahan renungan: G.W.F Hegel memandang humor sebagai sebuah ekspresi dari self-satisfied shrewdness; Immanuel Kant berpendapat bahwa, “laughter is an affectation arising from sudden transformation of a strained expectation into nothing[5]; Owen Lynch merumuskan humor sebagai “an intended or unintended message that is considered funny or evokes laughter[6].

 

Teori humor

Dari sekitar abad ke-18, terdapat tiga teori ‘utama’ yang mencoba menjelaskan humor, yaitu superiority theory, incongruity theory, dan relief tension theory.

  1. Superiority Theory

Menurut teori ini, humor diasumsikan sebagai tindakan superioritas. Humor diasosiasikan dengan tindakan “menertawakan orang lain”, dan menempatkan diri sebagai pihak yang lebih tinggi (superior). Pandangan tentang humor yang sejalan dengan pandangan teori ini, bisa didapati dari pandangan Plato yang menulis ‘humor’ sebagai bentuk mockery atau disdain. Atau pandangan Thomas Hobbes, yang tercermin dari pendapatnya bahwa:“the passion of laughter is nothing else but sudden glory arising from sudden conception if some eminency in ourselves by comparison with infirmity of other, or with our own formerly”. Didalamnya mengandung proses penempatan diri dalam kelompok, untuk menjadikan dirinya bukan orang ‘lemah’ yang konyol, atau yang pantas ditertawakan, namun orang yang menertawakan. Juga proses memperbandingkan, antara diri sendiri dan orang lain, yang diangap lebih ‘rendah’. Dari hal tersebut, teori ini memandang humor sebagai sebuah sarana agresi yang ‘lembut’, ketika humor dapat membalut ketidaksopanan menjadi sesuatu yang dapat ‘diterima’.

  1. Relief Tension Theory

Teori ini memandang lelucon sebagai sarana untuk mengurangi ketegangan atau stress. Humor berfungsi relief, seperti yang digunakan ketika melakukan negosiasi atau mediasi, yang berupaya untuk mengurangi ketegangan. Bagi dunia kesehatan, humor dapat digunakan untuk mengurangi stres fisik dan emosi. Dengan tertawa, terjadi pergerakan organ tubuh yang kompleks hingga dapat membersihkan pernafasan, dan meningkatkan sirkulasi oksigen, bahkan dianggap dapat membantu melawan infeksi.

Herbert Spencer berpendapat bahwa tertawa dapat meningkatkan energi melalui pengendalian rasa “tidak menyenangkan”. Sementara itu, Sigmund Freud kemudian melibatkan teori tersebut dalam penelitiannya Jokes and Their Relation to the Unconcious. Freud berpendapat bahwa lelucon serupa dengan mimpi, karena memungkinkan “ide terlarang” untuk muncul kepermukaan. Freud menjelaskan bahwa, relief humor memiliki dua sifat. Sifat pertama yaitu menyembuhkan, dengan membiarkan ketegangan dan energi untuk dilepaskan. Kedua, humor merupakan bentuk penyamaran dari perlawanan, dan bentuk resistensi terhadap sebuah persetujuan. Lelucon kemudian menjadi sebuah representasi pembangkangan terhadap penguasa, dan pembebasan dari sebuah tekanan.

  1. Incongruity Theory

Sementara itu, menurut teori incongruity, tertawa hadir dari sebuah kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak konsisten dengan logika yang digunakan dalam mempersespsi sebuah peristiwa. Sementara Plessner (dalam Lynch, 2005: 31) berpendapat bahwa humor hadir dalam situasi ketika mengintrepretasikan suatu realita yang tidak lazim. Sesuatu dapat dianggap lucu bila tidak logis, atau irasional, paradoxical, tidak koheren, keliru, atau tidak semestinya. Misalnya, ketika kita menginterpretasi ketidak laziman seorang pria setengah baya yang mengenakan daster sambil bermain bola. Humor dianggap sesuatu yang melibatkan kegiatan intelektualitas seseorang. Humor didasarkan pada aspek kognisi seseorang, karena melibatkan persepsi individual terhadap peristiwa, orang, atau simbol.

 

Buku Rujukan:

Attardo, Salvatore. (1994). Linguistic Theories of Humor. Walter de Gruyter GmbH & Co

Littlejohn, S., & Foss, K.A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory. Sage

Lynch, O.H. (2005). Humor At Work: Using humor to study organization as a social process. Texas A & M University.

Morreal, John. (2009). Comic Relief: A comprehensive philosophy of humor. Wiley-Blackwell

Raskin, Victor. (2008). The Primer of Humor Reseach. Walter de Gruyter GmbH & Co

CANDU ITU BERNAMA SINETRON

 

 (Tulisan ini telah dimuat di Koran Pikiran Rakyat tanggal 15 September 2014)

 

Candu lazimnya dikenal sebagai salah satu jenis narkotika. Candu itu sendiri pertama kali dikenal oleh bangsa Sumerian sekitar 5500an tahun yang lalu di sekitar Mesopotamia. Bangsa sumerian menyebutnya dengan sebuatan hul gil, yang artinya “tumbuhan senang”. Tentu penyebutan tumbuhan itu bukan tanpa alasan, karena tumbuhan itu memberikan efek ‘senang’ pada diri pengkonsumsinya. Namun kemudian, benda itu dianggap memberikan efek lain selain ‘efek senang’. Pengkonsumsinya akan memiliki hasrat untuk terus-menerus mengkonsumsinya hingga menjadi “kecanduan”.

Efek kecanduan ternyata tidak hanya disebabakan oleh candu. Adalah sinetron, sebuah genre tayangan televisi yang banyak dicandui oleh banyak orang. Sinetron memberikan efek yang hampir serupa dengan candu, diawali untuk ‘kesenangan’ dan diakhiri dengan ‘kecanduan’. Penonton sinetron yang sudah kecanduan, biasanya sulit untuk menghentikan kebiasannya menonton sebuah sinetron. Hasilnya sebuah sinetron mampu bertahan hingga ribuan episode bersama para pecandunya.

Bagaimana sinetron mencandu?

Tahun 1943, Abraham Maslow memperkenalkan sebuah teori yang menelaah tentang motivasi manusia. Ia menjelaskan bahwa manusia memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya, mulai dari kebutuhan yang paling mendasar hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lebih kompleks. Lebih dari enam dekade kemudian, seorang Neil Postman mengemukakan konsep NEnt (need for entertainment), yaitu sebuah konsep yang menjelaskan tentang kebutuhan manusia atas hiburan. Postman menjelaskan bahwa manusia membutuhkan hiburan.

Menurut Postman, manusia akan menentukan sendiri apa yang akan menjadi hiburannya. Para calon penonton sinetron tentunya membawa semangat mencari hiburan ketika ia meluangkan waktu, dan merelakan dirinya untuk menonton sinetron, dan membiarkan pikirannya diterpa cerita sinetron. Dengan semangat mencari hiburan, mereka coba mencicipi sebuah sinetron. Pada fase ‘mencicipi’ ini, penonton sinetron akan menentukan apakah ia akan melanjutkan atau tidak.

Pemilihan keputusan apakah ia akan melanjutkan atau tidak, ditentukan oleh genre sinetron itu sendiri. Sebagai sebuah karya sinematografi, sinetron mampu menyajikan realitas ke dalam layar. Dengan mudah dan murah, penonton tinggal duduk manis dan menikmati pertunjukannya. Sinetron membantu penontonya untuk berimajinasi tanpa harus ‘berpikir’. Penonton sinetron akan dibawa ke dalam nuansa khayal realitas palsu cerita sinetron.

Penonton sinetron memahaminya ceritanya tanpa perlu melibatkan daya berfikir dan nalar yang tinggi. Penonton tinggal duduk manis dan menikmati pertunjukan sesuai seleranya. Seseorang pecandu sinetron akan mencandui sinetron yang sesuai dengan dunia imajinasinya masing-masing. Seorang remaja berpotensi mencandui sinetron yang bercerita tentang kisah cinta vampir dan gadis biasa. Seorang istri yang cemas dengan kesetiaan suaminya, berpotensi mencandui sinetron yang berkisah tentang penderitaan seorang istri yang dikhianati. Sementara itu, seorang ibu berpotensi mencandui sinetron yang bercerita tentang kehidupan tukang bubur, bersama keluarga, tetangga dan kerabatnya.

Ketika penonton telah hanyut dalam realitas cerita sinetron, lazimnya ia tengah menikmati kesenangan yang disajikan sinetron. Ia tengah memasuki  tahap berikutnya setelah hanya ‘mencicipi’. Penonton mulai menginginkan kembali menonton episode berikutnya. Efek menagih mulai menjerat, membuat penonton tak bisa lari dari kelanjutan realitas yang terus bergulir dari satu episode ke episode berikutnya. Kontinuitas cerita yang dibutuhkan penonton membuatnya semakin erat mengikat indera dan pikiran mereka pada layar. Semakin ia menikmati realitas cerita yang disajikan dalam sinetron, semakin ia kecanduan sinetron. Ia akan merasa harus terus menerus mengikuti cerita sinetron. Rasa berdosa, atau gelisah berpotensi muncul bila tak sempat menonton satu episodenya.

Modalitas yang mencandukan

Sinetron bercerita tentang kehidupan manusia yang nampak ‘nyata’ hingga fiksi tulen. Mulai dari cerita keluarga, cerita cinta, hingga kisah dunia persilatan di dimensi antah berantah. Cerita-cerita fiksi yang nampak nyata, seperti kisah percintaan, intrik keluarga, atau cerita pertemanan dengan mahkluk astral, cenderung ditampilkan dalam tingkat modalitas yang tinggi. Cerita-cerita itu disajikan dalam konteks dunia yang ‘nampak’ nyata, atau diasosiasikan dengan mitos yang selama ini dianggap nyata. Bukan dunia rekaan yang sengaja dibuat, seperti dunia bawah tanah dalam serial kartun Doraemon.

Dampak derajat modalitas yang tinggi yang disajikan sinetron mungkin takkan seperti ketika Auguste Lumière dan Louis Lumière mempertontonkan film untuk pertama kalinya. Ketika pada suatu hari di tanggal 28 Desember 1895, di sebuah Café de Paris, Lumière bersaudara mempertontonkan film untuk pertama kalinya. Sebuah ‘film dokumenter’ yang menayangkan adegan-adegan para pekerja yang bekerja di sebuah pabrik, seorang bayi yang sedang makan siang, hingga sebuah lokomotif yang semakin mendekat.  Para penonton tercengang, bahkan pada suatu adegan penonton berlari ke bangku, ketika nampak sebuah lokomotif semakin mendekat seakan akan menabrak para penonton. Saat ini penonton sinetron takkan berlari ketika Prabu Kian Santang mengeluarkan aji suket kalanjana, atau bersembunyi ketika Tristan menunjukan taringnya mencari darah manusia. namun modalitas tinggi yang disajikan memudahkan penontonnya  untuk menikmati sinetron. Memfasilitasi penontonya menjadi pecandu akut sinetron.