Pemimpin

(tulisan lalu yg tak sempat publish)

Masa kampenye Capres & Cawapres lalu ‘dunia’ kita diramaikan oleh tanda, kode, simbol, icon, lambang, hingga bahasa tentang Capres dan Cawapres kita. Jokowi yang menggunakan kemeja kotak-kotaknya, JK dengan kemeja putihnya, Prabowo-Hatta dengan kemeja putih berlambang burung garuda merahnya di dada kanannya. Jokowi dengan citra sederhana dan merakyat, Prabowo dengan citra tegas, gagah, dan berwibawa. Mereka tampil dalam nuansa citranya masing-masing sebagai calon pemipin bangsa Indonesia.

Tanda, kode, simbol, icon, lambang, dan bahasa yang mencitrakan Capres dan Cawapres, tersebar dan disebarkan melalui berbagai media. Ketersebarannya membuat rakyat mengenal kandidat Capres dan Cawapres. Rakyat melihat wujud dan rupa calon pemimpinnya, ketika tampil di televisi dan laman internet, atau fotonya dimuat di surat kabar dan majalah. Rakyat mendengar suara, dan bahasa yang keluar dari mulut calon pemimpinnya, ketika disiarkan di radio, televisi, atau laman internet. Rakyat terterpa citra calon pemimpinnya melalui tanda, kode, simbol, icon, lambang, dan bahasa tentang calon pemimpinnya.

Tanda, kode, simbol, icon, lambang, dan bahasa yang tersebar menjadi bahan baku rakyat untuk mengkonstruksi calon pemimpin dalam pikiran. Khalayak seperti menyusun puzzle tanda, kode, simbol, icon, lambang hingga bahasa tentang pemimpinnya, yang tersebar di media atau interaksi tatap muka yang sekejap dalam manipulasi dan sandiwara. Kolase tanda, kode, simbol, icon, lambang hingga bahasa tentang pemimpinnya, di susun menjadi satu kesatuan yang dianggap utuh dalam pikiran rakyat. Hingga jadilah Jokowi, Prabowo, JK, dan Hatta Rajasa yang ada di kepala kita masing-masing.

Apakah Jokowi, Prabowo, JK, dan Hatta Rajasa yang ada di kepala kita adalah Jokowi, Prabowo, JK, dan Hatta Rajasa yang ‘asli’?. Tentu jawabannya bukan.  Jokowi, Prabowo, JK, dan Hatta Rajasa yang ada di kepala kita masing-masing hanyalah sebuah ilusi, hasil konstruksi dari kolase yang tersebar, disebarakan, bahkan berceceran di jagat nyata. Jokowi, Prabowo, JK, dan Hatta Rajasa yang ada dalam pikiran kita, yang selama ini kita anggap nyata hanyalah sebuah realitas palsu. Palsu, karena seringkali kita menghubungkan kolase tanda, kode, simbol, icon, lambang, dan bahasa tentang mereka tanpa acuan yang jelas dan acak. Hingga tak mampu lagi membedakan mana tanda, kode, simbol, icon, lambang, dan bahasa yang asli, dan mana yang palsu.

Manajemen menurut Frederick Taylor

Pertama kali manajemen ilmiah atau manajemen yang menggunakan ilmu pengetahuan dibahas, pada sekitar tahun 1900an. Taylor adalah manajer dan penasihat perusahaan dan merupakan salah seorang tokoh terbesar manajemen. Taylor dikenal sebagai bapak manajemen ilmiah (scientifict management).

Teori manajemen ilmiah tercetus diakibatkan karena dia frustrasi dengan operasi industri yang khas pada pergantian abad  tersebut. Beberapa isu terkait dirinya. Pertama, tugas yang paling dipelajari dalam organisasi oleh pendatang baru adalah menonton pekerja yang lebih berpengalaman pada pekerjaan tertentu. Jadi, taylor percaya bahwa belajar tugas-tugas dengan cara ini dapat menyebabkan kualitas pekerjaan tidak merata dalam organisasi.

Kekhawatiran kedua cara imbalan dimana melibatkan individu-individu untuk pekerjaan-pekerjaan mereka. Pada pergantian abad, membayar  upah kerja  adalah sistem imbalan yang khas organisasi. Untuk mengatasi masalah ini, Taylor mengembangkan sistemnya manajemen ilmiah.

  • Pertama, ada satu cara terbaik untuk melakukan setiap pekerjaan. Prinsip ini secara langsung menyerang sistem lama pembelajaran melalui adat-istiadat di mana ketrampilan pekerjaan individu diturunkan dari generasi ke generasi. Sebaliknya, taylor percaya bahwa cara terbaik untuk melakukan setiap pekerjaan dapat ditentukan melalui studi gerak waktu yang efisien. Dengan demikian, aspek penting dari pelaksanaan sistem nya adalah menentukan waktu yang paling efisien. Bahwa “cara terbaik” kemudian akan diajarkan kepada semua pekerja.
  • Prinsip kedua dan ketiga dari sistem taylor melibatkan pentingnya pekerja yang tepat untuk sebuah pekerjaan. Prinsip-prinsipnya yang kedua memerlukan seleksi yang tepat dari pekerja untuk pekerjaan itu, dan;
  • prinsip ketiga mempertimbangkan pentingnya pelatihan pekerja sebagaimana cara yang disarankan dalam studi  waktu dan  Taylor berpendapat bahwa para pekerja harus ilmiah dan hanya dipilih oleh Trainer untuk setiap pekerjaan dan bahwa “kelas pekerja” harus dipertahankan.
  • Keempat, Taylor berpendapat bahwa ada perbedaan yang melekat antara manajemen dan pekerja. Menurut taylor, manajer organisasi yang paling cocok untuk berpikir, perencanaan, dan tugas-tugas administratif. Sebaliknya, pekerja organisasi yang paling cocok untuk bekerja. Dia pendukung pembagian kerja yang ketat di mana pekerja melakukan kerja Fisik yang direncanakan dan diarahkanoleh manajemen. Dengan demikian, sistem taylor manajemen ilmiah adalah salah satu metode ilmiah yang digunakan untuk menentukan cara terbaik untuk melakukan setiap pekerjaan. Setelah cara terbaik ditentukan, pekerja ilmiah dipilih untuk pekerjaan mereka dan terlatih dalam metode yang dianggap paling sesuai oleh studi waktu dan  Para fungsi organisasi dengan mempertahankan perbedaan yang tegas antara pekerja dan manajer di mana para pekerja bertanggung jawab untuk kerja fisik dan manajer bertanggung jawab untuk berfikir dan pengorganisasian.

Hasil penelitian dan analisanya ditetapkan beberapa prinsip yang menggantikan prinsip lama yaitu sistem coba-coba atau yang lebih dikenal dengan nama sistem trial and error. Hakekat pertama daripada manajemen ilmiah yaitu a great mental revolution, karena hal ini menyangkut manajer dan karyawan. Hakekat yang ke dua yaitu penerapan ilmu pengetahuan untuk menghilangkan sistem coba-coba dalam setiap unsur pekerjaan.

Taylor mengemukakan empat prinsip Scientific Management, yaitu

  1. menghilangkan sistem coba-coba dan menerapkan metode-metode ilmu pengetahuan di setiap unsur-unsur kegiatan
  2. memilih pekerjaan terbaik untuk setiap tugas tertentu, selanjutnya memberikan latihan dan pendidikan kepada pekerja.
  3. setiap petugas harus menerapkan hasil-hasil ilmu pengetahuan di dalam menjalankan tugasnya.
  4. Harus dijalin kerja sama yang baik antara pimpinan dengan pekerja.
    Hal yang menarik dari pendapat Taylor salah satunya adalah mengenai posisi manajer.
  • Komunikasi dalam pendekatan klasik
    • Konten komunikasi

Pendekatan organisasi klasik memandang sempit tentang komunikasi. Komunikasi yang terjadi dalam konteks hubungan interpersonal dianggap kontra produksi terhadap tujuan organisasi. Demikianpun dalam konteks pengembangan inovasi atau pengungkapan ide oleh pegawai tidak mendapat kesempatan yang luas.

  • Arah atas arus komunikasi

Terdapat beberapa kemungkinan arus komuikasi yang terjadi dalam sebuah organisasi dengan pendekatan klasik. Komunikasi dengan arus vertikal dapat terjadi ke atas dan kebawah dalam strukur organisasi, dimana seorang supervisor memberikan arahan kepada bawahannya atau bawahan memberikan feedback terhadap atasan. Untuk arus yang satu ini, organisasi dengan pendekatan klasik lebih menekankan arus dari atas ke bawah, dimana seorang pimpinan memberikan perintah kepada bawahan, dan sangat sedikit kemungkinan terjadinya komunikasi dari bawahan kepada atasan. Bentuk komunikasi lain dapat terjadi dalam arus horizontal, dimana pegawai berinteraksi dengan sesama pegawai dalam level yalevel yang sama. Selain itu komunikasi dapat terjadi tak tentu arah, dimana semua anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya.

  • Saluran komunikasi

Saluran komunikasi yang mungkin terjadi dalam organisasi dengan pendekatan klasik diantaranya komunikasi tatap muka, komunikasi tertlis, serta memungkinkan juga komunikasi bermedia telepon atau komputer. Namun dari beberapa bentuk tersebut diatas, komunikasi tertulis lebih umum digunakan. Saluran komunikasi tertulis lebih sering digunakan terutama dalam bentuk instruksi, pernyataan misi, peraturan, evaluasi kinerja, hingga employe handbook.

  • Gaya komunikasi

Gaya komunikasi yang sering terjadi cenderung sangat formal. Terutama tata cara penulisan jabatan, hingga penulisan gelar. Demikian pula dalam penggunaan bahasa yang sesuai dengan tata bahasa baku. Penggunaan pakaian sebagai bentuk komunikasi non-verbal cenderung menampilkan penggunaan pakaian yang resmi daripada penggunaan pakaian kasual.

Organisasi Menurut Max Weber

Karl Emil Maximilian Weber (lahir di Erfurt Jerman21 April 1864–meninggal di MunchenJerman14 Juni 1920 pada umur 56 tahun) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.

Teori manajemen klasik yang kedua kiat akan membandingkan apa yang telah dikembangkan oleh Max Weber,  seorang sosiolog Jerman, yang tinggal pada periode yang sama dengan Fayol. Ide-idenya diperkenalkan ke Amerika Serikat dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tepat dengan Fayol (Weber, 1947). Namun demikian, teori Weber sangat berbeda dengan Fayol. Di mana Fayol memberikan resep kepada para manajer tentang bagaimaan organisasi berjalan semestinya, sementara Weber lebih memakai pendekatan ilmiah. Teori birokrasi Weber disebut sebagai teori dengan bentuk yang  ideal. Sebuah bentuk teori ideal yang tidak membahas bentuk organisasi khusus sebagai yang terbaik, namun lebih kepada bentuk-bentuk khas dari penjelasan organsiasi yang diharapkan. Dengan demikian, dalam teori birokrasinya Weber, disebutkan satu persatu karakteristik bentuk organisasi dengan teliti. Weber yakin bahkan organisasi-organisasi memiliki birokrasi yang akan mendominasi masyarakat karena  tekniknya yang superior (Clegg, 1990).

Teori birokrasi Weber tidak bisa dengan mudah dibedakan ke dalam elemen dan prinsip-prinsip seperti Fayol. Bagaimanapun, ada enam aspek birokrasi yang menjadi inti pemikiran Weber. Yang ketiga sama dengan pemikiran Fayol. Dan tiganya lagi adalah, pertama,  Weber percaya bahwa birokrasai seharusnya dioperasikan melalui hirarki yang jelas. Kedua, Weber melihat bahwa birokrasi sebagai karakteristik dengan bidang buruh. Ketiga, Weber yakin bahwa birokrasi ditandai dengan sentralisasi pembuatan keputusan dan kekuasaan.

Teori birokrasi Weber juga menekankan pentingnya aturan untuk kinerja sebuah organisasi. Weber yakin bahwa aturan seharusnya rasional dibantun dan harus ada aturan untuk semua kemungkinan dalam sebuah organisasi. Lebih lanjut, dia yakin bahwa aturan-aturan ini harus dibuat dalam bentuk tulisan.

 

 

 

 

Mungkin aspek yang paling penting dari teori birokrasi Weber adalah perhatiannya pada fungsi otoritas. Weber melihat setiap birokrasi seperti bekerja memalui sistem otoritas, kekuatan, dan disiplin. Dia memberikan postulat bahwa beberapa otoritas didasarkan pada ketiga hal berikut:

  1. Otoritas tradisional (kadang-kadang disebut otoritas legtimasi) merupakan kekuatan yang didaasrkan pada keyakinan lama tentang siapa yang layak mengendalikan dan sering memberikan posisi tertentu dalam sebuah jenjang organisasi;
  2. Otoritas kharismatik yang merupakan kekuatan berdasarkan pada kemampuan dan pribadi seseorang yang menarik dan berinteraksi dengan para pengikutnya. Bentuk otoritas ini seringkali tidak tetap, seperti para pengikutnya sering kecewa dengan kharismatik para pemimpinnya;
  3. Otoritas legal rasional merupakan kekuatan didasarkan pada unsur mengutamakan rasional dari aturan-aturan yang dikembangkan melalui kepercayaan pada informasi dan keahlian. Dengan otoritas legal rasional, kekuatan tidak disandarkan pada individu, tetapi pada keahlian dan rasionalitas yang telah diciptakan sebuah sistem aturan dan nomra-norma.

Singkatnya, teori birokrasi Weber  memfokuskan pada kekhasan sebuah organisasi yang dikenal dengan birokrasi. Dia memperlihatkan bahwa birokrasi merupakan sebuah sistem yang sangat dekat dengan  otoritas legal rasional. Dalam sistem ini, ada semacam kepercayaan yang kuat pada aturan, divisi buruh, dan jelasnya dibangun di atas hirarki dengan kekuatan yang terpusat.

Organisasi menurut Henry Fayol

Fayol adalah pemikir berkebangsaan Prancis yang berkembang di Amerika. Fayol mengembangkan teori mengenai manajemen administratif. Banyak yang menganggap Fayol sebagai pendiri aliran manajemen klasik, bukan karena ia yang pertama menyelidiki perilaku manajerial, tetapi karena dialah yang pertama kali membuatnya mejadi sebuah sistem. Fayol berpendapat bahwa praktek-praktek manajemen yang baik mempunyai suatu pola tertentu yag dapat diidentifikasi dan dianalisis. Dari pemikiran dasar ini, ia menggambarkan cetak biru bagi suatu doktrin manajemen yang menyatu, yang pengaruhnya masih terasa hinga sekarang.

  • Element of management

Fayol mengemukakan empat elemen fundamental dalam manajemen. Keempat elemen ini dianggap dapat menjawab atas ‘apa’ yang disebut manajemen. Keempat elemen manajemen tersebut yaitu: perencanaan, pegorganisasian, pengkomandoan, pengkoordinasian, dan pengawasan.

  • Perencanaan (Planning)

Perencanaan meliputi pandangan terhadap masa depan untuk menentukan tujuan organisasi. Fayol berpendapat bahwa perencanaan adalah sebuah tindakan dalam penggunaan fasilitas sumberdaya perusahaan dan pemilihan metode terbaik untuk mencapai target.

  • Pengorganisasian (Organizing)

Pengorganisasian merujuk pada penataan sumber daya manusia hingga proses evaluasi sumber daya manusia tersebut.

  • Pengkomandoan (Command)

Pegkomandoan merujuk pada penentuan tugas seorang manajer terhadap bawahannya dalam rangka mencapai tujuan perusahaan.

  • Pengkoordinasian (Coordination)

Pengkoordinasian merujuk usaha harmonisasi kegiatan menuju kebersatuan

  • Pengawasan (Control )

Menyangkut pembandingan antara tujuan dan kegiatan yag dilaksanakan untuk memastikan bahwa setiap bagian dalam organisasi bekerja sesuai dengan rencana.

 

  • Principles of management

Fayol mengemukan empat prinsip manajemen (Miller, 2009) yaitu: Prinsip tentang struktur organisasi, Prinsip atas organisasi kekuasaan, Prinsip tentang ganjaran organisasi, dan prinsip sikap organisasi.. Keempat prinsip tersebut menjelaskan bagaimana manajemen dapat digunakan sebaik-baiknya.

  • Prinsip tentang struktur organisasi (principles of organization structure)
    • Scalar chain

Organisasi harus ditata dalam hierarki vertikal yang ketat, dimana komunikasi secara vertikal dilakukan secara terbatas.

  • Penyatuan komando (unity of command)

Seorang pegawai harus menerima perintah hanya dari satu atasan/supervisor.

  • Penyatuan perintah (unity of direction)

Semua kegiatan dalam organisasi memiliki tujuan yang sama yang dilaksanakan dibawah arahan satu atasan.

  • Divisi tenaga kerja (division of labor)

Pekerjaan dapat terlaksana dengan lebih baik bila pegawai melakukan tugas khusus yang terbatas

  • Order

Setiap pegawai harus ditetapkan dalam tempat tertentu dan tugas tertentu dalam organisasi

  • Rentang pengawasan (span of control)

Seorang manajer akan lebih efektif bila mengontrol pegawai dalam jumlah yang terbatas. Secara umum Fayol menyarankan jumlah pegawai ideal bagi manajer tingkat pertama sebanyak dua puluh hingga tiga puluh, dan enam pegawai untuk manajer tingkat lebih tinggi.

  • Prinsip dari organisasi kekuasaan (prinicples of organization power)
    • Sentralisasi (centralization)

Organisasi akan lebih efektif bila manajemen pusat dapat mengawasi atas keputusan yang ditelah ambil dan kegiatan pegawainya.

  • Kewenangan dan tanggungjawab (authority and responsibility)

Seorang manajer sebaiknya mampu memegang kendali atas dasar jabatannya di organisasi maupun berdasarkan karakteristik personal atau kepribadiannya.

  • Disiplin (discipline)

Semua anggota organisasi harus patuh terhadap peraturan organisasi dan kepada manajer yang menjalankan peraturan.

  • Prinsip tentang ganjaran organisasi (principles of organization reward)
    • Renumerasi pegawai (remuneration of personnel)

Pegawai harus memperoleh ganjaran yang tepat atas pekerjaan yang telah dilakukannya.

  • Keadilan (equity)

Pemberian upah/gaji pada pegawai harus didasarkan pada rasa keadilan.

  • Stabilitas masa jabatan (tenure stability)

Organisasi harus menjamin kecukupan waktu kepada pegawai untuk mencapai performa terbaiknya.

  • Prinsip tentang sikap organisasi (principles of organization attitude)
    • Subordination of individual intererst to general interest

Organisasi akan efektif bila mampu mengakomodir minat semua pegawai. Namun tetap pegawai harus mengutamakan tujuan organisasi

  • Inisiatif (Initiative)

Manajer harus menghargai setiap usaha bawahanny dalam usaha membangun organisasi.

  • Esprit de corps

Merujuk pada semboyan The Three Musketeers´yaitu “all for one and one for all” (semua untuk satu dan satu untuk semua).

Organisasi menurut pandangan klasik

Sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20, organisasi dibangun layaknya sebuah ‘kerajaan’. Perusahaan dipandang sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan, mereka mengembangkan perdagangan, menyediakan tenaga kerja secara massive, sehingga berkontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi negara. Pada pertengahan abad ke-18, Benjamin Franklin (1706-1790) mempopulerkan pemikirannya tentang pengorganisasian negara (empire) dalam Poor Richard’s Almanac, yang pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan kerja keras, independensi (pengakumulasian dari kekayaan individu, perusahaan, dan level nasional), dan kebaikan dari perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan. Berikut beberapa contoh aksioma dari Poor Richard’s Almanac:

  • Industry need not wish – there are no gains without pains
  • God gives all things to industry
  • God helps them that help themselves
  • Sloth makes all things difficult, but industry all easy
  • Early to bed, early to rise, makes a man healty, wealthy, and wise

(Eisenberg & Goodall, 2010)

Walaupun demikian, Franklin bukan orang pertama yang megemukakan pendapat tentang hal tersebut, ditemukan pula pemikiran sejenis di Jepang dan Cina. Namun pemikiran Franklin tersebut berpengaruh dasar budaya kerja Amerika. Pada periode waktu yang sama, Raja dari Prussia, Frederick the Great (1712-1786) telah mengorganisasikan tentaranya berdasarkan ranking, seragam, peraturan, spesialisasi tugas, standarisasi peralatan, bahasa perintah, hingga instruksi latihan. Ia dianggap sukses dalam menerapkan model pengorganisasian berdasarkan pembagian individu dan penggunaan efisiensi mekanistik. Sementara itu, terdapat nama lain yang juga mengembangkan pemikiran serupa yaitu Adam Smith (1723-1790). Ia dikenal sebagai seorang pemikir dibidang ekonomi dan politik, dengan salah satu karyanya Wealth of Nations (1776) yang membahas tentang pembagian tenaga kerja dalam perusahaan. Selain itu terdapat pula pemikir lain seperti Karl Marx (1818-1883) yang mengemukakan pemikirannya tentang esensi pengorganisasian perusahaan dan masyarakat ‘melampaui’ kelas-kelas.

Sebelum terjadinya revolusi industri sekitar abad 19, setiap pekerjaan dilakukan oleh perorangan atau kelompok kecil di rumah-rumah. Namun setelah terjadinya revolusi industri, dengan diciptakannya mesin-mesin yang mampu menciptakan barang secara masal, munculah pabrik-pabrik dengan skala besar. Pabrik-pabrik tersebut mampu menghasilkan barang kebutuhan lebih banyak dan lebih cepat dalam waktu yang lebih singkat. Munculnya banyak pabrik berimplikasi terhadap kebutuhan tenaga kerja yang sangat banyak. Dengan terkonsentrasinya banyak tenaga kerja dalam sebuah perusahaan (pabrik), diperlukan pemikiran yang lebih ‘modern’ mengenai cara pengorganisasi orang-orang untuk tercapainya tujuan perusahaan, maka lahirlah para pemikir yang berbicara tentang pengorganisasian. Beberapa nama diantaranya adalah Henry Fayol dengan theory of classical management, Max webber dengan theory of bureaucracy,dan Frederick Taylor dengan theory of scientific management

Penelitian tentang self disclosure

Teori-teori yang dipakai untuk konteks kejadian self disclosure biasanya diperuntukkan pada refleksi proses kesadaran. Self disclosure dihubungkan untuk variabel individu yang berbeda seperti neuroticisme, ekstroversion, dan gender. Pada 1979, Valerian Derlega dan Janusz Grzelak mengajukan model fungsi disclosure yang mengasumsikan bahwa self disclosure menjadikan seseorang mencapai tujuan-tujuan sosial seperti ekspresi diri, klarifikasi diri, pengembangan relasi, validasi sosial, dan kontrol sosial.

Pada 2000, Julia Omarzu memberikan penjelasan yang lebih elaboratif bahwa setiap individu menggunakan akses untuk membuat keputusan ketika mereka pertama kali memasuki situasi dengan tujuan disclosure, setelah menentukan target yang tepat, tersedia dan apakah memunculkan disclosure untuk menjadi strategi terbaik untuk mencapai tujuannya. Sejak 1980-an, Sandra Petronio mengembangkan teori manajemen komunikasi privasi yang memperluas penelitian self disclosure dengan menanamkan proses berpasangan dengan pengurusan informasi diri.

Self Disclosure

Self Disclosure merupakan ekspresi seseorang yang menggambarkan perasaan atau penilaian alami tentang dirinya kepada orang lain. Informasinya meliputi isi yang tidak dikenal luas dan selektif, menghargai keluasan informasi dari beberapa topik yang mendalam, seperti informasi pribadi. Self disclosure didefinisikan sebagai “mengkomunikasikan (mengungkapkan) informasi tentang diri sendiri kepada orang lain” (DeVito, 1992: 114). Dengan kata lain, self disclosure adalah informasi tentang diri sendiri, tengang pikiran, perasaan, dan perilaku.

Secara tradisional, self disclosure dibatasi untuk isi pesan seseorang dalam konteks face to face. Dan baru-baru ini self disclosure diperluas ke dalam bentuk komunikasi tulisan yang memakai media internet antara manusia dan komputer. Sementara dalam ranah komunikasi organisasi, self disclosure menjadi penting ketika seorang individu yang akan selalu berinteraksi dengan orang lain dalam sebuah organiasi. Dari sudut pandang etik, kemampan bekerjasama adalah lebih penting daripada kemampuan individu. Kerjasama akan berhasil bila terjadi interaksi yang efektif diantara anggotanya, dan self disclosure merupka sebuah titik penting dalam keberhasilan interaksi antarindividu tersebut.

Self disclosure memiliki psikologi klinis dan telah lama diminati para peneliti komunikasi untuk melakukan penelitian sebagai bentuk perluasannya. Meskipun tidak ada self disclosure theory, namun ada macam-macam teori yang dipakai untuk memahami makna self disclosure, pola-pola, dan dampak-dampaknya seperti interpersonal communication theories, relational development, relational maintenance theories, social exchange theory, social penetration theory.

Resume presentasi New Form of Journalism: digital, mobile, visual Oleh Mindy McAdam

Dalam presentasinya McAdam memaparkan sebuah bentuk jurnalisme baru yang dipicu oleh munculnya media baru internet. Jurnalisme yang tidak harus membutuhkah seorang jurnalis untuk memberitakan suatu peristiwa. Jurnalisme yang tidak memiliki agenda atas peristiwa yang hendak ia beritakan. Jurnalisme yang tidak memerlukan pengiklan agar beritanya tersebar. Demikinpun, bentuk jurnalisme baru ini lebih jujur, lebih detail, bahkan mampu memberitakan peristiwa yang tidak mampu diwarta-kan oleh seorang jurnalis kawakan sekalipun.

Bentuk jurnalisme baru tersebut adalah jurnalisme yang dibangun oleh masyarakat, atau public journalis, atau beberapa diantaranya menyebut citizen journalist. Dari sebutannya dapat ditebak bahwa jurnalisme baru ini melibatkan seluruh masyarakat sebagai menjadi seorng jurnalis. Hanya dengan membutuhkan akses internet serta sedikit keterampilan menggunakan komputer (digital skill), semua orang hampir dapat menjadi seorang jurnalis. Semua orang, bahkan seorang pelaku persitiwa dapat memberitakan peristiwa yang dialaminya hanya dengan menggunggah video atau hanya sebuah teks.

Dalam menggambarkan bentuk jurnalisme baru tersebut, McAdam mendeskripsikannya dalam tiga contoh konkret. Peristiwa pertama terkait dengan kejadian badai salju dimusim dingin yang terjadi beberapa waktu lalu di New York. Ketika itu, hampir seluruh jalanan tertimbun salju hingga tak satupun mobil pribadi dan umum dapat melawatinya. Ketika kondisi itu masih terjadi, sebuah radio memberitakan hasil wawancara dengan walikota setempat yang menyatakan bahwa salju telah disingkirkan dari jalanan. Namun apa yang terjadi?, sebagian besar jalanan masih dipenuhi salju, dan hanya sebagian kecil yang telah terbebas dari tumpukan salju. Dengan menggunakan fasilitas internet serta SMS, stasiun radio tersebut ‘menampung’ berita yang dikirimkan langsung oleh masyarakat yang memberitakan kondisi nyata jalanan disekitar rumah mereka. Demikianpun masyarakat telah menjadi seorang jurnalis yang memberitakan kondisi nyata yang terjadi, hingga menghasilkan berita yang lebih presisi atas kondisi yang tengah terjadi. Akhir cerita, setelah dapat tergambarkan peta jalanan yang masih tertimbun salju yang dapat diakses semua orang dalam google map, mendorong pemerintah setempat untuk membersihkan salju hingga ‘benar-benar’ bersih dari jalanan.

Contoh lain yang diberikan oleh McAdams adalah situs www.propublica.org, yang salah satunya menyediakan informasi mengenai fasilitas, pelayanan, hingga metode pengobatan rumah sakit dalam menangani suatu penyakit. Dalam kasus ini, informasi tersebut berguna bagi pasien atau calon pasien untuk memilih rumah sakit yang dinilai terbaik dalam menangani pengobatan penyakitnya. Semua informasi tersebut di bangun oleh masyarakat itu sendiri dengan memberikan penilaian pada indikator-indikator tertentu yang telah disediakan.

Contoh terakhir yang digambarkan oleh McAdams adalah sebuah situs www.tijianoproject.org, yang menampilkan hasil liputan jurnalis ‘amatir’ dari berbagai pelosok negeri untuk memberitakan berbagai kejadian yang disaksikan atau dialaminya. Tijiano Project juga melakukan pelatihan jurnalistik terhadap masyarakat umum agar dapat memberitakan berita yang luput dari liputan jurnalis profesional. Diantaranya, terdapat seorang pemuda Irak yang memberitakan kehidupan ‘sesungguhnya’ masyarakat Irak pasca Invasi Amerika, ketika jurnasil profesional tidak mampu memberitakannya.