Humor = Komunikasi?


(Tulisan ini merupakan bahan bacaan untuk diskusi Liski (Lingkar Studi Komunikasi) bulan April 2015 di Prodi Ilmu Komunikasi FKB Tel-U)

 

Hampir dua pekan lalu, Tessy (Kabul Basuki) seorang komedian terkenal, ditangkap polisi karena kedapatan mengonsumsi sabu-sabu, dan kemudian dikabarkan berupaya bunuh diri. Sementara itu, beberapa bulan lalu, tepatnya  tanggal 11 Agustus 2014, seorang komedian Amerika bernama Robin William didapati mati bunuh diri karena depresi. Nampak seperti sebuah ironi, orang-orang yang terlibat dalam kegembiraan, dan tertawa, berada dalam kondisi yang ‘sebaliknya’. Bahkan ada sebuah quotes dari Jean Reno, seorang aktor prancis: “most comedians are the saddest people”, yang kemudian menjadi cukup terkenal sebagai sebuah ‘anggapan umum’. Majalah Times bahkan memberi judul artikelnya dengan “Why the funniest people are sometimes the saddest”, yang memberitakan kematian Robin Williams. Benarkah kegembiraan, dan tertawa ada sebagai ‘tumbal’ dari kesedihan dan kemalangan?.

Manusia ‘menganut’ beragam cara pandang dalam memandang tertawa. Dalam ajaran Islam, seorang muslim dilarangan tertawa berlebih, karena dianggap mematikan hati, merendahkan martabat, mengikuti langkah setan, dan melupakan akhirat. Dalam ajaran Kristen, tertawa dianggap sebagai ekspresi permusuhan[1]. Gelak tawa dianggap sebagai sesuatu yang ‘rendah’, ketika seseorang tertawa maka ia akan celaka, karena ia akan berduka cita dan menangis. Kedua ajaran agama tersebut memandang gelak tawa sebagai sesuatu yang (cenderung) ‘tidak baik’, dekat dengan kemuraman, kelam, dan gelap. Berbeda dengan ajaran Buddha, yang mengenal ‘konsep’ “Buddha tertawa”, dimana kegembiraan, tawa, dan pencerahannya mengangkat segala derita, sakit dan ketidaktahuan duniawi. Tertawa nampak lebih ‘ceria’, riang, dan bermanfaat. Dalam mitologi Yunani, orang-orang bahkan menyembah dewa Gelo, yang karenanyalah orang-orang dapat tertawa.

Manusia tertawa karna berbagai hal, digelitik, menang “judi bola”, menyaksikan teman diguyur saat ultah, melihat meme (mimicry) Syahrini, mendengar cerita lucu, mengingat ‘kebodohan diri’, atau mungkin karena ‘gila’. Attardo, memandang tertawa adalah sebuah manifestasi kondisi psikologis yang kompleks, ketika mental seseorang mengidentifikasi humor[2].

‘Mendefinisikan’ humor

Di abad pertengahan, humor atau humorous tidak memiliki arti seperti saat ini. Kala itu, humorous adalah sebuah istilah dalam fisiologi, yang berarti cairan dalam tubuh. Cairan tubuh yang berwujud empedu kuning, empedu hitam, dan darah. Ketiga cairan tubuh (humorous) tersebut menjadi penyeimbang emosi manusia. Ketika ketiga cairan tubuh tersebut tidak seimbang, maka emosi manusia tidak stabil[3]. Dua buah buku Ben Jonshon di tahun 1598 yang berjudul “Every Man in His Humor”, dan “Every Man Out of His Humor”, bertutur tentang orang-orang eccentric (sinting; nyentrik; aneh). Dimana orang-orang itu hidup dalam ‘ketidak seimbangan’, dan membuat orang-orang normal mentertawakannya. Dari idea atas situasi tersebutlah, yang menjadikan makna humor seperti yang dimaknai orang-orang masa kini, situasi ketika orang-orang mentertawakan peristiwa absurd, konyol, dan dilebih-lebihkan yang dilakukan “orang eccentric”.

Menelusur humor di era “filsafat kuno”, ditemukan beberapa pendapat tentang ‘Humor’. Plato berpendapat bahwa ‘humor’ adalah “a mixed feeling of the soul”. Sementara itu, Aristoteles  mengatkan bahwa ‘komedi adalah “an imitation of men worse than the average; which is a species of the ugly[4]. ‘Humor’ dimaknai sebagai sebuah keburukan, karena mengandung “kecacatan” atau “keburukan” yang ditertawakan. Bahkah Aristotle menambahkan bahwa satiris atau penulis komedi sebagai “a kind of evil speakers”. Berikut adalah beberapa ‘definisi’ lainnya sebagai bahan renungan: G.W.F Hegel memandang humor sebagai sebuah ekspresi dari self-satisfied shrewdness; Immanuel Kant berpendapat bahwa, “laughter is an affectation arising from sudden transformation of a strained expectation into nothing[5]; Owen Lynch merumuskan humor sebagai “an intended or unintended message that is considered funny or evokes laughter[6].

 

Teori humor

Dari sekitar abad ke-18, terdapat tiga teori ‘utama’ yang mencoba menjelaskan humor, yaitu superiority theory, incongruity theory, dan relief tension theory.

  1. Superiority Theory

Menurut teori ini, humor diasumsikan sebagai tindakan superioritas. Humor diasosiasikan dengan tindakan “menertawakan orang lain”, dan menempatkan diri sebagai pihak yang lebih tinggi (superior). Pandangan tentang humor yang sejalan dengan pandangan teori ini, bisa didapati dari pandangan Plato yang menulis ‘humor’ sebagai bentuk mockery atau disdain. Atau pandangan Thomas Hobbes, yang tercermin dari pendapatnya bahwa:“the passion of laughter is nothing else but sudden glory arising from sudden conception if some eminency in ourselves by comparison with infirmity of other, or with our own formerly”. Didalamnya mengandung proses penempatan diri dalam kelompok, untuk menjadikan dirinya bukan orang ‘lemah’ yang konyol, atau yang pantas ditertawakan, namun orang yang menertawakan. Juga proses memperbandingkan, antara diri sendiri dan orang lain, yang diangap lebih ‘rendah’. Dari hal tersebut, teori ini memandang humor sebagai sebuah sarana agresi yang ‘lembut’, ketika humor dapat membalut ketidaksopanan menjadi sesuatu yang dapat ‘diterima’.

  1. Relief Tension Theory

Teori ini memandang lelucon sebagai sarana untuk mengurangi ketegangan atau stress. Humor berfungsi relief, seperti yang digunakan ketika melakukan negosiasi atau mediasi, yang berupaya untuk mengurangi ketegangan. Bagi dunia kesehatan, humor dapat digunakan untuk mengurangi stres fisik dan emosi. Dengan tertawa, terjadi pergerakan organ tubuh yang kompleks hingga dapat membersihkan pernafasan, dan meningkatkan sirkulasi oksigen, bahkan dianggap dapat membantu melawan infeksi.

Herbert Spencer berpendapat bahwa tertawa dapat meningkatkan energi melalui pengendalian rasa “tidak menyenangkan”. Sementara itu, Sigmund Freud kemudian melibatkan teori tersebut dalam penelitiannya Jokes and Their Relation to the Unconcious. Freud berpendapat bahwa lelucon serupa dengan mimpi, karena memungkinkan “ide terlarang” untuk muncul kepermukaan. Freud menjelaskan bahwa, relief humor memiliki dua sifat. Sifat pertama yaitu menyembuhkan, dengan membiarkan ketegangan dan energi untuk dilepaskan. Kedua, humor merupakan bentuk penyamaran dari perlawanan, dan bentuk resistensi terhadap sebuah persetujuan. Lelucon kemudian menjadi sebuah representasi pembangkangan terhadap penguasa, dan pembebasan dari sebuah tekanan.

  1. Incongruity Theory

Sementara itu, menurut teori incongruity, tertawa hadir dari sebuah kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak konsisten dengan logika yang digunakan dalam mempersespsi sebuah peristiwa. Sementara Plessner (dalam Lynch, 2005: 31) berpendapat bahwa humor hadir dalam situasi ketika mengintrepretasikan suatu realita yang tidak lazim. Sesuatu dapat dianggap lucu bila tidak logis, atau irasional, paradoxical, tidak koheren, keliru, atau tidak semestinya. Misalnya, ketika kita menginterpretasi ketidak laziman seorang pria setengah baya yang mengenakan daster sambil bermain bola. Humor dianggap sesuatu yang melibatkan kegiatan intelektualitas seseorang. Humor didasarkan pada aspek kognisi seseorang, karena melibatkan persepsi individual terhadap peristiwa, orang, atau simbol.

 

Buku Rujukan:

Attardo, Salvatore. (1994). Linguistic Theories of Humor. Walter de Gruyter GmbH & Co

Littlejohn, S., & Foss, K.A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory. Sage

Lynch, O.H. (2005). Humor At Work: Using humor to study organization as a social process. Texas A & M University.

Morreal, John. (2009). Comic Relief: A comprehensive philosophy of humor. Wiley-Blackwell

Raskin, Victor. (2008). The Primer of Humor Reseach. Walter de Gruyter GmbH & Co


2 responses to “Humor = Komunikasi?”

    • Humor adalah aktivitas komunikasi. Ilustrasi sederhana: yaitu ketika ada ada seseorang memaknai sebuah pesan (yang diciptakan oleh dirinya sendiri atau orang lain) yang dianggap “lucu” atau patut ditertawakan.

Leave a Reply