Kritik “Lip Service”


(Artikel ini telah dipublikasikan di kolom Opini koran Pikiran Rakyat tanggal 14 Juli 2021)

Tanggal 26 Juni lalu akun Instagram @bemui_official mengunggah sebuah konten kritik yang membuat gaduh media sosial dan media massa di Indonesia. Kegaduhan itu diamplifikasi melalui respon para pendukung Presiden Jokowi (hingga beberapa tokoh menggelar forum debat terbuka), dan diskusi di media massa. Saking gaduhnya sampai-sampai Presiden Jokowi membuat video khusus yang berisi tanggapan atas kegaduhan yang terjadi.

Konten yang diunggah oleh akun Instagram @bemui_official yang diberi judul  “Jokowi: The King of Lip Service”, sesungguhnya konten kritik biasa saja. Tampilan visualnya menggunakan gaya populer, dengan mengartikulasikan konten-konten digital yang umum. Isinyapun kritik yang sering disampaikan oleh banyak tokoh dan lawan politik Presiden Jokowi. Mulai dari soal tindak represi peserta demo, soal revisi UU ITE, pelemahan KPK, hingga UU Cipta Kerja. Namun, yang dianggap tidak biasa adalah kritik tersebut disampaikan oleh “akun resmi” Badan Eksekutif Mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di Indonesia. Yang dibuat dalam bentuk poster digital yang tidak formal, populer, dan terlihat tidak serius. Hingga muncul narasi bahwa konten-konten itu melecehkan dan merendahkan Presiden Jokowi.

Kritik di Negara Demokrasi

Indonesia sejatinya adalah negera demokrasi yang masih relatif muda, yang baru berdemokrasi 23 tahun. Yang masih belajar berdemokrasi dengan tertatatih-tatih ditengah gempuran budaya global, hoaks, dan radikalisme. Walaupun demikian, Indonesia pernah dianggap sebagai negara demokrasi yang lebih baik ketimbang negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya. Namun beberapa peneliti asing yang mempelajari demokrasi Indonesia, pada beberapa artikel ilmiahnya menyebut bahwa memang saat ini Indonesia sedang mengalami penurunan demokrasi (Aspinall et al., 2020; Power, 2018). Menurut David Bourchier, penurunan kualitas demokrasi itu dipicu oleh politik agama dan polarisasi yang terjadi sejak pemilihan gubernur Jakarta 2017 dan Pemilu Presiden 2019 yang ‘panas’. 

Sebagai sebuah negara demokrasi, Negara wajib melindungi hak berpikir dan mengekspresikan pikiran para warganya. Dalam konteks demokrasi di Indonesia, terdapat batasan-batasan yang diatur oleh Undang-undang dan norma umum yang disepakati masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, respon Presiden Jokowi terhadap kritik di akun @bemui_official, melalui video tanggapannya, cukup melegakan. Dengan menyampaikan bahwa hal tersebut hanyalah bentuk ekspresi mahasiswa, dan tidak perlu dihalang-halangi. Tanggapan Presiden Jokowi ini dapat dianggap sebagai angin segar demokrasi Indonesia saat ini. Dimana, dimuka umum, Presiden melindungi kebebasan berekspresi warganya. Walaupun secara implisit Presiden Jokowi sepertinya hendak menyampaikan bahwa kritik itu tidak sesuai dengan tata krama dan budaya sopan santun. Namun kenapa kritik ‘biasa’ itu bisa dianggap melanggar tata krama dan budaya sopan santun?

Kritik Populer Jaman Now

Mungkin belum lupa dari ingatan kita, saat terjadi demonstrasi pengesahan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), RUU Cipta Kerja, dan RKUHP beberap waktu lalu, banyak demonstran membawa poster tuntutan yang berisi kalimat-kalima lucu? Ada yang menulis “gapapa make-up ku luntur, asal bukan keadilan yang luntur”, “Biarlah cintaku yang kandas, asalkan jangan keadilan yang kau tindas” atau “daripada RKUHP yang disahkan, mending hubungan kita aja”, dan masih masih banyak lagi kalimat lucu yang ditulis dalam poster tuntutan para mahasiswa.

Kalimat-kalimat lucu itu adalah bahasa populer remaja jaman now yang sering dipakai saat berinteraksi di media sosial dan internet. Bahasa populer yang digunakan juga tidak terbatas pada teks verbal, namun juga penggunaan elemen visual populer lainnya yang lazim disertakan dalam sebuah meme atau poster digital. Bahasa populer itu merupakan produk budaya digital, yang diciptakan oleh remaja yang terkoneksi internet, melalui tindak imitasi dan replikasi. Jenis bahasa itu merefleksikan cara berfikir remaja jaman now yang bebas dan terbuka. Simbol, kalimat, dan bahasa itu tidak lahir begitu saja, ia tercipta atas dasar kesepakatan anggota komunitasnya. Melalui proses yang panjang namun cepat, merambat melalui jaringan internet dan media sosial.

Simbol, kalimat, dan bahasa yang nampak ‘tidak serius’ itu sejatinya tetap memiliki potensi ide dan gagasan yang serius para pembuat dan penyebarnya. Pembuat dan penyebar konten-konten itu harus memiliki pengetahuan tertentu untuk dapat memahaminya. Sebagai contoh, saat seorang menulis “KKTBSYS”, ia harus punya pengetahuan tentang Orde Baru, dan Presiden Soeharto. Tulisan “KKTBSYS” yang merupakan singkatan dari “kenapa kamu tanya begitu siapa yang suruh?”, tak akan cukup dimengerti jika tidak memiliki pengetahuan lain yang menyertainya. Orang yang menginterpretasi setidaknya harus tahu bagaimana kalimat itu menjadi kalimat yang sangat menakutkan saat diucapkan oleh Presiden Soeharto saat beliau berkuasa. Sehingga kalimat-kalimat sepele, tidak serius, dan lelucon itu memiliki makna yang mendalam dan merefleksikan pengetahuan, walau disampaikan dalam genre yang informal yang tidak sopan. 

Protes Digital yang Kreatif

Protes digital yang diunggah akun Instagram @bemui_official menggunakan konten populer itu mungkin dianggap tidak sopan dan melanggar tata krama bagi sebagian kelompok orang. Bentuk-bentuk protes semacam itu mungkin akan makin banyak dipakai masyarakat digital kontemporer, dan terus berevolusi. Evolusi yang terjadi hingga tercapai keseimbangan, dimana kelompok-kelompok bisa saling memahami, atau terbiasa dengan bentuk protes itu. Namun, hal yang paling penting dilakukan adalah menjaga kebebasan berfikir dan berekspresi masyarakat dalam beragam bentuk. Karena digitalisasi dan internet memfasilitasi penggunanya menciptakan hal-hal baru yang kadang tak terduga, dan muncul dari akar rumput. Kreativitas konten dan bahasa digital masih terus berevolusi, memfasilitasi beragam ide, gagasan, dan kreativitas remaja jaman now. Represi terhadap ide, gagasan, dan kreativitas tak akan terbendung lagi. Karena ia akan terus menyelusup dalam jaringan internet, dan dapat diam-diam menyebar.

Referensi

Aspinall, E., Fossati, D., Muhtadi, B., & Warburton, E. (2020). Elites, masses, and democratic decline in Indonesia. Democratization, 27(4), 505–526. https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1680971

Bourchier, D. M. (2019). Two Decades of Ideological Contestation in Indonesia : From Democratic Cosmopolitanism to Religious Nationalism Two Decades of Ideological Contestation in Indonesia : From Democratic Cosmopolitanism to Religious Nationalism. Journal of Contemporary Asia, 49(5), 1–21. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1590620

Power, T. P. (2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338. https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918


Leave a Reply