Menyoal Meme Joker


(Artikel ini telah dipublikasikan pada Koran Pikiran Rakyat pada tanggal 14 November 2019)

Meme Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang dimodifikasi sehingga menyerupai tokoh Joker, yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, berawal dari sebuah foto. Foto seorang wanita yang berdiri disamping poster film Joker, sambil memegang kertas bertuliskan “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Foto dan kata-kata itu populer, hingga viral di internet sejak awal Oktober 2019. Mulanya foto itu tidak berkonotasi negatif, mengejek, ataupun menghina. Foto itu justru dapat dimaknai sebagai bentuk apresiasi terhadap film dan tokoh Joker, yang kemudian direplikasi dan dimodifikasi menjadi meme yang beragam. Hingga salah satunnya menjadi meme Gubernur Jakarte Anies Baswedan yang menyerupai Joker.

Apa itu Meme?

Seorang peneliti bernama Limor Shifman menjelaskan bahwa meme adalah konten digital yang umum dan populer, yang dibuat dan disebarkan oleh banyak orang melalui tindak imitasi dan replikasi. Meme biasanya disirkulasikan, dan disebarkan oleh banyak orang, hingga membuat beberapa meme menjadi viral. Viralitas sebuah meme seringkali membuat kita tidak tahu, siapa yang pertamakali membuatnya, atau siapa yang membuat meme yang kita sebarkan. Namun yang dapat kita pelajari dari sebuah meme yang viral adalah sikap dan pandangan yang dimiliki masyarakat, atau sekelompok orang tentang isu yang diperbincangkan.

Sehingga, memepelajari meme dapat digunakan untuk mempelajari tentang sikap-sikap dan pandangan masyarakat tentang isu yang berkembang. Hal tersebut membuat meme menjadi bentuk pesan yang bermanfaat di negara demokratis maupun negera non-demokratis. Karena meme bukanlah produk individu. Meme adalah produk kolektif masyarakat. Sebuah meme tidak akan tercipta tanpa ada pengetahuan kolektif masyarakat. Misalnya meme Joker tidak akan dibuat, disebarakan, hingga viral jika masyarakat tidak mengetahui tokoh Joker, film Joker, dan cerita Joker dalam film. Sehingga memahami sebuah meme, adalah memahami isu dan sikap tentang isu yang diperbincangkan masyarakat.

Apakah meme berbahaya?

Menurut studi yang dilakukan oleh Wafa Abu Hatab, menunjukan bahwa meme berperan penting dalam revolusi di Tunisa, dan berkaitan erat kebangkitan dunia arab (Arab Spring). Namun bagaimana bisa sebuah meme berperan dalam dinamika politik sebuah bangsa? Padahal, lazimnya meme disampaikan dalam konteks lelucon dan humor. Hingga pesan-pesan yang disampaikan hanyalah isu-isu yang tidak serius dan sepele?

Studi yang dilakukan oleh Heidi Huntington dari Colorado State Univeristy, menjelaskang tentang efek yang ditumbulkan oleh meme. Meme yang diterima dan dimaknai oleh orang yang sejalan dengan sikap politiknya, akan memperkuat keyakinan dan menghibur. Namun meme yang diterima dan dimaknai oleh orang yang memiliki sikap politik berlawanan akan menimbulkan kebencian. Walaupun meme tersebut disampaikan dalam bentuk lelucon dan humor sekalipun. Meme tidak memiliki sikap persuasif yang kuat, namun mampu menjadi stimuli dalam memperkuat dan memperteguh sikap politik tertetntu.

Dalam perannya sebagai alat untuk menstimuli sikap politik (dan kebencian), kita dapat mempelajarinya dari hasil studi yang dilakukan oleh Ranira Rampazzo Gambarato dan Fabiana Komesi dari Jonkoping University Swedia. Mereka mempelajari tentang bagaimana meme berperan dalam dinamika politik di Brazil, yang berujung pada pemberhentian presiden Dilma Rousseff. Di Brazil, meme berjalan beriringan dengan media masa konvensional saling melengkapi dan memperkuat isu yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai contoh adalah peristiwa debat sengit antara politisi Arteria Dahlan dengan tokoh nasional Emil Salim di sebuah TV nasional. Peristiwa tersebut banyak diperbincangkan di media massa dan menjadi meme yang berisi imitasi dan modifikasi perbincangan kedua tokoh tersebut. Dan kini, Tokoh Anies Baswedan yang diimitasi dan dimodifikasi menjadi seperti tokoh Joker, lalu disebarkan melalui media sosial. (Bahkan kini, isunya disebarkan lagi di media massa).

Meme Anies Baswedan yang menyerupai tokoh Fiksi Joker berpotensi memperkuat kebencian terhadap tokoh politik. Dalam konteks ini meme mulanya hanya berfungsi sebagai respon terhadap sebuah isu, namun kemudian menjadi pematik isu lain. Sehingga isu yang melibatkan tokoh Anies Baswedan semakin membesar dengan sendirinya. Meme dan media masa konvensional, berjalan beriringan dan bekerjasama membesarkan skala perbincangan isu tersebut di masyarakat.

Meme Joker yang menimpa Anis Baswedan

Untuk dapat memahami meme Joker yang menimpa Anis Baswedan, kita dapat memperhatikan tiga unsur yang terkandung didalamnya. Pertama adalah penggunaan unsur gambar atau bentuk yang dilibatkan didalamnya. Dimana didalamnya terdapat unsur tokoh fiksi Joker (dengan “make up” badut khas Joker), foto Anied Baswedan, dan kata-kata. Kedua, konten atau pesan yang terkandung didalamnya. Ketiga, potensi sikap yang terkandung didalamnya. Dengan memperhatikan ketiga unsur tersebut baru kita dapat memahami dan memaknai makna dan maksud meme tersebut, apakah meme tersebut mengandung unsur penghinaan, pelecehan, atau hanya lelucon ringan.

Meme Joker yang menimpa Anies Baswedan termasuk meme yang berpotensi menghina dan mengejek, dengan asumsi bahwa Joker diasosiasikan sebagai ‘penjahat’. Walaupun tidak dapat serta-merta menganggap orang yang membuat dan menyebarkan menuduh Anis Baswedan sebagai penjahat. Karena jika direlasikan dengan tokoh Joker dalam film, konteks Joker dalam filmnya, bukan seorang penjahat yang dibenci. Atau penjahat yang memiliki derajat kejahatan mutlak. Namun kejahatan atau sikap dan perilaku jahat yang dimiliki Joker merupakan kejahatan yang ‘manusiawi’, akibat tekanan sosial. Namun membaca Meme Joker-Anies tidak dapat selalu direlasikan dengan karekter tokoh Joker dalam film. Kita perlu mempertimbangkan konteks Joker dalam budaya populer masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun, dalam konteks budaya populer di Indonesia, tokoh Joker cenderung dipertentangkan dengan tokoh Batman yang pahlawan.

Meme tersebut mengandung pesan dalam bentuk humor politik. Dimana humor politik dianggap sebagai tradisi tebesar amerika (menurut William Fry). Tradisi yang memungkinkan masyarakat mengkritik dan bahkan mencemooh politisi dan presiden. Jika Indonesia hendak mengadopsi tradisi demokrasi yang serupa dengan Amerika, maka masyarakat harus belajar, dan membiasakan diri dengan meme politik sekasar apapun. Karena kebebasan berpendapat harus dijunjung. Apapun isinya maupun bentuknya, baik itu sanjungan maupun hinaan.

Namun jika kita hendak membangun “demokrasi” ala Indonesia, maka orang-orang harus belajar membuat meme yang ‘sopan’, dan santun. Yang sesuai dengan budaya Indonesia. Karena meme adalah produk globalisasi, yang tidak hanya menyebarkan cara berpendapat, namun juga menyebarkan ideologi dan etika menyampaikan pendapat yang perlu kita sesuaikan. Karena meme telah menjadi bahasa baru di era digital yang niscaya kita hindari.


Leave a Reply