Pesimisme MEA Dalam Kartun


(Tulisan ini telah dipresentasikan pada Conference on Communication and New Media Studies 2015 di kampus Universitas Multimedia Nusantara – Tanggerang, dan dipublikasikan dalam prosiding dengan ISBN: 978-602-95532-9-1).

 

ABSTRAK

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi Indonesia. Banyak yang menganggap MEA sebagai jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. Pemerintahpun mewacanakan kebaikan MEA melalui berbagai media, agar rakyat Indonesia bersiap menghadapinya. Pun demikian, berbagai kalangan masyarakat mulai menggeliat bersiap ‘menghadapi’ MEA. Namun tampaknya sebagian rakyat Indonesia nampak pesimis menghadapi MEA. Salah satunya terepresentasikan dalam kartun pada koran Pikiran Rakyat.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis representasi MEA dalam kartun di koran Pikiran Rakyat yang terbit pada tanggal 5 Maret 2015. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode analisis semiotika sosial Theo Van Leeuwen. Metode analsis semiotika sosial Theo Van Leeuwen menelaah tanda dalam kartun tentang MEA melalui empat dimensi analisisnya, yaitu: discourse, genre, style, modality.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, adanya potensi makna tanda pesimisme dalam kartun tentang MEA dalam koran pikiran rakyat. Pesimisme, sebagai sebuah pandangan filosofis yang di utarakan oleh Schopenhauer, yang salah satunya pemikirannya memandang alam semesta ini ada adalah untuk menyengsarakan manusia. Dimana keberadaan MEA sebagai sebuah fenomena yang dihadapi manusia ada untuk menyengsarakan. MEA sebagai sebuah realitas yang akan dihadapi masyarakat hanyalah sebagian dari keburukan, penderitaan, dan kemalangan yang dihadapi oleh manusia.

 

Pendahuluan

Berkembangnya wacana dominan “globalisasi”, membawa manusia untuk terlibat dalam tatanan kehidupan yang terintegrasi. Salah satunya adalah tatanan ekonomi yang integral seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Hatta Rajasa (dalam Darwis, 2014: v), dalam kapasitasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, memandang MEA 2015 sebagai sebuah keniscayaan dalam pembangunan peradaban manusia masa kini. Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah menjadi keharusan, kemudian gencar ‘di promosikan’, dan ‘terpromosikan’.

Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi sebuah pengetahuan yang dikonstruksi secara sosial, dan disepakati oleh masyarakat, sebagai jalan menuju kebaikan. Ia terepresentasikan dalam banyak artefak komunikasi, dan terlibat dalam berbagai peristiwa komunikasi. Banyak tulisan dalam bentuk artikel, jurnal, hingga buku yang menulis tentang kebaikan MEA. Pidato para tokoh bangsa pun tak kalah seringnya berbicara tentang kebaikan MEA. Demikianpun bentuk pesan lainnya, seperti kartun yang mampu merepresentasikan MEA dalam berbagai versinya.

Ketika sebuah kartun merepresentasikan sesuatu, ia memiliki potensi makna yang tidak tunggal. Setiap orang yang mempersepsi setiap tandanya, dapat memaknainya dengan lebih ‘kaya’, karena ia memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan, bahkan menyembunyikan pesan. Demikianpun sebuah kartun yang ditampilkan pada surat kabar Pikiran Rakyat edisi 5 Maret 2015, yang menampilkan sebuah sumber semiotika tentang MEA. Pada kartun tersebut ditampilkan sumber-sumber semiotika yang memperbincangkan tentang MEA. Dimana di dalamnya terkandung potensi pengetahuan yang terkonstruksi secara sosoal oleh masyarakat.

Oleh karena itu, maka dilakukan sebuah analisis semiotika sosial, pada kartun tentang MEA pada surat kabar Pikiran Rakyat edisi 5 Maret 2015. Analisis tersebut bertujuan untuk memahami potensi makna dari sumber semiotika yang terepresentasikan pada kartun, tentang MEA.

Semiotika Sosial Theo Van Leeuwen

Semiotika sosial mulanya dikembangkan oleh M.A.K Halliday (Leeuwen, 2005: 3). Berdasarkan cara pandanggnya terhadap tanda, semiotika sosial dianggap selaras dengan pemikiran kaum post-strukturalis. Halliday memandang grammar dalam bahasa bukan merupakan sebuah kode, yang tidak semata-mata membangun kalimat yang benar, tetapi merupakan sebuah peristiwa yang menghasilkan makna. Sebagai konsep fundamental, tanda atau sumber semiotik bukan sesuatu yang tetap.

Menggunakan istilah “sumber semiotik”, yang merujuk pada “tanda”, Theo Van Leeuwen turut mengembangkan metode analisis semiotika sosial. Selain dipengaruhi oleh pemikiran Halliday, pemikiran Leewen banyak dipengaruhi oleh Barthes, Fairclough, hingga Faucault. Menurutnya, sumber semiotik merupakan sebuah tindakan atau artefak yang tercipta dalam berbagai peristiwa komunikasi. Tindakan atau artefak yang tercipta secara physiological, dengan otot (menghasilkan ekspresi wajah, atau gesture), atau teknologi (pensil, kertas, atau komputer). Sumber semiotik tidak terbatas pada perkataan, tulisan atau gambar, namun hampir semua hal yang memiliki makna secara sosial dan kultural.

Dalam semiotik sosial terdapat dua isu utama yang menjadi fokus eksplorasi, yaitu: sumber material dari komunikasi, dan penggunaannya dalam lingkungan sosial. Untuk itu, terdapat tiga kegiatan yang harus dilakukan. Pertama, mengumpulkan dokumen dan mengumpulkan secara sistematis daftar sumber semiotik, termasuk sejarahnya. Kedua, menginvestigasi bagaimana sumber semiotik tersebut digunakan dalam peristiwa sejarah yang spesifik, budaya, konteks institusional, dan bagaimana orang berbicara tentangnya dalam konteks tersebut. Ketiga, melakukan penemuan dan pengembangan sumber semiotik baru dan penggunaannya.  Untuk melakukan analisis tersebut, Leeuwen (2004: 91) mengengemukakan empat dimensi analisis semiotika sosial, yaitu: discourse, genre, style, dan modality.

Leeuwen mendefinisikan discourse (wacana) sebagai “as socially constructed knowledge of some aspect of reality” (Leeuwen: 2005: 94). Wacana adalah sumber untuk merepresentasikan sesuatu. Wacana dapat dianggap sebagai pengetahuan tentang realitas. Dimana baru dapat dipahami ketika aspek realitas tersebut disajikan. Namun kita tidak dapat menentukan makna atas realitas tersebut. Sementara itu kita tidak dapat merepresentasikan apapun tanpanya, yang dapat dilakukan adalah membangun framework untuk membuat ‘rasa’ tentang sesuatu tersebut.

Genre merujuk pada jenis teks yang digunakan dalam struktur peristiwa komunikasi. Dimensi ini membantu peneliti untuk mengekplorasi bagaimana sumber-sumber semiotik digunakan dalam peristiwa komunikasi yang dilakukan. Dimensi ini, membantu peneliti untuk memahami bagaimana sumber semiotik digunakan dalam ‘jenis komunikasi’ tertentu, dalam mencapai tujuannya.

Style merujuk pada tata cara dokumen semiotik’ diciptakan, atau peristiwa semiotik terjadi, dimana hal tersebut dapat berlawanan dengan wacana yang ada. Diantaranya adalah individual style dan social style. Style itu sendiri berasal dari bahasa yunani ‘stilus’, yang berarti ‘pena’. Diasumsikan bahwa setiap orang memiliki tulisan tangan yang berbeda-beda. Indivudual style mengekspresikan perasaan, sikap, personaliti seseorang.

Modality atau modalitas merujuk pada sumber semiotik untuk mengekspresikan seberapa benar atau seberapa nyata sebuah representasi dilakukan melalui fakta dan imajinasi yang ditampilkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modalitas dapat diartikan sebagai “makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, dan sebagainya yang dinyatakan dalam kalimat”. Modalitas merupakan pendekatan semiotik sosial untuk mempertanyakan kebenaran. Modalitas merepresentasikan atau memperbandingkan antara fakta dengan fiksi, realita dengan fantasi, nyata dengan buatan, otentik dengan palsu.

Pesimisme

Pesimisme merupakan sebuah pandangan filosofis dari seorang Arthur Schopenhauer. Schopenhauer hidup antara tahun 1788-1860. Pemikrannya banyak dipengaruhi oleh Immanuel Kant, dan G.W.F. Hegel. Namun banyak yang memandang pula bahwa pemikirannya mirip seperti ajaran Budhha dan Hindu. Pemikirannya tertuang dalam beberapa buku, salah satunya berjudul The World as Will and Idea, yang dianggap sebagai karya utamanya (Rusell, 2007: 982).

Salah satu pemikirannya tentang manusia adalah, bahwa bahagia itu tidak mungkin. Karena bahagia itu adalah ilusi, dan orang-orang yang mengejar kebahagiaan akan berakhir frustrasi. Schopenhauer berbicara pula tentang kehendak yang membuat orang menderita. Sehingga selama hasrat terus tumbuh, maka penderitaan takkan terhindarkan. Mempunyai keinginan adalah menyakitkan. Walaupun kehendak berasal dari ‘kebutuhan’, namun semua pengalaman berkebutuhan adalah menyakitkan.

Schopenhauer menadang bahwa memuaskan segala kehendak adalah tidak mungkin. Bahkan ia mengatakan “all lif is suffering”. Namun yang menarik adalah bahwa, bukan memuasakn hasrat yang tidak mungkin, namun memuasakan itu akan membuat kita mencapati “empty longing”, yang mana itulah penderitaan.

Selain itu Schopnehauer memandang bahwa kehendak itu tak punya tujuan. Demikianpun dengan keinginan yang juga tak punya tujuan (aimless). Ia berpendapat: “In fact, the absence of all aim, of all limits, belongs to the essential nature of the will-in-itself, which is an endless striving” (Samuel, 2008: 6). Namun ia pun berpendapat bahwa kita dapat memiliki keinginan, dimana itu adalah kehendak untuk berkehendak.

Pandangan-pandang itu dianggap sebagi bagian dari pesimisme menurut Schopenhauer. Dimana akan digunakan sebagai titik tolak dalam pemahaman sumber-sumber semiotic dalam kartun tentang MEA pada surat kabar Pikiran Rakyat edisi 5 Maret 2015.

 

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan strategi analisis semiotika sosial Theo Van Leeuwen. Metode penelitian semiotik sosial yang dikemukakan oleh Theo Van Leeuwen, yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan berlandaskan pada paradigma pemikiran post-strukturalis (Daniel Chandler, 2007: 217). Penelitian ini akan menganalisis sumber-sumber semiotika yang merepresentasikan tentang MEA 2015, pada sebuah kartun pada surat kabar Pikiran Rakyat pada edisi 5 Maret 2015 (Gambar 3.1).

 

 1

Gambar 3. 1

Unit Analisis: “Menjelang MEA 2015: Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”

 

Mendasarkan pada pendapat Umberto Eco (Denzin & Lincoln, 2009: 618), bahwa dalam semiotik, sebuah tanda dapat diuji validitas atau kebenarannya hanya dengan tanda lain. Dimana dalam pengujiannya tersebut, tidak ada batasan definitif atau akhir. Oleh karena itu, maka peneliti akan berusaha memahami sumber semiotik dengan berdasarkan sumber semiotik lainnya dengan dukungan berbagai refernsi (multiple reference) yang dianggap kredibel.

Hasil

Penelitian ini menganalisis enam sumber semiotik, yaitu: “Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”, “Pemerintah Indonesia Segera Mengambil TIndakan”, “Menjaga Lapangan Pekerjaan Di Negeri Sendiri”, “Menciptakan Lapangan Pekerjaan”, Raut Wajah Menderita, dan Kelas Pekerja Yang Berhasrat.

“Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”

Pada sumber semiotik ini, ditampilkan sebuah ‘judul’: “Menjelang MEA 2015: Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia” (Gambar 4.1).

2

Gambar 4. 1

“Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”

 

‘Judul’ ditampilkan dalam dua  bentuk huruf dan ukuran, dimana ukuran huruf “Menjelang MEA 2015” ditulis lebih kecil dibandingkan “Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”. Perbedaan jenis dan ukuran memiliki potensi makna perbedaan prioritas informasi yang hendak disampaikan. Tulisan “pekerja 3 Negara Serbu Indonesia” lebih ditonjolkan ketimbang tulisan “Menjelang MEA 2015”.

Penonjolan informasi tentang pekerja dari tiga negara menyerbu Indonesia, diteguhkan oleh tulisan berupa “data” tentang negara-negara yang pekerjanya menyerbu Indonesia, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Peneguhan tersebut ditampilkan dalam tingkat modalitas yang cenderung tinggi melalui presentasi angka-angka. Dimana penunjukan angka dalam sebuah penyampaian argumentasi cenderung ‘terpercaya’, mengandung nilai objektivitas, dan bersifat universal.

Dalam sumber semiotika “Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”, melibatkan wacana tentang kondisi kedatangan (“Serbu”) para pekerja dari negara Malaysia, Thailand, dan Filipina yang dianggap “banyak”. Wacana tersebut ditempatkan dalam konteks perjalanan waktu dari tahun 2012 hingga tahun 2014, dan menuju 2015 atau ketika dimulainya arus bebas tenaga kerja terampil. Wacana tersebut mulai menarik ketika dilibatkan dalam perbincangan tentang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, yang diperbandingkan dengan kualitas SDM dari negara lain. Dimana kualitas SDM Indonesia dianggap lebih rendah bila dibandingkan dengan kualitas SDM “negara lain”.

“Pemerintah Indonesia Segera Mengambil Tindakan”

Pada sumber semiotik ini ditampilkan sebuah tulisan “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan” (Gambar 4.2). Tulisan tersebut dipresentasikan sebagai sebuah callout dari tokoh (Mang Ohle) kartun tersebut.

3

Gambar 4. 2

“Pemerintah Indonesia Segera Mengambil Tindakan”

 

Penempatan tulisan “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan” sebagai sebuah callout dari seorang tokoh memiliki potensi bahwa wacana tersebut merupakan idea dari ‘seseorang’ yang terlibat dalam kondisi “Menjelang MEA 2015”.

Dalam sumber semiotik “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan”, melibatkan wacana tentang harapan rakyat agar Pemerintah Indonesia dapat mengambil tindakan terkait potensi tersisihkannya para pekerja dalam negeri. Wacana tersebut merepresentasikan ketidak-kuasaan pekerja Indonesia dalam menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan pekerja Indonesia. Wacana tersebut merepresentasikan kelemahan pekerja Indonesia yang lemah, dan berharap “dikuasai” Pemerintah Indonesia melalui “mengambil tindakan”.

 

“Menjaga Lapangan Pekerjaan Di Negeri Sendiri”

Pada sumber semiotik ini ditampilkan tulisan “ Menjaga lapangan pekerjaan di negeri sendiri” (Gambar 4.3).

4

Gambar 4. 3

“Menjaga Lapangan Pekerjaan”

 

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan”, sebagai sebuah callout tokoh kartun tersebut, dimana tokoh kartun tersebut berharap Pemerintah Indonesia menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan untuk pekerja Indonesia di Indonesia.

Dalam sumber semiotika “Menjaga Lapangan Pekerjaan Di Negeri Sendiri”, melibatkan wacana tentang ‘kepemilikan’ negara oleh warga negaranya, khususnya ‘kepemilikan’ lapangan pekerjaan suatu negara oleh para pekerja di negara tersebut. Ide tentang kepemilikan ‘materi’ (pekerjaan dalam sebuah negara), tetap dipandang penting walaupun berada dalam upaya pembebasan dari kepemilikan ‘materi’ itu sendiri. Sehingga potensi makna yang terpresentasikan adalah upaya ‘negosiasi’ terhadap kondisi yang akan dihadapi, melalui upaya merajuk pada “yang punya potensi kuasa”.

 

“Menciptakan Lapangan Pekerjaan”

Pada sumber semiotik ini ditampilkan sebuah tulisan “Menciptakan lapangan pekerjaan” (Gambar 4.4).

5

Gambar 4. 4

“Menciptakan lapangan Pekerjaan”

 

Tulisan tersebut dipresentasikan sebagai sebuah callout dari tokoh (Mang Ohle) kartun tersebut, dan kelanjutan dari tulisan “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan”, dan “Pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan”.

Dalam sumber semiotik “Menciptakan Lapangan Pekerjaan”, melibatkan wacana penciptaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah. Dalam konteks kartun tersebut, penciptaan lapangan pekerjaan memiliki potensi makna bahwa, pekerja yang tidak memiliki kuasa atas dirinya untuk menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri, berharap pada “yang punya kuasa” untuk memenuhi kebutuhannya. Dimana lapangan pekerjaan tersebut merupakan upaya memenuhi ‘kebutuhan’ (yang melahirkan hasrat) untuk hidup.

 

Kelas Pekerja Yang Berkehendak

Pada sumber semiotik ini (Gambar 4.6) ditampilkan beberapa kerumunan orang, yang berpotensi dimaknai sebagai para pekerja dari berbagai ‘kelompok’. Dalam konteks kartun tersebut, kelompok-kelompok tersebut memiliki potensi makna para pekerja dari berbagai negara.

 7

Gambar 4.6

Kelas Pekerja Yang Berkehendak

 

Dalam sumber semiotik “Kelas Pekerja Yang Berkehendak” tersebut merepresentasikan kelompok kelas pekerja yang memiliki kebutuhan, hasrat, dan kehendak. Mereka menjadi pekerja dalam berbagai profesi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana kebutuhan tersebut menimbulkan keinginan, dan kehendak untuk memiliki “kehendak”. Hal itu dipresentasikan melalui gesture mengangkat tangan. Dimana tindakan mengangkat tangan dalam konteks kartun tersebut, memiliki potensi makna “memiliki kehendak” (setidaknya untuk bertindak) untuk memiliki semangat bekerja.

 

Raut Wajah Menderita

Sumber semiotika yang ditampilkan Gambar 4.5, menampilkan gambar dua tokoh yaitu Mang Ohle dan Bi Ohle. Keduanya tokoh tersebut ditampilkan dalam mimik muka murung, dengan gambar ujung bibir menekuk kebawah, atau berbentuk “U” terbalik. Keduanya seakan tengah berpandangan penuh kehampaan (yang sedih), di tengah kondisi yang menyengsarakan, menderita, dan pesimis. Yaitu sebuah kondisi “Menjelang MEA 2015”.

6

Gambar 4. 5

Raut Wajah Menderita

 

Tokoh Mang Ohle dan Bi Ohle yang ditampilkan dalam kartun tersebut, jauh dari kesan lucu yang lazim ditampilkan toko kartun di surat kabar, seperti tokoh Doyok di Pos Kota, Panji Koming di surat kabar Kompas,  atau I Brewok di surat kabar Bali Post. Mang Ohle, sebagai maskot dari surat kabar Pikiran Rakyat, lebih sering tampil sebagai “bapak-bapak” yang sabar, bijak, namun tetap kritis. Mang Ohle sejak semula memang lebih sering tampil pesimis dan pasrah (Ajidarma, 2012 : 130). Mang Ohle nampak sebagai individu yang berkeinginan, namun menderita karena tak terpenuhi.

 

Diskusi

Menurut Karl Mark & Frederick Engels (2013: 11), yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah bahwa, manusia memiliki kesadaran, agama, dan banyak hal lainnya yang manusia sukai. Manusia menciptakan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Mulanya manusia memproduksi alat-alat untuk hidup (subsistance), sebagai hasil dari interaksinya dengan alam. Namun kemudian, ketika proses produksi pemenuhan kebutuhan tersebut meningkat, bersama dengan meningkatnya populasi, proses produksi tidak hanya berurusan dengan proses produksi. Namun juga berurusan dengan hubungan antar individu, kelompok, dan bangsa.

Ketika hubungan antar bangsa terjalin, sebagai konsekuensi pemenuhan kebutuhan manusia, dimana suatu bangsa tak mampu memenuhi suatu kebutuhannya sendiri, terjadi pembagian “peran kerja-produksi” suatu bangsa. Pemisahan bangsa berdasarkan “peran kerja-produksi” tersebut menempatkan suatu bangsa dalam kategori tertentu. Ada bangsa yang nampak seperti kota, yang penuh dengan kecanggihan, teknologi, dan industri. Adapula bangsa yang nampak seperti desa, yang tenang, tradisional, dan bertani. Pembagian “peran kerja-produksi” tersebut tidak hanya memacu setiap bangsa untuk memperebutkan penguasaan dan kepemilikan modal mereka, namun sekaligus mengikat bangsa-bangsa dalam hubungan “berkebutuhan”. Individu-individu dari setiap bangsa ‘menyerbu’ bangsa lain, seperti yang direpresentasikan dalam sumber semiotik “Pekerja 3 Negara Serbu Indonesia”.Kondisi tersebut meniadakan kebebasan, dan menenggelamkannya dalam hubungan “membutuhkan-dibutuhkan”.

Sekitar tahun 1776, Adam Smith mengemukakan pemikirannya tentang hakikat dan sebab kekayaan suatu bangsa, bahwa kekayaan suatu bangsa akan tumbuh melalui pembagian kerja dan pasar yang bebas (Dahler, 2011: 197). Pemikiran tersebut banyak diamini oleh banyak orang pada zamannya, bahkan hingga kini (sebagian pemikirannya). Kondisi kebebasan dalam pemenuhan kebutuhan, dan keinginan melalui pertukaran, perdagangan, dan ekonomi.

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 merupakan sebuah kehendak, yang dipandang sebagai sebuah keniscayaan dalam pembangunan peradaban (Darwis, 2014 :v). Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan keniscayaan, yang diciptakan dari kehendak untuk meng-ada-kan keniscayaan itu sendiri. Dimana kehendak itu sendiri tercipta sebagai konsekuensi keberadaan individu-individu tak-bebas dalam suatu bangsa ‘yang berkehendak’, yang terepresentasikan dalam sumber semiotik “Kelas Pekerja Yang Berkehendak”.

Demikianpun ada semangat “kebebasan” (terbatas) dalam MEA, namun nampak jauh dari kebebasan itu sendiri. Kebebasan MEA sepintas nampak diilhami semangat anarkisme, yaitu sebuah kondisi tidak adanya pemimpin, dan tidak adanya pemerintahan (Seehan, 2007: 23). Pandangan itu nampaknya tak sejalan dengan pandangan Mang Ohle (sumber semiotika “Pemerintah Indonesia Segera Mengambil Tindakan”), yang masih berharap adanya pemimpin dan pemerintahan. Melalui kondisi MEA yang membiarkan arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus modal yang lebih bebas, dan arus bebas tenaga kerja terampil. Namun, kebebasan itu adalah sebuah upaya pemenuhan kehendak.

Dalam pandangan pesimimisme, menurut Schopenhauer (dalam Russell, 2007: 984):

“kehendak kosmik itu jahat; kehendak, bersama-sama, adalah jahat, atau dalam hal apa pun merupakan sumber segala penderitaan kita yang tanpa akhir”.

Memiliki kehendak merupakan sebuah penderitaan yang dialami manusia. Dimana kehendak bisa timbul dari sebuah keinginan, atau kebutuhan. Sehingga semua pengalaman “membutuhkan” akan menyakitkan. Terlebih, ketika ada kehendak untuk memuasakan segala kehendak, adalah tidak mungkin. Karena upaya memuaskan segala kehendak akan membuat diri kita mencapai empty longing, atau penderitaan, atau boredom. Kondisi itu terpresentasikan pada sumber semiotik “Raut Wajah Menderita”.  Karena pada dasarnya kehendak itu tidak punya tujuan (aimless).

 

Simpulan

Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat dipandang sebagai sebuah keniscayaan pembangunan peradaban, dalam upayanya memenuhi kebutuhan dan kehendak manusia. Namun demikian, upaya pemenuhan kebutuhan dan kehendak hanyalah berujung pada penderitaan yang menyakitkan. Karena pada dasarnya upaya pemenuhan kebutuhan dan kehendak manusia tidak punya tujuan. Dan itu semua terpresentasikan dalam sebuah kartun, yang melibatkan peristiwa pemaknaan dan kesepakatan atas makna sumber semiotik yang terpresentasikan.

 

Daftar Pustaka

Chandler, Daniel. (2007). Semiotics: The basic. New York: Routledge

 

Darwis, Yuliandre. (2014). Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Prospek Pengusaha Muda Indonesia Berjaya di Pasar ASEAN. Jakarta: Prenadamedia Group

 

Dähler, Franz. (2011). Teori Evolusi: Asal dan tujuan manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

 

Denzin, N.K., & Lincoln, Y.S. (2009). Hanbook of Qualitative Reseach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Leeuwen, Theo Van. (2004). Introducing Social Semiotic. New York: Routledge

 

Marx, Karl., & Engels, Frederick. (2013). Ideologi Jerman: Jilid I Feurbach. Terj. oleh Nasikhul Mutamanna. Yogyakarta: Pustaka Nusantara

 

Russel, Bertrand. (2007). Sejarah Filsafat Barat: dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Samuel, Adrian. (2008). An Introduction to Schopenhauer’s Metaphysics. Richmond Journal of Philosophy

 

Schopenhauer, A. (1969). The World as Will & Representation. Trans. E.F.J. Payne.

New York: Dover

 

Seehan, Seán. M. (2007). Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri


Leave a Reply