Whataboutism

Polisi: kenapa saudara ga pake helm?
John Antihelm: itu banyak orang lain yang ngelanggar, kenapa ga ditangkepin pak?! koruptor dulu tuh tangkepin!

Mungkin anda pernah mendengar, atau bahkan terlibat dalam perdebatan konyol seperti percakapan di atas? Dictionary.com menyebutnya dengan “whataboutism”. Sebuah taktik percakapan dengan menanggapi sebuah argumen dengan merubah subjek untuk fokus pada isu atau kesalahan orang lain. Sehingga membuat pernyataan, argumen, atau isu yang semula diperbincangkan tampak tidak valid.

Apa kira-kira yang harus Pak Polisi katakan untuk menanggapi argumentasi John Antihelm?

Apa yang anda ketahui tentang “whataboutism” ini?

Kritik “Lip Service”

(Artikel ini telah dipublikasikan di kolom Opini koran Pikiran Rakyat tanggal 14 Juli 2021)

Tanggal 26 Juni lalu akun Instagram @bemui_official mengunggah sebuah konten kritik yang membuat gaduh media sosial dan media massa di Indonesia. Kegaduhan itu diamplifikasi melalui respon para pendukung Presiden Jokowi (hingga beberapa tokoh menggelar forum debat terbuka), dan diskusi di media massa. Saking gaduhnya sampai-sampai Presiden Jokowi membuat video khusus yang berisi tanggapan atas kegaduhan yang terjadi.

Konten yang diunggah oleh akun Instagram @bemui_official yang diberi judul  “Jokowi: The King of Lip Service”, sesungguhnya konten kritik biasa saja. Tampilan visualnya menggunakan gaya populer, dengan mengartikulasikan konten-konten digital yang umum. Isinyapun kritik yang sering disampaikan oleh banyak tokoh dan lawan politik Presiden Jokowi. Mulai dari soal tindak represi peserta demo, soal revisi UU ITE, pelemahan KPK, hingga UU Cipta Kerja. Namun, yang dianggap tidak biasa adalah kritik tersebut disampaikan oleh “akun resmi” Badan Eksekutif Mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di Indonesia. Yang dibuat dalam bentuk poster digital yang tidak formal, populer, dan terlihat tidak serius. Hingga muncul narasi bahwa konten-konten itu melecehkan dan merendahkan Presiden Jokowi.

Kritik di Negara Demokrasi

Indonesia sejatinya adalah negera demokrasi yang masih relatif muda, yang baru berdemokrasi 23 tahun. Yang masih belajar berdemokrasi dengan tertatatih-tatih ditengah gempuran budaya global, hoaks, dan radikalisme. Walaupun demikian, Indonesia pernah dianggap sebagai negara demokrasi yang lebih baik ketimbang negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya. Namun beberapa peneliti asing yang mempelajari demokrasi Indonesia, pada beberapa artikel ilmiahnya menyebut bahwa memang saat ini Indonesia sedang mengalami penurunan demokrasi (Aspinall et al., 2020; Power, 2018). Menurut David Bourchier, penurunan kualitas demokrasi itu dipicu oleh politik agama dan polarisasi yang terjadi sejak pemilihan gubernur Jakarta 2017 dan Pemilu Presiden 2019 yang ‘panas’. 

Sebagai sebuah negara demokrasi, Negara wajib melindungi hak berpikir dan mengekspresikan pikiran para warganya. Dalam konteks demokrasi di Indonesia, terdapat batasan-batasan yang diatur oleh Undang-undang dan norma umum yang disepakati masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, respon Presiden Jokowi terhadap kritik di akun @bemui_official, melalui video tanggapannya, cukup melegakan. Dengan menyampaikan bahwa hal tersebut hanyalah bentuk ekspresi mahasiswa, dan tidak perlu dihalang-halangi. Tanggapan Presiden Jokowi ini dapat dianggap sebagai angin segar demokrasi Indonesia saat ini. Dimana, dimuka umum, Presiden melindungi kebebasan berekspresi warganya. Walaupun secara implisit Presiden Jokowi sepertinya hendak menyampaikan bahwa kritik itu tidak sesuai dengan tata krama dan budaya sopan santun. Namun kenapa kritik ‘biasa’ itu bisa dianggap melanggar tata krama dan budaya sopan santun?

Kritik Populer Jaman Now

Mungkin belum lupa dari ingatan kita, saat terjadi demonstrasi pengesahan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), RUU Cipta Kerja, dan RKUHP beberap waktu lalu, banyak demonstran membawa poster tuntutan yang berisi kalimat-kalima lucu? Ada yang menulis “gapapa make-up ku luntur, asal bukan keadilan yang luntur”, “Biarlah cintaku yang kandas, asalkan jangan keadilan yang kau tindas” atau “daripada RKUHP yang disahkan, mending hubungan kita aja”, dan masih masih banyak lagi kalimat lucu yang ditulis dalam poster tuntutan para mahasiswa.

Kalimat-kalimat lucu itu adalah bahasa populer remaja jaman now yang sering dipakai saat berinteraksi di media sosial dan internet. Bahasa populer yang digunakan juga tidak terbatas pada teks verbal, namun juga penggunaan elemen visual populer lainnya yang lazim disertakan dalam sebuah meme atau poster digital. Bahasa populer itu merupakan produk budaya digital, yang diciptakan oleh remaja yang terkoneksi internet, melalui tindak imitasi dan replikasi. Jenis bahasa itu merefleksikan cara berfikir remaja jaman now yang bebas dan terbuka. Simbol, kalimat, dan bahasa itu tidak lahir begitu saja, ia tercipta atas dasar kesepakatan anggota komunitasnya. Melalui proses yang panjang namun cepat, merambat melalui jaringan internet dan media sosial.

Simbol, kalimat, dan bahasa yang nampak ‘tidak serius’ itu sejatinya tetap memiliki potensi ide dan gagasan yang serius para pembuat dan penyebarnya. Pembuat dan penyebar konten-konten itu harus memiliki pengetahuan tertentu untuk dapat memahaminya. Sebagai contoh, saat seorang menulis “KKTBSYS”, ia harus punya pengetahuan tentang Orde Baru, dan Presiden Soeharto. Tulisan “KKTBSYS” yang merupakan singkatan dari “kenapa kamu tanya begitu siapa yang suruh?”, tak akan cukup dimengerti jika tidak memiliki pengetahuan lain yang menyertainya. Orang yang menginterpretasi setidaknya harus tahu bagaimana kalimat itu menjadi kalimat yang sangat menakutkan saat diucapkan oleh Presiden Soeharto saat beliau berkuasa. Sehingga kalimat-kalimat sepele, tidak serius, dan lelucon itu memiliki makna yang mendalam dan merefleksikan pengetahuan, walau disampaikan dalam genre yang informal yang tidak sopan. 

Protes Digital yang Kreatif

Protes digital yang diunggah akun Instagram @bemui_official menggunakan konten populer itu mungkin dianggap tidak sopan dan melanggar tata krama bagi sebagian kelompok orang. Bentuk-bentuk protes semacam itu mungkin akan makin banyak dipakai masyarakat digital kontemporer, dan terus berevolusi. Evolusi yang terjadi hingga tercapai keseimbangan, dimana kelompok-kelompok bisa saling memahami, atau terbiasa dengan bentuk protes itu. Namun, hal yang paling penting dilakukan adalah menjaga kebebasan berfikir dan berekspresi masyarakat dalam beragam bentuk. Karena digitalisasi dan internet memfasilitasi penggunanya menciptakan hal-hal baru yang kadang tak terduga, dan muncul dari akar rumput. Kreativitas konten dan bahasa digital masih terus berevolusi, memfasilitasi beragam ide, gagasan, dan kreativitas remaja jaman now. Represi terhadap ide, gagasan, dan kreativitas tak akan terbendung lagi. Karena ia akan terus menyelusup dalam jaringan internet, dan dapat diam-diam menyebar.

Referensi

Aspinall, E., Fossati, D., Muhtadi, B., & Warburton, E. (2020). Elites, masses, and democratic decline in Indonesia. Democratization, 27(4), 505–526. https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1680971

Bourchier, D. M. (2019). Two Decades of Ideological Contestation in Indonesia : From Democratic Cosmopolitanism to Religious Nationalism Two Decades of Ideological Contestation in Indonesia : From Democratic Cosmopolitanism to Religious Nationalism. Journal of Contemporary Asia, 49(5), 1–21. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1590620

Power, T. P. (2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338. https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918

Kontekstualisasi Vs Ketertarikan Dalam Penelitian

Setiap tahun ribuan mahasiswa/i tingkat akhir, membuat penelitian untuk syarat kelulusannya. Penelitian-penelitian itu harusnya mampu membuat ilmu pengetahuan di Indonesia maju pesat. Namun, pada praktiknya ilmu pengetahuan di Indonesia gitu-gitu aja, melangkah sangat pelan. Hanya sedikit dari penelitian-penelitian itu yang dapat berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Dugaan sementara saya, hal itu terjadi (salah satunya) akibat lemahnya kontekstualisasi penelitian. Peneliti tak mampu menjawab pertanyaan, “untuk apa anda meneliti ini?”. Jawaban yang sering saya baca di skripsi mahasiswa adalah karena peneliti “tertarik”.

Ketertarikan peneliti untuk mempelajari suatu bidang atau minat kajian memang perlu. Namun “ketertarikan” harus digunakan secara proporsional, dan ditempatkan dalam konteks tertentu. Caranya antara lain:

  1. Jika tertarik, maka pelajari bidang atau minat kajian itu dengan sungguh-sungguh. Baca semua teori dan hasil penelitian terbaru di bidang atau minat kajian itu hingga habis. Sampai tahu batas akhir penelitian terbaru di bidang kajian itu. Hingga tahu bahwa belum ada yang meneliti “ini dan itu”.
  2. Jika sudah tahu bagian “ini dan itu”, maka jadikan gap penelitian, hingga peneliti bisa memproyeksikan kontribusi hasil penelitiannya dalam bidang kajian yang diminatinya.
  3. Tak perlu mengumbar “ketertarikan” peneliti dalam latar belakang penelitian. Karena pembaca dan ilmu pengetahuan tak akan peduli dengan ketertarikan peneliti.

Semoga bermanfaat.

Menyoal Meme Joker

(Artikel ini telah dipublikasikan pada Koran Pikiran Rakyat pada tanggal 14 November 2019)

Meme Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang dimodifikasi sehingga menyerupai tokoh Joker, yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, berawal dari sebuah foto. Foto seorang wanita yang berdiri disamping poster film Joker, sambil memegang kertas bertuliskan “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Foto dan kata-kata itu populer, hingga viral di internet sejak awal Oktober 2019. Mulanya foto itu tidak berkonotasi negatif, mengejek, ataupun menghina. Foto itu justru dapat dimaknai sebagai bentuk apresiasi terhadap film dan tokoh Joker, yang kemudian direplikasi dan dimodifikasi menjadi meme yang beragam. Hingga salah satunnya menjadi meme Gubernur Jakarte Anies Baswedan yang menyerupai Joker.

Apa itu Meme?

Seorang peneliti bernama Limor Shifman menjelaskan bahwa meme adalah konten digital yang umum dan populer, yang dibuat dan disebarkan oleh banyak orang melalui tindak imitasi dan replikasi. Meme biasanya disirkulasikan, dan disebarkan oleh banyak orang, hingga membuat beberapa meme menjadi viral. Viralitas sebuah meme seringkali membuat kita tidak tahu, siapa yang pertamakali membuatnya, atau siapa yang membuat meme yang kita sebarkan. Namun yang dapat kita pelajari dari sebuah meme yang viral adalah sikap dan pandangan yang dimiliki masyarakat, atau sekelompok orang tentang isu yang diperbincangkan.

Sehingga, memepelajari meme dapat digunakan untuk mempelajari tentang sikap-sikap dan pandangan masyarakat tentang isu yang berkembang. Hal tersebut membuat meme menjadi bentuk pesan yang bermanfaat di negara demokratis maupun negera non-demokratis. Karena meme bukanlah produk individu. Meme adalah produk kolektif masyarakat. Sebuah meme tidak akan tercipta tanpa ada pengetahuan kolektif masyarakat. Misalnya meme Joker tidak akan dibuat, disebarakan, hingga viral jika masyarakat tidak mengetahui tokoh Joker, film Joker, dan cerita Joker dalam film. Sehingga memahami sebuah meme, adalah memahami isu dan sikap tentang isu yang diperbincangkan masyarakat.

Apakah meme berbahaya?

Menurut studi yang dilakukan oleh Wafa Abu Hatab, menunjukan bahwa meme berperan penting dalam revolusi di Tunisa, dan berkaitan erat kebangkitan dunia arab (Arab Spring). Namun bagaimana bisa sebuah meme berperan dalam dinamika politik sebuah bangsa? Padahal, lazimnya meme disampaikan dalam konteks lelucon dan humor. Hingga pesan-pesan yang disampaikan hanyalah isu-isu yang tidak serius dan sepele?

Studi yang dilakukan oleh Heidi Huntington dari Colorado State Univeristy, menjelaskang tentang efek yang ditumbulkan oleh meme. Meme yang diterima dan dimaknai oleh orang yang sejalan dengan sikap politiknya, akan memperkuat keyakinan dan menghibur. Namun meme yang diterima dan dimaknai oleh orang yang memiliki sikap politik berlawanan akan menimbulkan kebencian. Walaupun meme tersebut disampaikan dalam bentuk lelucon dan humor sekalipun. Meme tidak memiliki sikap persuasif yang kuat, namun mampu menjadi stimuli dalam memperkuat dan memperteguh sikap politik tertetntu.

Dalam perannya sebagai alat untuk menstimuli sikap politik (dan kebencian), kita dapat mempelajarinya dari hasil studi yang dilakukan oleh Ranira Rampazzo Gambarato dan Fabiana Komesi dari Jonkoping University Swedia. Mereka mempelajari tentang bagaimana meme berperan dalam dinamika politik di Brazil, yang berujung pada pemberhentian presiden Dilma Rousseff. Di Brazil, meme berjalan beriringan dengan media masa konvensional saling melengkapi dan memperkuat isu yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai contoh adalah peristiwa debat sengit antara politisi Arteria Dahlan dengan tokoh nasional Emil Salim di sebuah TV nasional. Peristiwa tersebut banyak diperbincangkan di media massa dan menjadi meme yang berisi imitasi dan modifikasi perbincangan kedua tokoh tersebut. Dan kini, Tokoh Anies Baswedan yang diimitasi dan dimodifikasi menjadi seperti tokoh Joker, lalu disebarkan melalui media sosial. (Bahkan kini, isunya disebarkan lagi di media massa).

Meme Anies Baswedan yang menyerupai tokoh Fiksi Joker berpotensi memperkuat kebencian terhadap tokoh politik. Dalam konteks ini meme mulanya hanya berfungsi sebagai respon terhadap sebuah isu, namun kemudian menjadi pematik isu lain. Sehingga isu yang melibatkan tokoh Anies Baswedan semakin membesar dengan sendirinya. Meme dan media masa konvensional, berjalan beriringan dan bekerjasama membesarkan skala perbincangan isu tersebut di masyarakat.

Meme Joker yang menimpa Anis Baswedan

Untuk dapat memahami meme Joker yang menimpa Anis Baswedan, kita dapat memperhatikan tiga unsur yang terkandung didalamnya. Pertama adalah penggunaan unsur gambar atau bentuk yang dilibatkan didalamnya. Dimana didalamnya terdapat unsur tokoh fiksi Joker (dengan “make up” badut khas Joker), foto Anied Baswedan, dan kata-kata. Kedua, konten atau pesan yang terkandung didalamnya. Ketiga, potensi sikap yang terkandung didalamnya. Dengan memperhatikan ketiga unsur tersebut baru kita dapat memahami dan memaknai makna dan maksud meme tersebut, apakah meme tersebut mengandung unsur penghinaan, pelecehan, atau hanya lelucon ringan.

Meme Joker yang menimpa Anies Baswedan termasuk meme yang berpotensi menghina dan mengejek, dengan asumsi bahwa Joker diasosiasikan sebagai ‘penjahat’. Walaupun tidak dapat serta-merta menganggap orang yang membuat dan menyebarkan menuduh Anis Baswedan sebagai penjahat. Karena jika direlasikan dengan tokoh Joker dalam film, konteks Joker dalam filmnya, bukan seorang penjahat yang dibenci. Atau penjahat yang memiliki derajat kejahatan mutlak. Namun kejahatan atau sikap dan perilaku jahat yang dimiliki Joker merupakan kejahatan yang ‘manusiawi’, akibat tekanan sosial. Namun membaca Meme Joker-Anies tidak dapat selalu direlasikan dengan karekter tokoh Joker dalam film. Kita perlu mempertimbangkan konteks Joker dalam budaya populer masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun, dalam konteks budaya populer di Indonesia, tokoh Joker cenderung dipertentangkan dengan tokoh Batman yang pahlawan.

Meme tersebut mengandung pesan dalam bentuk humor politik. Dimana humor politik dianggap sebagai tradisi tebesar amerika (menurut William Fry). Tradisi yang memungkinkan masyarakat mengkritik dan bahkan mencemooh politisi dan presiden. Jika Indonesia hendak mengadopsi tradisi demokrasi yang serupa dengan Amerika, maka masyarakat harus belajar, dan membiasakan diri dengan meme politik sekasar apapun. Karena kebebasan berpendapat harus dijunjung. Apapun isinya maupun bentuknya, baik itu sanjungan maupun hinaan.

Namun jika kita hendak membangun “demokrasi” ala Indonesia, maka orang-orang harus belajar membuat meme yang ‘sopan’, dan santun. Yang sesuai dengan budaya Indonesia. Karena meme adalah produk globalisasi, yang tidak hanya menyebarkan cara berpendapat, namun juga menyebarkan ideologi dan etika menyampaikan pendapat yang perlu kita sesuaikan. Karena meme telah menjadi bahasa baru di era digital yang niscaya kita hindari.

Beberapa pemikiran Auguste Comte

thoughtful ethnic businessman using laptop while working in office
Photo by Sora Shimazaki on Pexels.com
  1. Manusia memiliki tiga metode berfikir filosofis, yaitu: teologis (fictitious), metafisis (abstrak), dan saintifik (positive)
  2. Metode teologis yaitu ketika daya berfikir manusia baru mulai, ketiga “fixed and defititive state”, sementara yang kedua (metafisis) adalah diantaranya, atau masa antara atau transisi
  3. Berfikir teologis, berfikir tentang esensi of being, penyebab pertama dan berakhirnya kehidupan atau keadaan. Upaya mencari ‘pengetahuan’ absolut tentang penciptaan oleh sesuatu yang bersifat supernatural
  4. Metode berfikir metafisis, yaitu modifikasi dari metode berfikir teologis. Berfikir tentang sesuatu yang ‘supernatural’. Atau sesuatu yang bersifat ‘supernatura’, kekuatan abstrak, sesuatu yang dapat memproduksi fenomena.
  5. Metode berfikir positif, atau saintifik. Yaitu mencari “vain after absolute notions”. Mencari asal usul dan tujuan alam semesta, dan hokum-hukum tentang alam. Yang sekarang kita fahami sebagai fakta. Yang menjelaskan hubungan antara satu fenomena dan yang lainnya, dalam sebuah fakta yang dapat digeneralisasikan. Dimana dapat dilanjutkan untuk membangun sebuah ‘sains’.
  6. Filsafat positif memandang setiap fenomena secara tersendiri, dari sebuah fakta general

Stress

Stress merupakan salah satu kondisi psikis yang dapat diderita oleh setiap orang. Stress di tempat kerja merupakan salah satu masalah yang kerap dihadapi oleh pegawai. Penyebab stress disebabkan oleh berbagai hal, yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Kegiatan berat di tempat kerja mungkin akan terasa menantang untuk sebagian orang, namun sebagian lainya dapat membuatnya tertekan. Namun kadang kala bukan saja peristiwa ‘menantang’ yang membuat seseorang menjadi stress, namun kadang kepindahan ke tempat kerja baru, kehilangan teman, macet dijalan, kehilangan data pekerjaan, bahkan menikah sekalipun dapat menjadi pemicu stress.

Dalam pengertian umum, stress terjadi jika seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut lazim disebut dengan strasor. Sementara reaksi terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stress. Peristiwa yang dirasakan sebagai stress biasanya masuk ke dalam salah satu atau lebih kategori berikut:

  1. Peristiwa traumatik

Peristiwa traumatik adalah peristiwa (lazimnya situasi bahaya) yang terjadi diluar peristiwa yang lazim dihadapi. Misalnya bencana tsunami, kebakaran, tabrakan kendaraan, pemerkosaan, perang, atau peristiwa serupa lainnya. Walaupun reaksi setiap orang terhadap peristiwa traumatik tersebut dapat berbeda-beda, namun terdapat pola perilaku yang umum yaitu disaster syndrome.

  1. Orang yang selamat dari bencana akan bingung melompong dan nampak seperti tidak menyadari bahaya bahkan luka-lukanya. Mereka dapat berjalan kesana-kemari dalam keadaan disorientasi, dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan resiko cedera yang lain.
  2. Tahap selanjutnya, orang akan cenderung pasif dan tak akan mampu memulai tugas sederhana sekalipun, namun mereka akan segera mengikuti perintah.
  3. Tahap ketiga, orang akan cemas dan takut, mengalami kesulitan konsentrasi, dan berpotensi untuk mengulang-ulang cerita tentang bencana yang dialaminya. Korban tabrakan mungkin akan gelisah ketika berada dekat dengan mobil; korban pemerkosaan mungkin akan histeris saat didekati oleh seorang pria.
  4. Peristiwa yang tak terkendali

Sebuah kondisi saat kita tidak mampu mengendalikan sebuah peristiwa, maka potensi stress kita semakin tinggi. Semakin ‘besar’ peristiwa yang tak dapat kita kendalikan tersebut, makan potensinya semakin tainggi lagi. Misalnya kematian orang yang kita sayangi, saat dipecat dari tempat kerja, atau divonis menderita penyakit berat tertentu. Namun ternyata peristiwa ‘ringan’ pun dapat berpotensi menghasilkan stress, misalnya penolakan maaf dari teman, mendapati tidak mendapat tiket pesawat, atau saat smartphone kita tertinggal di rumah. Semakin kita yakin bahwa kita mampu mengendalikan suatu peristiwa nampak akan memperkecil kecemasan kita terhadap peristiwa tersebut walapun kita tidak pernah melakukan kendali tersebut.

  1. Peristiwa yang tak dapat diperkirakan

Sebuah peristiwa yang tak terduga, dan terjadi tanpa diperkirakan sebelumnya berpotensi menimbulkan gangguan emosianal. Sebuah peristiwa yang dapat diperkirakan sebelumnya, akan mengurangi potensi gangguan emosional tersebut. Seorang perempuan yang mendengar informasi akan adanya hujan badai, akan segera menutup jendela, pintu, dan bersiap-siap di dalam rumah. Namun bila perempuan tersebut tidak mendapatkan informasi tentang datangnya hujan badai akan terkejut saat hujan badai tiba.

  1. Peristiwa yang menantang batas kemampuan kita

Beberapa situasi dapat diprediksi dan dikendalikan, namun masih dialami sebagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan stess. Stress tersebut timbul akibat kita memaksa diri kita untuk sampai pada batas-batas kemampuan dan menantang pandangan kita terhadap diri sendiri. Misalnya, diakhir tahun para pegawai di bagian keuangan harus membuat laporan keuangan tahunan. Mereka bekerja berjam-jam di kantor. Kegiatan tersebut melibatkan aktivitas fisik dan intelektual yang berat, sehingga membuat stress para pegawai. Sebagian pegawai menemukan batas-batas kemampuan mereka.

  1. Konflik internal

Stress dapat ditimbulkan oleh proses internal dalam diri sendiri, akibat konflik yang tak terpacahkan dalam diri dan yang mungkin tidak disadari. Banyak hal yang diinginkan oleh seseorang, namun tidak dapat terlaksana. Seorang pegawai ingin sekali bertamasya ke pulau Bali, namun hal tersebut tak dapat terlaksana karena disibukan oleh pekerjaan. Situasi tersebut berpotensi menimbulkan stress dalam diri pegawai tersebut.

Emosi dan rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh stress sangat tidak nyaman. Ketidaknyamanan tersebut memotivasi individu untuk melakukan sesuatu guna menghilangkannya. Proses yang digunakn oleh seseorang yang menangani tuntutan yang menimbulkan stress dinamakan coping (kemampuan mengatasi masalah). Proses coping dapat dilakukan dengan dua cara: strategi terfokus masalah, strategi terfokus emosi.

Proses coping dengan strategi terfokus masalah dilakukan dengan berupaya memcahkan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang alternatif berkaitan dengan biaya dan manfaat. Strategi berfokos masalah juga dapat diarahkan pada mengubah sesuatu pada dirinya sendiri dan bukan mengubah lingkungannya; mengubah tingkat aspirasi dengan menemukan sumber pemuasan alternatif dan pempelajari kecakapan baru.

Proses coping dengan strategi terfokus emosi untuk mencegah emosi negatif menguasai dirinya untuk mencegah mereka melakukan tindakan yang dapat memecahkan masalahnya. Terdapat beberapa strategi yang dapat ditempuh, yaitu: strategi perilaku, dan strategi kognitif. Strategi perilaku yaitu melakukan melakukan latihan fisik untuk mengalihkan pikiran kita dari masalah, menggunakan obat-obat tertentu (sesuai resep dokter), menyalurkan kemarahan, mencari dukungan emosional dari teman. Sementara itu, strategi kognitif dilakukan melalui menyingkirkan secara sementara pikiran tentang masalah. Misalnya memutuskan untuk tidak menghkawatirkan hal tersebut dan menurunkan ancaman dengan mengubah makna situasi (misalkan berfikir bahwa dimarahi atasan kemarin sore tidak terlalu penting).

Motivasi

Motivasi merupakan salah satu isu yang populer dalam kajian tentang organisasi. Hal terasebut karena menyangkut alasan-alasan seseorang berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Alasan tersebut menjadi penting untuk organisasi, agar mereka dapat memprediksi, bahkan memberikan stimuli-stimuli tertentu agar orang-orang yang terlibat dalam organisasi melakukan perilaku dan tindakan yang mendukung tercapainya tujuan organisasi.

Stimuli yang paling sering dilakukan agar anggota organisasi mau melakukan kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan organisasi adalah pemberian ‘upah’ atau sistem ganjaran. Seorang pegawai perusahaan akan lebih giat bekerja bila ia mendapat upah yang dianggap pantas untuk dirinya. Bahkan kadangkala, seorang mahasiwa yang menjadi panitia sebuah acara di kampusnya pun harus mendapatkan kejelasan ‘upah’ yang akan dia dapatkan bila ia harus menjadi panitia (dalam situasi tersebut sering dipandang tidak patut). Lantas, apakah motivasi itu?

Mendefinisikan motivasi sama dengan mendefinisikan psikologi, karena berkaitan dengan kondisi non-fisik yang membuat seseorang berperilaku tertentu. Bahkan lebih jauh dari itu, motivasi mencoba menjawab pertanyaan “kenapa orang berfikiran demikian?”. Misalnya, kenapa mahasiswa itu berfikir bahwa klub sepakbola Arsenal harus ia dukung?. Bahkan membuat ia harus menabung bertahun-tahun demi untuk dapat berkunjung ke markas klub sepakbola tersebut di Inggris.

Istilah motivasi berasal dari bahasa latin movere, atau move. Secara umum, motivasi mengacu pada proses-proses yang terlibat dalam inisiasi, pengarahan, dan energisasi perilaku individu. Jadi, motif merupakan penyebab khusus yang memberi energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku seseorang. Misalnya seseorang yang lapar, akan mendorong orang mencari makanan untuk dimakan; orang yang ingin kaya akan mendorong orang untuk mencapatkan harta.

Upaya untuk menjelaskan motif dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan behavioristik, kognitif, psikodinamika, humanistik, sosial konstruksionis, hingga evolusioner (Gross, 2012:167). Perbedaan pendekatan tersebut berimplikasi terhadap perbedaan fokus pengkajian, misalnya pendekatan behavioristik menekankan pada pola penguatan yang hadir dalam lingkungan, yang dapat mengakibatkan perilaku tertentu. Artinya memandang motivasi lahir dari lingkungan. Sementara itu, seorang biopsikolog memandang motivasi merupakan peristiwa yang terjadi dalam tubuh, yang terjadi dalam CNS[1], ANS[2], dan sistem endokrin, atau interaksi di antara sistem-sistem yang berbeda.

Studi awal tentang motif berakar dari filsafat. Rasionalis melihat manusia bebas memilih diantara berbagai tindakan. Dalam hal ini, konsep motivasi menjadi tiada. Karena manusia sendiri yang menentukan setiap perilakunya. Pandangan rasionalis tersebut menjadi dasar psikologi humanistik dan psikologi kognitif. Pandangan lainnya adalah hedonisme¸ sebuah paham yang memandang bahwa perilaku tertentu ditentukan oleh keinginan untuk mencari kesenangan dan menghindari sakit. Pandangan lainnya yang dapat dianggap sebagai bagian dari keragaman pemikiran tentang motivasi adalah pandangan mekanistik. Dalam pandangan mekanistik, perilaku manusia dipandang sebagai sebuah mesin. Sehingga perilaku terjadi akibat drive, sebuah kekuatan yang membuatnya “berjalan”.

[1] CNS (Central Nervous System),

[2] ANS (Autonomic Nervous System)

Prinsip Persuasi Menurut Robert Baron & Donn Byrne

Menurut Baron & Byrne, prinsip persuasi yang dapat digunakan untuk melakukan persuasi, antara lain:

  1. Orang yang dianggap ahli akan lebih persiasif, dibandingkan dengan orang yang bukan ahli
  2. Persuasi yang dilakukan secara terselubung akan lebih berhasil ketimbang yang terang-terangan
  3. Komunikator populer dan menarik akan lebih efektif ketimbang yang tidak populer dan menarik
  4. Manusia cenderung mudah dipersuasi saat perhatian mereka terpecah oleh kejadian lain, daripada saat mereka memiliki perhatian yang penuh terhadap pesan yang disampaikan
  5. Individu yang memiliki harga diri yang rendah akan lebih mudah terbujuk daripada individu yang memiliki harga diri yang tinggi
  6. Persuasi akan lebih mudah dilakukan dengan teknik pendekatan dua sisi (two sided-approach)
  7. Orang yang berbicara cepat cenderung lebih persuasif daripada yang berbicara lambat
  8. Persuasi lebih efektif bila membangkitkan emosi yang kuat, terutama emosi takut yang dimiliki orang yang dipersuasi.

Retorika

Berbicara tentang komunikasi publik, kita hendaknya memahami retorika. Walaupun bukan kegiatan komunikasi publik pertamakali di semesta ini, namun setidaknya retorika menjadi kajian yang terdokumentasikan dan dapat dipelajari oleh para pembelajar formal hingga saat ini.

Rhetorika atau retorika bertolak dari pemikiran tentang manusia, bahwa manusia dapat menggunkana “anggapan umum”, sehingga ada sesuatu yang dianggap benar secara umum. Manusia memiliki quasi-statistical sense (meminjam istilah Elizabeth N. Neumann), bahwa manusia dianggap memiliki indera semi statistik yang mampu menghitung jumlah pendukung opini, atau anggapan yang dianggap benar oleh sekelompok masyarakat.

Banyak orang yang turut berpendapat tentang retorika, misalnya Sokrates berpandangan bahwa retorika haruslah digunakan untuk kebenaran. Maka untuk mendapat kebenaran tersebut hendaknya mengikuti jalan deduksi (Susanto, 1975). Jalan deduksi tersebut dapat ditempuh dengan metode dialog. Lalu salah satu murid Sokrates, bernama Plato, berpandangan bahwa retorika dapat dimanfaatkan untuk metode pendidikan, alat memperoleh kedudukan dan kekuasaan, serta alat untuk mempengaruhi rakyat. Manfaat ketiga dari retorika yang dikemukakan Plato, yang kemudian akan kita bahas lebih lanjut. Karena memandang retorika sebagai sarana mempengaruhi masyarakat, yang artinya retorika mampu mengubah pengetahuan, sikap, bahkan perilaku manusia.

Pemikiran Kelompok

Dalam sebuah rencana menginvasi Kuba di Bay of Pig pada tahun 1961, pasukan Amerika gagal, dan membuat Presiden John Kennedy marah besar. Rencana penyusupan memang dirasakan sangat buruk pada setiap tahapannya. Sebagai contoh, jika pendaratan pertama tidak berhasil, tim penyusup seharusnya mundur ke pengunungan. Tetapi tidak ada satupun dalam kelmpok perencana yang mempelajari peta cukup cermat untuk meyaari bahwa tidak satupun personil militer yang dapat melewati rawa-rawa selebar 100 kilometer lebih yang memisahkan pegunungan dari tempat pendaratan. Kesalahan perhitungan lain menyebabkan tim penyusup berhasil dikalahkan sebelum mengambil langkah mundur. Empat tahun kemudian seorang penasehat Kennedy, yang terlibat dalam perencanaan, menyalahkan dirinya sendiri dengan menulis:

“karena tetap diam selama diskusi penting di Cabinet Room, perasaan bersalah saya timbul karena mengetahui bahwa sedikit keberatan dapat menyebabkan saya mendapat julukan seorang pengganggu. Saya hanya dapat menjelaskan bahwa ketidak mampuan saya mengajukan pertanyaan yang lebih dari sekedar beberapa pertanyaan yang memalukan dengan mengatakan bahwa impuls untuk mengungkapkan ketidakmasukakalan itu dihalangi oleh situasi diskusi.(Atkinson, Rita L., Atkinson, R.C., Smith, E. E., Bem, 2010: 656)”

Menurut Irving Janis, “situasi diskusi” yang dimaksud merupaka pemikiran kelompok. Dalam teorinya yang dikenal dengan sebutan grouptink, pemikiran kelompok adalah fenomena dimana anggota suatu kelompok menekan ketidaksetujuannya demi kepentingan konsensus kelompok. Dari hasil menganalisis beberapa kebijakan politik luar negeri, janis membuat kondisi prasayarat dan gejala pemikiran kelompok serta gejala pengambilan keputusan yang cacat yang terjadi akibatnya.