Polisi: kenapa saudara ga pake helm? John Antihelm: itu banyak orang lain yang ngelanggar, kenapa ga ditangkepin pak?! koruptor dulu tuh tangkepin!
Mungkin anda pernah mendengar, atau bahkan terlibat dalam perdebatan konyol seperti percakapan di atas? Dictionary.com menyebutnya dengan “whataboutism”. Sebuah taktik percakapan dengan menanggapi sebuah argumen dengan merubah subjek untuk fokus pada isu atau kesalahan orang lain. Sehingga membuat pernyataan, argumen, atau isu yang semula diperbincangkan tampak tidak valid.
Apa kira-kira yang harus Pak Polisi katakan untuk menanggapi argumentasi John Antihelm?
Setiap tahun ribuan mahasiswa/i tingkat akhir, membuat penelitian untuk syarat kelulusannya. Penelitian-penelitian itu harusnya mampu membuat ilmu pengetahuan di Indonesia maju pesat. Namun, pada praktiknya ilmu pengetahuan di Indonesia gitu-gitu aja, melangkah sangat pelan. Hanya sedikit dari penelitian-penelitian itu yang dapat berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Dugaan sementara saya, hal itu terjadi (salah satunya) akibat lemahnya kontekstualisasi penelitian. Peneliti tak mampu menjawab pertanyaan, “untuk apa anda meneliti ini?”. Jawaban yang sering saya baca di skripsi mahasiswa adalah karena peneliti “tertarik”.
Ketertarikan peneliti untuk mempelajari suatu bidang atau minat kajian memang perlu. Namun “ketertarikan” harus digunakan secara proporsional, dan ditempatkan dalam konteks tertentu. Caranya antara lain:
Jika tertarik, maka pelajari bidang atau minat kajian itu dengan sungguh-sungguh. Baca semua teori dan hasil penelitian terbaru di bidang atau minat kajian itu hingga habis. Sampai tahu batas akhir penelitian terbaru di bidang kajian itu. Hingga tahu bahwa belum ada yang meneliti “ini dan itu”.
Jika sudah tahu bagian “ini dan itu”, maka jadikan gap penelitian, hingga peneliti bisa memproyeksikan kontribusi hasil penelitiannya dalam bidang kajian yang diminatinya.
Tak perlu mengumbar “ketertarikan” peneliti dalam latar belakang penelitian. Karena pembaca dan ilmu pengetahuan tak akan peduli dengan ketertarikan peneliti.
Manusia memiliki tiga metode berfikir filosofis, yaitu: teologis (fictitious), metafisis (abstrak), dan saintifik (positive)
Metode teologis yaitu ketika daya berfikir manusia baru mulai, ketiga “fixed and defititive state”, sementara yang kedua (metafisis) adalah diantaranya, atau masa antara atau transisi
Berfikir teologis, berfikir tentang esensi of being, penyebab pertama dan berakhirnya kehidupan atau keadaan. Upaya mencari ‘pengetahuan’ absolut tentang penciptaan oleh sesuatu yang bersifat supernatural
Metode berfikir metafisis, yaitu modifikasi dari metode berfikir teologis. Berfikir tentang sesuatu yang ‘supernatural’. Atau sesuatu yang bersifat ‘supernatura’, kekuatan abstrak, sesuatu yang dapat memproduksi fenomena.
Metode berfikir positif, atau saintifik. Yaitu mencari “vain after absolute notions”. Mencari asal usul dan tujuan alam semesta, dan hokum-hukum tentang alam. Yang sekarang kita fahami sebagai fakta. Yang menjelaskan hubungan antara satu fenomena dan yang lainnya, dalam sebuah fakta yang dapat digeneralisasikan. Dimana dapat dilanjutkan untuk membangun sebuah ‘sains’.
Filsafat positif memandang setiap fenomena secara tersendiri, dari sebuah fakta general
Stress merupakan salah satu kondisi psikis yang dapat diderita oleh setiap orang. Stress di tempat kerja merupakan salah satu masalah yang kerap dihadapi oleh pegawai. Penyebab stress disebabkan oleh berbagai hal, yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Kegiatan berat di tempat kerja mungkin akan terasa menantang untuk sebagian orang, namun sebagian lainya dapat membuatnya tertekan. Namun kadang kala bukan saja peristiwa ‘menantang’ yang membuat seseorang menjadi stress, namun kadang kepindahan ke tempat kerja baru, kehilangan teman, macet dijalan, kehilangan data pekerjaan, bahkan menikah sekalipun dapat menjadi pemicu stress.
Dalam pengertian umum, stress terjadi jika seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut lazim disebut dengan strasor. Sementara reaksi terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stress. Peristiwa yang dirasakan sebagai stress biasanya masuk ke dalam salah satu atau lebih kategori berikut:
Peristiwa traumatik
Peristiwa traumatik adalah peristiwa (lazimnya situasi bahaya) yang terjadi diluar peristiwa yang lazim dihadapi. Misalnya bencana tsunami, kebakaran, tabrakan kendaraan, pemerkosaan, perang, atau peristiwa serupa lainnya. Walaupun reaksi setiap orang terhadap peristiwa traumatik tersebut dapat berbeda-beda, namun terdapat pola perilaku yang umum yaitu disaster syndrome.
Orang yang selamat dari bencana akan bingung melompong dan nampak seperti tidak menyadari bahaya bahkan luka-lukanya. Mereka dapat berjalan kesana-kemari dalam keadaan disorientasi, dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan resiko cedera yang lain.
Tahap selanjutnya, orang akan cenderung pasif dan tak akan mampu memulai tugas sederhana sekalipun, namun mereka akan segera mengikuti perintah.
Tahap ketiga, orang akan cemas dan takut, mengalami kesulitan konsentrasi, dan berpotensi untuk mengulang-ulang cerita tentang bencana yang dialaminya. Korban tabrakan mungkin akan gelisah ketika berada dekat dengan mobil; korban pemerkosaan mungkin akan histeris saat didekati oleh seorang pria.
Peristiwa yang tak terkendali
Sebuah kondisi saat kita tidak mampu mengendalikan sebuah peristiwa, maka potensi stress kita semakin tinggi. Semakin ‘besar’ peristiwa yang tak dapat kita kendalikan tersebut, makan potensinya semakin tainggi lagi. Misalnya kematian orang yang kita sayangi, saat dipecat dari tempat kerja, atau divonis menderita penyakit berat tertentu. Namun ternyata peristiwa ‘ringan’ pun dapat berpotensi menghasilkan stress, misalnya penolakan maaf dari teman, mendapati tidak mendapat tiket pesawat, atau saat smartphone kita tertinggal di rumah. Semakin kita yakin bahwa kita mampu mengendalikan suatu peristiwa nampak akan memperkecil kecemasan kita terhadap peristiwa tersebut walapun kita tidak pernah melakukan kendali tersebut.
Peristiwa yang tak dapat diperkirakan
Sebuah peristiwa yang tak terduga, dan terjadi tanpa diperkirakan sebelumnya berpotensi menimbulkan gangguan emosianal. Sebuah peristiwa yang dapat diperkirakan sebelumnya, akan mengurangi potensi gangguan emosional tersebut. Seorang perempuan yang mendengar informasi akan adanya hujan badai, akan segera menutup jendela, pintu, dan bersiap-siap di dalam rumah. Namun bila perempuan tersebut tidak mendapatkan informasi tentang datangnya hujan badai akan terkejut saat hujan badai tiba.
Peristiwa yang menantang batas kemampuan kita
Beberapa situasi dapat diprediksi dan dikendalikan, namun masih dialami sebagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan stess. Stress tersebut timbul akibat kita memaksa diri kita untuk sampai pada batas-batas kemampuan dan menantang pandangan kita terhadap diri sendiri. Misalnya, diakhir tahun para pegawai di bagian keuangan harus membuat laporan keuangan tahunan. Mereka bekerja berjam-jam di kantor. Kegiatan tersebut melibatkan aktivitas fisik dan intelektual yang berat, sehingga membuat stress para pegawai. Sebagian pegawai menemukan batas-batas kemampuan mereka.
Konflik internal
Stress dapat ditimbulkan oleh proses internal dalam diri sendiri, akibat konflik yang tak terpacahkan dalam diri dan yang mungkin tidak disadari. Banyak hal yang diinginkan oleh seseorang, namun tidak dapat terlaksana. Seorang pegawai ingin sekali bertamasya ke pulau Bali, namun hal tersebut tak dapat terlaksana karena disibukan oleh pekerjaan. Situasi tersebut berpotensi menimbulkan stress dalam diri pegawai tersebut.
Emosi dan rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh stress sangat tidak nyaman. Ketidaknyamanan tersebut memotivasi individu untuk melakukan sesuatu guna menghilangkannya. Proses yang digunakn oleh seseorang yang menangani tuntutan yang menimbulkan stress dinamakan coping (kemampuan mengatasi masalah). Proses coping dapat dilakukan dengan dua cara: strategi terfokus masalah, strategi terfokus emosi.
Proses coping dengan strategi terfokus masalah dilakukan dengan berupaya memcahkan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang alternatif berkaitan dengan biaya dan manfaat. Strategi berfokos masalah juga dapat diarahkan pada mengubah sesuatu pada dirinya sendiri dan bukan mengubah lingkungannya; mengubah tingkat aspirasi dengan menemukan sumber pemuasan alternatif dan pempelajari kecakapan baru.
Proses coping dengan strategi terfokus emosi untuk mencegah emosi negatif menguasai dirinya untuk mencegah mereka melakukan tindakan yang dapat memecahkan masalahnya. Terdapat beberapa strategi yang dapat ditempuh, yaitu: strategi perilaku, dan strategi kognitif. Strategi perilaku yaitu melakukan melakukan latihan fisik untuk mengalihkan pikiran kita dari masalah, menggunakan obat-obat tertentu (sesuai resep dokter), menyalurkan kemarahan, mencari dukungan emosional dari teman. Sementara itu, strategi kognitif dilakukan melalui menyingkirkan secara sementara pikiran tentang masalah. Misalnya memutuskan untuk tidak menghkawatirkan hal tersebut dan menurunkan ancaman dengan mengubah makna situasi (misalkan berfikir bahwa dimarahi atasan kemarin sore tidak terlalu penting).
Motivasi merupakan salah satu isu yang populer dalam kajian tentang organisasi. Hal terasebut karena menyangkut alasan-alasan seseorang berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Alasan tersebut menjadi penting untuk organisasi, agar mereka dapat memprediksi, bahkan memberikan stimuli-stimuli tertentu agar orang-orang yang terlibat dalam organisasi melakukan perilaku dan tindakan yang mendukung tercapainya tujuan organisasi.
Stimuli yang paling sering dilakukan agar anggota organisasi mau melakukan kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan organisasi adalah pemberian ‘upah’ atau sistem ganjaran. Seorang pegawai perusahaan akan lebih giat bekerja bila ia mendapat upah yang dianggap pantas untuk dirinya. Bahkan kadangkala, seorang mahasiwa yang menjadi panitia sebuah acara di kampusnya pun harus mendapatkan kejelasan ‘upah’ yang akan dia dapatkan bila ia harus menjadi panitia (dalam situasi tersebut sering dipandang tidak patut). Lantas, apakah motivasi itu?
Mendefinisikan motivasi sama dengan mendefinisikan psikologi, karena berkaitan dengan kondisi non-fisik yang membuat seseorang berperilaku tertentu. Bahkan lebih jauh dari itu, motivasi mencoba menjawab pertanyaan “kenapa orang berfikiran demikian?”. Misalnya, kenapa mahasiswa itu berfikir bahwa klub sepakbola Arsenal harus ia dukung?. Bahkan membuat ia harus menabung bertahun-tahun demi untuk dapat berkunjung ke markas klub sepakbola tersebut di Inggris.
Istilah motivasi berasal dari bahasa latin movere, atau move. Secara umum, motivasi mengacu pada proses-proses yang terlibat dalam inisiasi, pengarahan, dan energisasi perilaku individu. Jadi, motif merupakan penyebab khusus yang memberi energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku seseorang. Misalnya seseorang yang lapar, akan mendorong orang mencari makanan untuk dimakan; orang yang ingin kaya akan mendorong orang untuk mencapatkan harta.
Upaya untuk menjelaskan motif dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan behavioristik, kognitif, psikodinamika, humanistik, sosial konstruksionis, hingga evolusioner (Gross, 2012:167). Perbedaan pendekatan tersebut berimplikasi terhadap perbedaan fokus pengkajian, misalnya pendekatan behavioristik menekankan pada pola penguatan yang hadir dalam lingkungan, yang dapat mengakibatkan perilaku tertentu. Artinya memandang motivasi lahir dari lingkungan. Sementara itu, seorang biopsikolog memandang motivasi merupakan peristiwa yang terjadi dalam tubuh, yang terjadi dalam CNS[1], ANS[2], dan sistem endokrin, atau interaksi di antara sistem-sistem yang berbeda.
Studi awal tentang motif berakar dari filsafat. Rasionalis melihat manusia bebas memilih diantara berbagai tindakan. Dalam hal ini, konsep motivasi menjadi tiada. Karena manusia sendiri yang menentukan setiap perilakunya. Pandangan rasionalis tersebut menjadi dasar psikologi humanistik dan psikologi kognitif. Pandangan lainnya adalah hedonisme¸ sebuah paham yang memandang bahwa perilaku tertentu ditentukan oleh keinginan untuk mencari kesenangan dan menghindari sakit. Pandangan lainnya yang dapat dianggap sebagai bagian dari keragaman pemikiran tentang motivasi adalah pandangan mekanistik. Dalam pandangan mekanistik, perilaku manusia dipandang sebagai sebuah mesin. Sehingga perilaku terjadi akibat drive, sebuah kekuatan yang membuatnya “berjalan”.
Menurut Baron & Byrne, prinsip persuasi yang dapat digunakan untuk melakukan persuasi, antara lain:
Orang yang dianggap ahli akan lebih persiasif, dibandingkan dengan orang yang bukan ahli
Persuasi yang dilakukan secara terselubung akan lebih berhasil ketimbang yang terang-terangan
Komunikator populer dan menarik akan lebih efektif ketimbang yang tidak populer dan menarik
Manusia cenderung mudah dipersuasi saat perhatian mereka terpecah oleh kejadian lain, daripada saat mereka memiliki perhatian yang penuh terhadap pesan yang disampaikan
Individu yang memiliki harga diri yang rendah akan lebih mudah terbujuk daripada individu yang memiliki harga diri yang tinggi
Persuasi akan lebih mudah dilakukan dengan teknik pendekatan dua sisi (two sided-approach)
Orang yang berbicara cepat cenderung lebih persuasif daripada yang berbicara lambat
Persuasi lebih efektif bila membangkitkan emosi yang kuat, terutama emosi takut yang dimiliki orang yang dipersuasi.
Berbicara tentang komunikasi publik, kita hendaknya memahami retorika. Walaupun bukan kegiatan komunikasi publik pertamakali di semesta ini, namun setidaknya retorika menjadi kajian yang terdokumentasikan dan dapat dipelajari oleh para pembelajar formal hingga saat ini.
Rhetorika atau retorika bertolak dari pemikiran tentang manusia, bahwa manusia dapat menggunkana “anggapan umum”, sehingga ada sesuatu yang dianggap benar secara umum. Manusia memiliki quasi-statistical sense (meminjam istilah Elizabeth N. Neumann), bahwa manusia dianggap memiliki indera semi statistik yang mampu menghitung jumlah pendukung opini, atau anggapan yang dianggap benar oleh sekelompok masyarakat.
Banyak orang yang turut berpendapat tentang retorika, misalnya Sokrates berpandangan bahwa retorika haruslah digunakan untuk kebenaran. Maka untuk mendapat kebenaran tersebut hendaknya mengikuti jalan deduksi (Susanto, 1975). Jalan deduksi tersebut dapat ditempuh dengan metode dialog. Lalu salah satu murid Sokrates, bernama Plato, berpandangan bahwa retorika dapat dimanfaatkan untuk metode pendidikan, alat memperoleh kedudukan dan kekuasaan, serta alat untuk mempengaruhi rakyat. Manfaat ketiga dari retorika yang dikemukakan Plato, yang kemudian akan kita bahas lebih lanjut. Karena memandang retorika sebagai sarana mempengaruhi masyarakat, yang artinya retorika mampu mengubah pengetahuan, sikap, bahkan perilaku manusia.
Dalam sebuah rencana menginvasi Kuba di Bay of Pig pada tahun 1961, pasukan Amerika gagal, dan membuat Presiden John Kennedy marah besar. Rencana penyusupan memang dirasakan sangat buruk pada setiap tahapannya. Sebagai contoh, jika pendaratan pertama tidak berhasil, tim penyusup seharusnya mundur ke pengunungan. Tetapi tidak ada satupun dalam kelmpok perencana yang mempelajari peta cukup cermat untuk meyaari bahwa tidak satupun personil militer yang dapat melewati rawa-rawa selebar 100 kilometer lebih yang memisahkan pegunungan dari tempat pendaratan. Kesalahan perhitungan lain menyebabkan tim penyusup berhasil dikalahkan sebelum mengambil langkah mundur. Empat tahun kemudian seorang penasehat Kennedy, yang terlibat dalam perencanaan, menyalahkan dirinya sendiri dengan menulis:
“karena tetap diam selama diskusi penting di Cabinet Room, perasaan bersalah saya timbul karena mengetahui bahwa sedikit keberatan dapat menyebabkan saya mendapat julukan seorang pengganggu. Saya hanya dapat menjelaskan bahwa ketidak mampuan saya mengajukan pertanyaan yang lebih dari sekedar beberapa pertanyaan yang memalukan dengan mengatakan bahwa impuls untuk mengungkapkan ketidakmasukakalan itu dihalangi oleh situasi diskusi.(Atkinson, Rita L., Atkinson, R.C., Smith, E. E., Bem, 2010: 656)”
Menurut Irving Janis, “situasi diskusi” yang dimaksud merupaka pemikiran kelompok. Dalam teorinya yang dikenal dengan sebutan grouptink, pemikiran kelompok adalah fenomena dimana anggota suatu kelompok menekan ketidaksetujuannya demi kepentingan konsensus kelompok. Dari hasil menganalisis beberapa kebijakan politik luar negeri, janis membuat kondisi prasayarat dan gejala pemikiran kelompok serta gejala pengambilan keputusan yang cacat yang terjadi akibatnya.
Konformitas adalah bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan/ atau perilakunya untuk mengikuti norma kelompok dan sosial (Shirev & Levy, 2012). Salah satu alasan seseorang mengubah sikap dan/ atau perilakunya adalah untuk menghindari sanksi. Penghindaran dari sanksi merupakan upaya untuk mendukung ekspektasi orang lain sehingga kita tetap dipandang baik oleh orang lain. Hal ini berlaku ketika orang lain berperan sebagai “mayoritas”. Misalnya seorang pria akan cenderung merokok ketika sedang berkumpul dengan teman-temannya yang perkokok.
Menurut teori aktor rasional, perilaku komformitas merupakan salah satu bagian dari perilaku rasional seorang aktor ketika dihadapkan pada beberapa alternatif pilihan yang tersedia. Mereka akan memilih tindakan yang mernurut mereka bermanfaat, dan tidak menimbulkan konsekuensi negatif.
Sebuah pepatah di Italia mengatakan “orang tak akan pernah sendiri, bahkan di surga sekalipun”. Hingga saat ini orang-orang masih meyakini bahwa manusia tak dapat hidup sendiri. Orang akan berkumpul, dan membentuk kelompok. Seorang pemuda akan mencari pasangannya untuk kemudian menikah, berkeluarga, dan membentuk kelompoknya. Pemuda itu bahkan kemudian menambahkan nama belakangnya pada nama belakang anak-anaknya, agar kelak ia dapat membangun kelompok nya sendiri.
Seorang pemuda “jomblo” sering dikabarkan tertekan, putus asa, dan tersiksa batinnya karena khawatir tak mampu ‘berkelompok’. Shiraev & Levy (Shirev & Levy, 2012) berpendapat bahwa manusia tak dapat hidup sendiri, dan terisolasi. Orang-orang akan bergabung dengan kelompok-kelompok, dengan cara sukarela ataupun terpaksa; disengaja atupun tidak sengaja.
Menurut Mulyana (Mulyana, 2009: 82), kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama (adanya saling kebergantungan), mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagain dari kelompok tersebut, meskipun setiap anggota boleh jadi punya peran berbeda. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan komunikasi kelompok adalah komunikasi yang dilakukan oleh sekumpulan orang-orang yang saling mengenal dan sadar untuk berinteraksi dalam perannya masing-masing demi mencapai tujuan bersama.
Dalam upaya memahami realitas kelompok, para ilmuwan membuat kategori-kategori kelompok. Salah satu kategori yang dapat memudahkan kita untuk memahami kelompok adalah kategori kelompok primer dan kelompok sekunder (Rakhmat, 2009:142). Kelompok Primer merujuk pada kelompok yang terbangun dengan alasan emosional. Karakteristik kelompok primer bersifat dalam dan meluas; bersifat personal; menekankan aspek hubungan daripada aspek isi; ekspresif; dan informal. Contoh kelompok primer adalah keluarga, dimana kebersatuan yang terjadi lebih dekat, akrab, dan melibatkan rasa memiliki terhadap kelompok mereka.
Sementara itu karakteristik kelompok sekunder kualitas komunikasi bersifat dangkal dan terbatas; bersifat impersonal; menekankan aspek isi; instrumental; dan formal. Contoh kelompok sekunder misalnya Persatuan Istri Anggota DPR. Dimana anggota kelompoknya cenderung tidak terlalu melibakan emosi, formal, dan dangkal.